SOLOPOS.COM - Ilustrasi orang bercadar. (Independent.co.uk)

Solopos.com, SOLO – Munculnya komunitas crosshijaber menghebohkan masyarakat. Istilah crosshijaber bersal dari crossdressing, yakni pria mengenakan gaun wanita dan tampil dengan makeup. Psikolog seksual, Zoya Amirin, mengatakan pelaku crossdressing belum tentu mengalami penyimpangan seksual.

Zoya Amirin menjelaskan ada banyak motif di balik perilaku individu yang gemar berpenampilan selayaknya lawan jenis. “Crossdressing belum tentu sungguh-sungguh transvetisme [kecenderungan berpakaian dan bertingkah laku selayaknya lawan jenis] karena motif atau tujuan akhirnya kita tidak pernah tahu,” terang dia seperti dikabarkan Antara, Selasa (15/10/2019).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut Zoya Amirin, crossdressing merupakan bentuk penyaluran ekspresi. Dia menemukan beberapa komunitas tersebut yang berani tampil di depan umum.

“Beberapa sudah coming out dan beberapa ada yang memang didukung pasangannya, misal ke kondangan ya sama-sama pakai kebaya itu ada," kata Zoya Amirin.

Penyimpangan perilaku seksual atau dalam istilah medis disebut paraphilia salah satunya adalah transvetisme. Yakni orang yang mendapat kepuasan dari berbusana atau berpenampilan seperti lawan jenis kelaminnya.Kendati demikian, perilaku crossdressing bisa jadi menyimpang jika pada akhirnya mendapatkan kepuasan tanpa hubungan seks dengan manusia.

"Penyebabnya hampir sama seperti semua paraphilia, yakni trauma pada masa lalu. Bisa saja di-kasarin sama lawan jenisnya. Jadi, dia merasa lebih nyaman dengan seksualitas lawan jenis dia," sambung Zoya Amirin.

Agar perilaku menyimpang tidak terjadi, sebaiknya para orang tua mengajarkan pendidikan seksual sejak dini agar anak nyaman dengan seksualitasnya. "Organ intim harus disebut sesuai namanya, bukan disebut dengan sebutan yang aneh-aneh misal penis jadi burung atau payudara jadi tete," jela Zoya Amirin.

Zoya Amirin menambahkan pendidikan seksual sejak dini bertujuan agar anak tidak menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang aneh, menakutkan, atau bahkan tabu. Sehingga mesti ditutup-tutupi dengan penyebutan lain.

"Ketika anak tidak menganggap seksualitas sebagai hal yang aneh, dia akan nyaman dan tidak akan bereksperimen sendiri dengan seksualitasnya," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya