SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Suwarmin Wartawan SOLOPOS

Orang masih membicarakan gempa dan tsunami Jepang yang terjadi Jumat (11/3) silam. Para orangtua yang mempunyai anak yang bekerja atau belajar di Jepang masih dihinggapi rasa cemas. Meski gempa dan tsunami dahsyat sudah lewat, mereka khawatir, jangan-jangan akan ada gempa dan tsunami lagi. Atau jangan-jangan buah hati mereka terpapar radiasi nuklir setelah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima meledak.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Di tengah kekhawatiran warga negara asing atas keselamatan keluarga mereka, masyarakat Jepang sendiri saat ini telah mencoba bangkit.

Kegigihan dan kegagahan bangsa Jepang yang sudah termasyur sejak zaman dulu, membuat mereka melewati krisis ini dengan seolah-olah senyap namun tangguh dan kuat. Tak ada terdengar kepanikan berlebihan. Ketika barang di supermarket langka atau ketika bensin terbatas, tak pernah terdengar kenaikan harga Sembako atau penjarahan.

Di pusat ledakan nuklir di Fukushima, seperti dikabarkan situs <I>NHK</I>, mulai Jumat (18/3), para petugas Jepang telah bertekad menjinakkan reaktor itu, meski harus bertaruh nyawa. Seperti pasukan berani mati yang rela melakukan harakiri atau bunuh diri demi keselamatan masyarakat Jepang. Surat kabar <I>Sankei Shimbun</I> seperti dilansir <I>kompas.com</I>, melaporkan, anggota polisi dan tentara yang dinamakan Kesshitai atau pasukan siap mati ini telah direstui keluarganya untuk mengemban tugas mulia itu. Sekitar 180 personel diturunkan guna mendinginkan reaktor nuklir. Setiap tim terdiri dari 50 anggota akan masuk ke dalam reaktor nuklir per 15 menit.

“Cara masyarakat Jepang menyikapi bencana, cara Pemerintah Jepang menghadapi bencana, membuat kami kuat. Semua orang percaya bahwa Pemerintah telah dan akan melakukan semua cara yang terbaik untuk mengatasi tragedi ini,” kata Kiki, WNI yang tinggal di Jepang, tadi malam, melalui <I>yahoo messenger</I>.

“Harakiri yang dilakukan Kesshitai membuat Jepang kian bersatu. Kini kami sudah bekerja kembali. Kawan-kawan dari Indonesia, setahu saya, sebagian besar juga sudah kembali bekerja. Jepang pasti akan bangkit kembali,” kata Kiki, yang jebolan D3 ini.

Kiki, gadis 24 tahun asal Kota Semarang, kini tinggal dan bekerja di Ibaragi, kawasan Jepang wilayah atas yang dekat dengan pusat gempa 9 skala Richter. Dia beruntung, meski merasakan gempa hebat, daerah tempatnya tinggal termasuk di dataran tinggi sehingga tak tersentuh tsunami. “Saya tinggal di apartemen. Setahu saya, tidak ada warga yang meninggal karena gempa di sekitar tempat saya tinggal,” katanya.

<B>Berlebihan</B>
Kiki dan sejumlah warga Indonesia di jepang yang tadi malam dihubungi, justru mengkhawatirkan orangtua mereka yang terlalu khawatir dengan keadaan mereka.

“Jumat, setelah gempa itu, saya dihubungi orangtua. Mereka menangis luar biasa, meminta saya pulang, meminta saya meninggalkan pekerjaan. Saya lihat tayangan televisi Indonesia melalui Internet. Kok berlebihan begitu. Seolah seluruh Jepang dalam bahaya,” kata dia.

Keluhan soal televisi Indonesia yang menyiarkan berita gempa secara berlebihan juga dirasakan Wiwid, warga Sukoharjo dan Wahyu, warga Sragen.

“Ibu saya menangis meraung-raung karena ketakutan saya kenapa-kenapa. Berita televisi justru membuat orangtua kami cemas dan ini justru membuat kami di sini tidak tenang,” kata Wiwid.

Menurut Kiki dan Wahyu, mungkin sudah tradisi masyarakat kita di sini selalu bersikap berlebihan alias <I>lebay</I>. Saat terjadi bencana alam misalnya, para pejabat tinggi negara, para elite partai, berduyun datang mendekati korban bencana, berempati atas penderitaan warga. Memang hal itu tidak jelek tetapi warga korban membutuhkan lebih dari sekadar simpati instan seperti itu.

“Saya tidak melihat tayangan pejabat partai mengunjungi daerah bencana. Semuanya berada di belakang pemerintah untuk mengatasi tragedi ini. Rasanya tidak patut cari muka di tengah penderitaan warga,” jelas Wahyu.

Kabar terakhir menyebutkan, Jepang kehilangan sedikitnya 18.000 orang karena gempa dan tsunami yang kini juga dikenal sebagai tragedi 11311.  Namun, semangat khas Jepang, <I>gambaru</I> yakni perjuangan sampai ke batas kemampuan, usaha hingga ke puncak pencapaian, telah membuat rakyat negeri itu mulai meretas kembali nilai-nilai yang telah membesarkan mereka. Gambaru digambarkan sebagai <I>doko made mo nintai shite doryoku suru</I> atau bertahan sampai ke mana pun juga dan berusaha habis-habisan.

Tri Parwoto, warga asal Karanganyar yang tinggal 50 km dari pusat ledakan PLTN di Fukushima menuturkan semua warga sudah bekerja meski harus memakai masker ke mana-mana. “Melihat warga begitu bersemangat, kami juga ikut-ikutan semangat, Mas,” kata Tri.

Memang Jepang yang kena bencana tapi dunia ikut mengambil pelajaran dari tragedi ini. Dunia melihat betapa warga Jepang bertarung gagah berani menghadapi kesulitan ini. Di sisi lain, kita juga bisa belajar, betapa manusia, betapapun hebatnya, tak pernah lepas dari ancaman bencana.

“Hidup kita ini begitu riskan,” kata orang bijak, yang mengingatkan agar orang tak pernah kehilangan kewaspadaan.

Jepang, negeri langganan gempa, yang sudah menyiapkan semua bangunan agar mampu bertahan dari gempa, yang selalu rutin melatih warganya di rumah-rumah, perkantoran, pabrik atau sekolah untuk membiasakan diri menghadapi keadaan darurat gempa, bahkan tak siap menghadapi gempa dan tsunami 11311.

Sementara kita di sini, jangankan gempa, banjir kiriman yang datang sesuai musimnya pun tak pernah bisa mengatasi.

Suwarmin
Wartawan SOLOPOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya