SOLOPOS.COM - Lambang Nahdlatul Ulama (NU). (www.maarif-nu.or.id)

Solopos.com, SURABAYA — Resolusi Jihad yang dirumuskan dan diacu nahdliyin pada masa Perang Kemerdekaan terbukti mampu mengantarkan Indonesia lepas dari penjajahan. Kini organisasi muslim terbesar di Indonesia itu kembali merumuskan resolusi serupa.

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH As’ad Said Ali di Surabaya, Selasa (22/10/2013), mengungkapkan bahwa pihaknya sedang menyusun atau merumuskan Resolusi Jihad II untuk mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi yang membawahi lembaga tinggi, di atas Presiden dan DPR.

Promosi Jelang Lebaran, BRI Imbau Nasabah Tetap Waspada Modus Penipuan Online

“Kita belum tahu apa namanya, apakah fatwa, resolusi jihad II, III, atau apa, yang jelas para kiai sudah resah dengan situasi yang menyimpang dari Pancasila akhir-akhir ini,” katanya dalam sarasehan Revitalisasi Resolusi Jihad NU di Surabaya, Selasa.

Ia mengemukakan hal itu dalam sarasehan yang dibuka Gubernur Jatim Soekarwo dan dihadiri mantan Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI (Pur) Saiful Sulun, KH Solahuddin Wahid dari Tebuireng, Jombang, KH Miftachul Akhyar selaku Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, dan KH Sholeh Qosim dari Sidoarjo.

“Keresahan para kiai sudah diungkapkan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfud dalam Munas Alim Ulama NU di Buntet, Cirebon pada beberapa waktu lalu, bahkan Presiden langsung merespons keresahan para kiai itu saat menutup Munas itu,” katanya.

Intinya, para kiai meresahkan dinamika politik yang berkembang jauh dari kesepakatan pendirian negara ini akibat masuknya liberalisme dan fundamentalisme yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara secara sistematik. “Para kiai langsung meminta MPR dikembalikan kepada fungsinya sebagai lembaga negara tertinggi yang membawa lembaga tinggi negara lainnya, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sehingga bila ada masalah antarlembaga maka ada penengah yakni MPR,” katanya.

Selain itu, para kiai juga meminta amendemen UUD 1945 ditinjau kembali, karena hanya sedikit amendemen yang bermanfaat, seperti terkait HAM, sedangkan lainnya justru mudarat (tidak bermanfaat). “Jadi, amendemen itu jangan menabrak Pembukaan UUD 1945,” katanya.

Para kiai juga meminta 10 UU terkait ekonomi ditinjau ulang. “Ekonomi harus mengedepankan etika dan ekonomi khas Indonesia adalah gotong royong, antara ekonomi atas dan ekonomi bawah saling bekerja sama dan saling membantu,” katanya.

Untuk pemilihan langsung mungkin cukup di tingkat provinsi, karena demokrasi itu menyimpang dari Pancasila. “Pancasila itu mengedepankan musyawarah. Itulah demokrasi ala Indonesia, bukan pemilihan langsung,” katanya.

Di bidang hukum, para kiai juga tidak sepakat dengan hukum yang formalistik tanpa etika dan keadilan. “Di bidang budaya juga sama, NU tidak sepakat maksiat dilawan dengan kekerasan, tapi maksiat harus dilawan dengan sistem, strategi, dan kebijakan,” katanya.

Menurut dia, Presiden memahami semua keresahan para kiai itu dan sepakat dengan pandangan para kiai. “Hanya saja, Presiden meminta waktu untuk menunggu pasca-2014 agar amendemen atau dinamika yang ada tidak terkesan bongkar pasang setiap tahun,” katanya.

Dalam kesempatan itu, mantan Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI (Purn) Saiful Sulun mengakui liberalisme sudah menggantikan Pancasila di negeri ini dengan menumpang reformasi, karena itu dirinya mendukung jihad para ulama NU untuk mengembalikan Indonesia ke rel yang semestinya.

“Saatnya, para ulama NU mengeluarkan fatwa kembali seperti Resolusi Jihad di masa lalu. Resolusi Jihad NU II itu berisi tiga hal yakni kembali ke Pancasila, kembali ke Demokrasi Indonesia, dan kaji ulang amendemen UUD 1945,” katanya.

Saat membuka sarasehan itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mendukung peristiwa “Resolusi Jihad NU” diperingati secara rutin pada setiap tahun karena erat kaitannya dengan Pertempuran 10 November. “Saya setuju, karena itu saya mendukung acara ini, bahkan saya mendukung peringatan Resolusi Jihad NU itu diperingati pada setiap tanggal 22 Oktober yang nantinya dirangkai dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November,” katanya.

Peringatan 68 tahun terbitnya naskah Resolusi Jihad oleh para ulama NU itu digelar Pengelola Museum Nahdlatul Ulama dengan berbagai kegiatan, di antaranya sarasehan (22/10), tapak tilas dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ke Kantor Cabang NU Surabaya (23/11), dan Festival Syi’ir Nusantara. “Sejarah perjuangan para ulama NU lewat Resolusi Jihad itu sangat penting, karena NKRI tidak akan pernah ada kalau Pertempuran 10 November tidak ada dan Pertempuran 10 November itu juga tidak akan pernah ada kalau Resolusi Jihad tidak ada,” kata pemerhati sejarah NU Drs H Choirul Anam atau akrab disapa Cak Anam.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya