SOLOPOS.COM - Beberapa anak-anak sedang menonton Film tentang Genosida Muslim Rohingya Myanmar, di Masjid Istiqlal, Sumber Solo, Rabu (1/8/2012) malam. Sejak dini supaya ditanamkan sikap peduli kepada saudaranya dan semua makhluk Allah. (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Beberapa anak-anak sedang menonton Film tentang Genosida Muslim Rohingya Myanmar, di Masjid Istiqlal, Sumber Solo, Rabu (1/8/2012) malam. Sejak dini supaya ditanamkan sikap peduli kepada saudaranya dan semua makhluk Allah. (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Zhorifah, 4, sesekali terlihat serius melihat gambar-gambar yang ditampilkan di layar Liquid Crystal Display (LCD). Dia bersama orangtuanya hadir pada Pemutaran Film tentang Genosida Muslim Rohingya Myanmar, di Masjid Istiqlal, Sumber Solo, Rabu (1/8/2012) malam.

Promosi Selamat! 3 Agen BRILink Berprestasi Ini Dapat Hadiah Mobil dari BRI

Sebagian isi film itu bercerita tentang penderitaan yang dialami umat muslim di Myanmar.  Zhorifah tidak 100 persen melihat tayangan demi tayangan. Dia pun tak fokus mendengarkan atau mengerti tentang isi film tersebut. Beberapa kali dia terlihat bermain-main dengan temannya atau bergelayut badan ibunya.

Ibunda Zhorifah, Mila, 28, menuturkan sengaja mengajak anaknya menonton film itu. Mila menyadari Zhorifah belum mengetahui atau menangkap isi cerita itu. Namun, kata dia, tayangan itu untuk mengimbangi informasi dari televisi.

Mila ingin membiasakan anaknya mengetahui kondisi umat Islam yang lain dan ikut memiliki kepedulian. Adapun kepada umat yang berbeda keyakinan, Mila berupaya mengajarkan sikap saling menghargai dan kasih sayang. Namun, dia tetap waspada jika sudah bersinggungan soal akidah.

Terpisah, Andaru Sekar Jagatru, 7, sering diajak orangtuanya Haryani Saptaningtyas, bergaul dengan anak-anak sebayanya yang berbeda keyakinan. Yani pun berupaya menanamkan akidah buah hatinya sebagai benteng.

“Solidaritas supaya dibangun sejak kecil. Kita mengenal yang beda keyakinan tidak untuk mengenal teologis. Tapi, bagaimana sebagai manusia bisa bergaul dengan siapa saja,” kata Yani saat ditemui Solopos.com di rumahnya di Kartasura, Sukoharjo, Senin (30/8/2012).

Dia melihat ada ketakutan atau kekhawatiran baik di dalam diri sebagian umat Islam maupun non muslim jika mereka bergaul bersama akan berpengaruh kepada keyakinan masing-masing.

Di dalam kehidupan sehari-hari, sebagai umat Islam barangkali tidak terlepas dari kekhawatiran soal realitas keberagaman. Bagaimana sebaiknya kita bersikap?

Pengasuh Ponpes Al Muttaqin Pancasila Sakti (Alpansa) Klaten, KH Jazuli Kasmani NCB, menyampaikan jika berbicara soal menanamkan sikap dan perilaku menghargai perbedaan, Rasulullah SAW jelas-jelas sudah mencontohkan. Pria yang akrab disapa Gus Jazuli itu mengatakan Rasulullah SAW sejak kecil sudah tinggal bersama dengan pamannya, Abu Thalib yang berbeda keyakinan.

Kesan penting dari kehidupan Rasulullah SAW yaitu  sikap yang inklusif sudah dibentuk dari keluarga Rasul yang ditinggali. Bagaimana Rasul tetap menghormati pamannya yang berbeda keyakinan bahkan sampai Abu Thalib wafat.

Begitu pula dengan Abu Thalib yang memberikan perlindungan dan membela Nabi Muhammad SAW ketika mendapat tentangan saat berdakwah.

“Ini [kehidupan Rasul] luput dari bacaan orang. Rasul mendapatkan pembelajaran nyata dari pamannya yang berharga,” ujar Gus Jazuli saat dihubungi Solopos.com, Kamis (2/8/2012).

Gus Jazuli menuturkan sejarah mencatat kesantunan dan kedamaian telah ditanamkan paman Rasul yang berbeda keyakinan. Khazanah umat Islam perlu digali lebih mendalam. Ia menyebutkan agama tidak pernah melakukan kekerasan.

Namun, di dalam sejarah politik, kepentingan penguasalah yang beragama A, B dan seterusnya yang melakukan kekerasan. Oleh karena itu, pembelajaran bagi umat Islam supaya bisa menyampaikan Islam yang tidak identik dengan kekerasan. Selain itu, kritikan bagi orang lain jika menyebut Islam identik dengan kekerasan, betapa memaknai Islam dengan cara pandang yang sempit.

Sudah menjadi kewajiban orangtua menanamkan ajaran agama Islam. “Kader-kader kita harus diberi kebebasan bergaul dengan siapa saja. Harus bisa menunjukkan batas-batas dan wilayah yang diketahui masing-masing pihak,” tambahnya.

Gus Jazuli mengatakan momentum Ramadan ini banyak sesuatu yang muncul dari kejujuran dan ketulusan baik dari tindakan dan ucapan.  Perlu terus dibiasakan untuk menanamkan kejujuran dan ketulusan. Dia menilai jika melihat orang lain dengan prasangka, tidak dengan ketulusan dan kejernihan maka hasilnya tidak akan menjadi produktif.

Ia menganggap tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan jika anak-anak muslim bergaul dengan teman-teman yang berbeda keyakinan. Kekhawatiran muncul karena ada bayang-bayang yang disebabkan atas ketidakpercayaan dan ketidakjujuran.

“Menurut saya, kejujuran kata hati menjadi kunci untuk membentuk perkembangan dan pertumbuhan,” ujarnya.

Ditemui terpisah, praktisi Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan Taman Pendidikan Quran (TPQ), Muhammad Nasyir, kepada anak-anak perlu disampaikan bahwa Allah SWT menciptakan makhluk beragam warna dan bentuknya. Makhluk-makhluk akan tumbuh dengan cara yang berbeda.

“Sejak zaman Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, ciptaan Allah itu beragam. Sejak anak-anak supaya diajarkan mengenal dan mencintai makhluk Allah agar mereka kenal dengan baik,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya