SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ada lagi bank yang ditutup paksa. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia (BI) No. 11/ 19 /KEP.GBI/ 2009 tanggal 17 April 2009, BI memutuskan untuk mencabut izin usaha PT. Bank IFI. Pencabutan izin usaha dilakukan sesuai dengan mekanisme dan prosedur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.6/9/PBI/2004 Tanggal 26 Maret 2004 Tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan PBI No.10/27/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008.

BI sendiri sebenarnya telah cukup lama melakukan beberapa langkah penyehatan sesuai prosedur pengawasan yang berlaku, termasuk meminta Pemegang Saham Pengendali (PSP) untuk menambah modal serta menjaga likuiditas banknya.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Sayangnya, Bank IFI tidak berhasil menjalankan program penyehatan yang disyaratkan. Dengan demikian dilakukan pencabutan izin usaha dengan pertimbangan untuk menghindari kerugian yang lebih besar serta untuk melindungi kepentingan nasabah. Likuidasi bank terakhir dilakukan terhadap Bank Global di akhir 2004 lalu.

Nasib nasabah
Pada setiap penutupan sebuah, maka pembicaraan yang menarik adalah menyangkut nasib nasabah bank. Maklum, masalah ini bisa membawa dampak yang signifikan apabila tidak diselesaikan dengan baik. Menurut data resmi BI, per-akhir maret 2009 total rekening nasabah di Bank IFI mencapai 9.669 rekening dengan dana pihak ketiga (DPK) Rp355,8 miliar. Simpanan di bawah Rp2 miliar mencapai 9.600 rekening (Rp160,4 miliar). Sedangkan simpanan di atas Rp2 miliar sebanyak 30 rekening (Rp191,2 miliar). Sementara asetnya Bank IFI sekitar Rp440 miliar (0,01% dari total aset perbankan nasional).

Simpanan di bawah Rp2 miliar pun masih bisa dipilah-pilah lagi. Kendati di bawah angka Rp2 miliar, apabila suku bunga yang dipasang di atas suku bunga wajar penjaminan LPS (saat ini sebesar 7,75%), maka simpanan itu juga tidak masuk dalam skema penjaminan LPS. Demikian pula bisa saja satu orang memilah simpanannya menjadi beberapa simpanan dimana masing-masing di bawah Rp2 miliar, maka itupun hanya sebagian yang masuk skema penjaminan LPS. Dengan demikian, total simpanan yang dijamin LPS diperkirakan di bawah Rp160 miliar.

Menurut pemberitaan, LPS sendiri dalam hal ini sudah menyiapkan dana minimal Rp200 miliar untuk meng-cover DPK. Sementara itu, dana di luar penjaminan LPS, selayaknya menjadi tanggung jawab dari para pemegang saham. Inilah risiko dan tanggung jawab dari para penyimpan dana, yang selama ini senantiasa memburu dana-dana berbunga tinggi (kendati tidak masuk dalam skema penjaminan bank). Setidaknya melalui kejadian ini para penyimpan dana yang masih berburu dana mahal dari bank, akan berpikir ulang. Bahwa simpanan yang demikian mengandung risiko yang cukup besar, kalau ada penutupan bank.

Maklum, hingga kini masih banyak orang-orang kaya yang masih berburu dana mahal dari perbankan. Bayangkan, simpanan yang berada di atas Rp2 miliar mencapai 45% dari total dana yang disimpan di kocek perbankan nasional. Dana-dana itu jelas tidak mendapatkan penjaminan dari LPS. Dana-dana inilah yang selama ini menyandera industri perbankan, sehingga cost of fund bank menjadi mahal, yang ujung-ujungnya menyebabkan fenomena sulitnya penurunan suku bunga kredit. Tak ayal, pemerintah dan BI ”geram” dengan perbankan yang masih saja menahan penurunan bunga kredit.

LPS sendiri akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi untuk menentukan simpanan yang layak dibayar dan yang tidak layak dibayar LPS. Simpanan yang tidak layak dibayar apabila: tidak tercatat dalam pembukuan bank, nasabah adalah pihak yang diuntungkan secara tidak wajar seperti suku bunga yang melebihi penjaminan LPS, atau nasabah merupakan pihak yang menyebabkan bank menjadi tidak sehat. Oleh sebab itu, sudah selayaknya para pemilik dana kakap berpikir ulang untuk meminta suku bunga tinggi diluar penjaminan LPS. Kecuali dana tersebut memang lebih dari Rp 2 miliar dan disimpan di satu bank.

Sayangnya, banyak nasabah kakap kelas tanggung (hanya memiliki dana total maksimal Rp2 miliar), yang sesungguhnya masuk dalam skema penjaminan LPS, juga meminta previledge suku bunga ekstra di atas penjaminan LPS. Padahal, kalau ada likuidasi bank, dana-dana mereka berpotensi amblas tak berbekas.

Memang, masih ada penanggungjawab, dalam hal ini adalah para pemegang saham. Namun, jelas mereka akan kesulitan untuk mendapatkan penggantian, karena para pemegang saham sendiri mungkin juga akan memberikan prioritas yang lainnya terlebih dahulu. Dengan berbagai alasan, bisa saja proses penggantian akan berjalan lebih lama.

Bagaimana di Yogyakarta?
Bank IFI memang tidak memiliki cabang di kawasan DI Yogyakarta. Namun, bukan berarti tidak ada pengaruhnya sama sekali. Ketegasan BI untuk memberikan kartu merah pada Bank IFI, bukan tidak mungkin juga terjadi di bank-bank lain. Oleh sebab itu, agar para nasabah bank bisa tidur nyenyak, ada baiknya mulai manata ulang simpanannya. Artinya, jangan sekali-kali bermain api dengan meminta suku bunga di atas penjaminan LPS. Kalau itu dilakukan, dan kemudian banknya bermasalah dan ditutup oleh BI, maka dana simpanannya akan menjadi ikut bermasalah dalam proses pengembaliannya.

Tak hanya sebatas itu. Para nasabah bank sudah selayaknya memelototi kinerja bank pilihannya melalui laporan keuangan publikasi (LKP) bank-bank yang dimuat setiap triwulan di berbagai media massa dan juga di website BI. Artinya, setiap akhir Maret, Juni, September dan Desember, bank-bank wajib memuat LKP-nya minimal pada dua penerbitan (koran).

Nah, melalui wahana ini, nasabah bisa memonitor kinerja banknya, apakah semakin membaik atau semakin memburuk. Beberapa lembaga rating dan juga majalah yang bergerak di bidang keuangan-perbankan (InfoBank, majalah Investor) juga sering membuat semacam rating bank-bank. Di sanalah para nasabah bisa memantau kinerja banknya.

Dengan pengawasan melekat dari masyarakat ini, para nasabah bank tidak akan merasa kaget dengan adanya penutupan sebuah bank, yang terkesan serba mendadak. Penutupan sebuah bank, sejatinya sudah memperhitungkan banyak aspek, dan sudah dilakukan melalui serangkaian upaya panjang.

Likuidasi Bank-IFI misalnya, tidaklah dilakukan secara mendadak, namun sudah menempuh serangkaian upaya sejak tahun 2002 lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 2008 lalu. Namun, semua upaya itu kandas di tengah jalan. Akhirnya, likuidasi Bank IFI adalah pilihan terakhir dari serangkaian aksi penyehatan yang mengalami jalan buntu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya