SOLOPOS.COM - Ilustrasi pembunuhan. (Freepik)

Solopos.com, SUKOHARJO — Pelaku kejahatan mutilasi kemungkinan memiliki gangguan kepribadian atau jiwa. Selain itu pelaku bisa jadi memiliki pengalaman masa lalu yang kelam yang mendorongnya berbuat sadis.

Hal itu disampaikan Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Setiyo Purwanto, dalam dialog interaktif RRI Solo dengan tajuk Sadisme Meningkat, Bagaimana Pencegahannya pada Kamis (25/5/2023). Dialog itu salah satunya merespons kasus temuan mayat terpotong-potong yang diyakini korban mutilasi.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Ia mengatakan bisa saja kehidupan masa lalu pelaku yang negatif menjadi referensi alam bawah sadarnya melakukan sadisme karena sejak lama tidak ada solusi. Hal itu menumpuk dan memicu emosi negatif yang dapat membuat pelaku menjadi tidak rasional, misalnya dengan melakukan mutilasi. Dalam keadaan korban sudah meninggal, kata dia, pelaku ingin melampiaskan perasaan jengkelnya yang seolah-olah hanya bisa dilakukan saat itu.

“Perilaku mutilasi memang bisa merupakan gangguan kepribadian maupun trauma masa lalu atau gangguan jiwa juga bisa. Perlu kita teliti lebih lanjut. Ada yang gangguan jiwa yang sampai membahayakan. Kalau gangguan kepribadian ini memang terencana dan dibuat serapih mungkin,” terang dosen klinis Fakultas Psikologi UMS tersebut.

Setiyo membedakan pembunuhan dengan mutilasi. Pembunuhan adalah kasus yang umum terjadi. Tetapi pada kasus mutilasi, menurutnya, ada muatan psikologis. “Ini bentuk mengalirkan kebencian yang sudah lama. Ini memang sudah tidak wajar, luapan emosi sudah tidak rasional. Ini juga ingin menutup rasa lemahnya dia [pelaku]. Mungkin bisa jadi sering direndahkan, tidak terima dan sering menumpuk. Mutilasi seolah menutupi rasa lemahnya,” ungkapnya.

Dalam konteks lain, menurutnya, manusia mengalami proses belajar, terutama dengan lingkungan. Ketika mendapat pemberitaan yang tidak dikemas dengan semestinya hal tersebut akan berpengaruh pada alam bawah sadar seseorang.

Misalnya ketika seseorang sudah menyukai mutilasi, secara spontan akan muncul di alam bawah sadarnya untuk melakukannya. Bisa saja hal itu terjadi karena pengaruh media sosial yang tidak  disaring pelaku atau pelaku justru sengaja mencari adegan yang serupa.

“Memang orang-orang yang mengalami mental negatif akan fokus ke hal negatif. Semakin banyak informasi yang dia terima, pasti ada gangguan psikis yang di alami,” katanya.

Setiyo menambahkan, antisipasi tindakan sadisme harus dilakukan sedini mungkin sebab prosesnya berkaitan dengan masa lalu. Pendidikan memiliki peranan penting untuk mengurangi atau mencegah sadisme berlanjut. Sekolah menjadi wadah penting memberikan sarana atau treatment mencegah seorang anak memiliki dendam yang berlebihan pada kehidupan masa lalunya.

“Pendidikan berbasis kesadaran sangat penting di Indonesia. Itu akan membuat anak-anak masing-masing bisa mengevaluasi. Misal ada yang punya dendam segera bertemu psikolog,” urainya.

Kapolres Sukoharjo, AKBP Sigit, dalam kesempatan yang sama mengatakan polisi telah memeriksa enam saksi dalam kasus mutilasi korban yang diduga bernama Rohmadi, warga Banjarsari, Solo. Ia masih mendalami siapa pelaku dan apa motif pembunuhan tersebut.

Masih ada anggota tubuh yang belum ditemukan, yakni betis hingga telapak kaki kanan korban. Warga yang mempunyai informasi terkait orang hilang diimbau untuk melapor ke polisi. Kapolres  menyebut sudah pernah ada kasus mutilasi di Sukohrjo tetapi potongannya tidak sebanyak ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya