SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta--Imbauan Katib Am PBNU KH Malik Madani soal tidak perlunya ulama menyalati jenazah koruptor terbatas sampai jika koruptor itu tidak bertobat.

Jika setelah divonis terlibat kasus korupsi sang koruptor bertaubat, ulama bisa menyalati mereka.

Promosi Wealth Management BRI Prioritas Raih Penghargaan Asia Trailblazer Awards 2024

“Kalau sudah kembali menjadi orang baik-baik, menyadari betul kesalahannya, dia sudah bertobat, ya bisa lagi disalati. Tuhan saja memaafkan sebesar apa pun kesalahan hamba-Nya, apalagi kita,” kata Kiai Malik kepada detikcom, Kamis (19/8).

Ekspedisi Mudik 2024

Menurut mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, imbauan ulama tak perlu menyalati koruptor berlaku secara umum. Termasuk jika ada koruptor yang tidak bertobat dari kalangan warga nahdliyin.

“Hukum itu berlaku untuk semua orang. Saya tidak menyebut nama si A dan si B yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Pokoknya kalau meninggal sebelum bertobat, berlaku imbauan dan hukum itu. Ini dalilnya kan hadits,” terangnya.

Malik menegaskan imbauan tidak perlunya ulama menyalati jenazah koruptor sudah diputuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Pondok Gede.

Karena itu, bagi warga nahdliyin, imbauan itu bukanlah barang baru.

“Dalam Munas Alim Ulama NU Pondok Gede sudah diputuskan, sekitar tahun 2000-anlah. Saya bersama Masdar (Farid Mas’udi) konseptornya,” tegasnya.

Saat ditanya apa kriteria jenazah yang tidak perlu disalati ulama saat meninggal? Malik menjawab,” Kalau ada orang yang diduga terlibat kasus korupsi, sedang diproses hukum, atau sudah dihukum, tetapi tidak menunjukkan rasa bersalah, atau malah perilakunya tak berubah, itu yang tidak perlu disalati ulama.”

“Dasarnya jelas, ada peristiwa pada zaman Rasulullah, ada salah seorang sahabat meninggal dunia. Tetapi Nabi tidak mau menyalatinya. Saat sahabat bertanya kepada Nabi kenapa tidak disalati, Nabi mengatakan, dia membawa manik-manik dari rampasan perang orang Yahudi. Riwayat ini bisa dilihat dalam kitab Nailul Author, karya Asyaukani,” jelas Malik.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, menyebut seseorang yang melakukan korupsi adalah “kafir”. Bahkan keduanya perlu menjelaskan konsep bersamanya itu dalam sebuah buku.

Buku itu kini telah terbit dengan judul “Koruptor itu Kafir”, Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU).” Hadir sebagai pemapar dalam peluncuran buku itu semalam adalah KH Malik Madani.

dtc/nad

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya