SOLOPOS.COM - Ilustrasi difabel (istimewa)

Sebagian besar karyawan berasal dari daerah sekitar rumah produksi Sogan Batik di Rejodani, Sariharjo, Ngaglik, Sleman.

Harianjogja.com, SLEMAN—Sogan Batik sudah berdiri sejak 2001. Berawal dari tiga orang, kini Sogan Batik semakin berkembang dan memiliki 55 karyawan di mana 17 di antaranya merupakan difabel. Hal ini sejalan dengan kebijakan Sogan Batik untuk memberikan kesempatan bagi para difabel untuk tetap berkarya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pemilik Sogan Batik Taufiq Abdurrahman menyebutkan, sebagian besar karyawan berasal dari daerah sekitar rumah produksi Sogan Batik di Rejodani, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. “Kami memang memberikan kesempatan masyarakat sekitar dan kami juga memberi kesempatan pada penyandang difabel untuk berkarya,” kata dia kepada Harian Jogja beberapa waktu lalu.

Sebanyak 17 karyawan difabel tersebut bertugas di beberapa bagian yakni bagian membatik, pemotongan, dan jahit. Kinerja mereka dan karyawan lainnya sangat bagus sehingga kualitas Sogan Batik tetap terjaga.

Sejak berdiri 2001 silam, perjalanan bisnis Sogan Batik tidak selalu mulus dan ada kecenderungan stagnan. Namun, bisnis ini menghadapi titik balik pada 2009 di mana saat itu batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009 oleh UNESCO.

Di saat itulah kesadaran masyarakat untuk menggunakan batik semakin meningkat dan hal itu berpengaruh pada geliat bisnis batik. Untuk menunjang bisnis, pada 2009, Sogan Batik sudah memanfaatkan pemasaran berbasis internet dengan berbekal koneksi delapan tahun sebelumnya. “Pada 2010, kami lebih serius menggarap bisnis ini. Sogan Batik memiliki komitmen untuk hadirkan batik asli yang diproses melalui proses pembatikan yang sebenarnya yakni menggunakan canting, cap, dan pewarnaan celup,” ungkap dia.

Ia mengungkapkan, penjualan dilakukan secara online sampai. Sebanyak 90% omzet berasa dari online. Perilaku masyarakat selama lima tahun terakhir mengalami perubahan di mana lebih banyak yang melakukan transaksi secara online. Barang yang dijual di online kebanyakan pakaian jadi siap pakai.

Ia menjelaskan, sistem produksi dilakukan secara made by order. Rata-rata kapasitas ouput 1.200 baju jadi per bulan dengan omzet rata-rata Rp400 juta. Pertumbuhan bisnis batik cukup baik yakni 20% hingga 40%.

Namun, untuk kain batik tidak dijual secara online, tetapi harus datang ke gerai. Hal itu dilakukan untuk menjaga eksklusifitas dan nilai jual kain batik. Adapun harga setiap batik cap mulai dari Rp200.000 dan batik tulis mulai dari Rp400.000 untuk dua meter.

Untuk inspirasi mode, owner Sogan Batik Iffah M Dewi mengatakan, mendapatkannya dari mana saja. Dalam setahun minimal ada empat koleksi baru untuk penyegaran produk. “Pertimbangannya bisa banyak hal. Biasanya diambil koleksi warisan budaya .Saya menuangkan nilai-nilai yang ingin saya sampaikan dalam setiap karya baik motif dan potongan baju,” kata dia.

Majunya industri kreatif dan tingginya kebutuhan sambungan internet yang cepat ditangkap pula oleh Telkomsel untuk menyediakan jaringan yang luas dan cepat. GM Sales Region Jateng & DIY Telkomsel Djony Heru Suprijatno mengatakan, Telkomsel memiliki komitmen untuk mendukung perkembangan industri kreatif melalui jaringan yang luas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya