SOLOPOS.COM - Ilustrasi/dok

Ilustrasi/dok

BANTUL—Karut marut dana hibah untuk KONI tidak saja terjadi di Sleman. Pada 2011 lalu, sejumlah aktivis antikorupsi di DIY sempat mempersoalkan kebijakan dana hibah untuk Persiba Bantul sebesar Rp4,5 miliar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hanya hingga kini kasus tersebut tidak ada tindaklanjutnya. Pasalnya, pengucuran dana hibah tersebut juga tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat memeriksa laporan keuangan Pemkab Bantul. “Untuk 2011, seingat saya tidak [jadi temuan BPK],” kata anggota Komisi D DPRD Bantul, Jupriyanto, Rabu (19/12/2012).

Berdasarkan catatan Harian Jogja, hibah untuk Persiba Bantul itu juga pernah dipertanyakan  dalam Pansus laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) DPRD Bantul. Sepanjang 2011 Persiba mendapat dana Rp12,5 miliar. Sebanyak Rp8 miliar dari APBD murni 2011 dan Rp4,5 miliar dari APBD Perubahan 2011.

Kala itu, manajemen Persiba menerangkan, Rp4,5 miliar di antaranya untuk membayar pemain dan pelatih yang kontraknya berakhir pada September 2011.
Sebab, sejak Mei 2011, Persiba mengalami defisit anggaran Rp3 miliar lebih. Namun, setelah menjadi klub profesional, sejak Oktober hingga akhir 2011, Persiba dipastikan tidak meminta dana dari APBD.

Mengingat, pemberian hibah kepada klub sepak bola profesional mulai dilarang oleh Permendagri No.32/2011 yang mengatur tentang hibah dan bantuan sosial. Maka itu, dana hibah untuk KONI Bantul pada 2011 (yang mencapai sekitar Rp12,5 miliar) menyusut drastis menjadi sekitar Rp1,9 miliar pada 2012.

“Dana hibah Rp1,9 miliar itu untuk 30 cabang olahraga [cabor]. Kuotanya sesuai dengan usulan KONI Bantul dan usulan dari Komisi D,” jelas Jupriyanto, anggota Dewan dari Fraksi PKS. Jumlah tersebut disetujui setelah mempertimbangkan prestasi serta penilaian terhadap realisasi anggaran serta laporan keuangan masing-masing cabor.

Meski statusnya hibah, Jupriyanto menerangkan, dana Rp1,9 miliar itu tetap akan diaudit oleh BPK. “Tergantung BPK, mana yang mau di-sampling [dijadikan contoh],” pungkas Jupriyanto.

Adapun Kantor Kesatuan Bangsa Kota Jogja ini belum pernah menemukan keganjilan soal penggunaan hibah KONI Jogja. Hanya saat pencairan pada 2012, sempat tersendat karena status Ketua KONI Jogja saat itu Suhartono. Suhartono mantan Anggota DPRD Kota Jogja harus menjalani hukuman karena terjerat korupsi dana purna tugas. Karenanya, dengan statusnya itu, anggaran hibah KONI tahap kedua sebesar Rp4 miliar sempat seret.

“Namun karena ada surat dari Pak Prabu [G.B.P.H Prabukusumo, Ketua KONI DIY], bahwa yang bersangkutan masih dibutuhkannya, dana itu sepakat dicairkan,” kata Kepala Kantor Kesatuan Bangsa Kota Jogja, Sukamto.

Kesepakatan itu dihasilkan pada 5 November dengan difasilitasi oleh Walikota Jogja, Haryadi Suyuti. Anggaran itu kemudian dicairkan setelah kepengurusan KONI menyampaikan surat pertanggung jawaban (SPJ) penggunaan anggaran tahap pertama sebesar lebih Rp5 miliar. Dalam SPJ itu, juga disertai dengan audit dari lembaga keuangan independen.

Ketua KONI Kulonprogo, Sardal memastikan tak ada penyelewengan dana hibah.
“Kalau Kulonprogo punya apa sih? Dana hibah dari APBD yang mengalir ke kami saja sangat minim, apa yang mau diselewengkan. Kucuran dana itu saja untuk mengalokasikan kebutuhan seluruh cabang olahraga sudah sangat minim,” ujarnya.
Kucuran dana APBD pada 2012 ini sebesar Rp450 juta. Itu pun baru cair sebanyak Rp300 juta yang telah diberikan pada 24 Juli silam. Sisanya sebesar Rp.150 juta hingga kini belum cair.

Adapun KONI Gunungkidul menjamin keterbukaan manajemen termasuk dalam hal pengelolaan anggaran. Laporan tahunan diklaim disampaikan secara terbuka kepada anggota. “Di rapat anggota hal itu dibahas,” kata Sekretaris I KONI Gunungkidul Supardi.

Supardi mengatakan dana APBD yang disuntikkan untuk KONI Gunungkidul pada 2012 sekitar Rp700 juta. Sekitar Rp225 juta di antaranya digunakan untuk hibah sejumlah cabang olahraga. “Total ada 28 cabor ditambah Perwosi dan BPOC,” kata Supardi.

Selain itu anggaran digunakan untuk beasiswa atlet berprestasi, pemusatan latihan, pengadaan sarana-prasarana, Pekan Olahraga Kabupaten (Porkab) sampai Pekan Olahraga Kecamatan.

Direktur Indonesia Court Monitoring, Tri Wahyu mengatakan rekam jejak semestinya dijadikan pijakan pengurus KONI. “Saya sepakat apabila dengan adanya kasus KONI Sleman kemudian dapat dijadikan pembelajaran bagi KONI-KONI lainnya, bahwa rekam jejak dan profesionalitas menjadi penting,” katanya.

Apalagi, dengan dikuasainya kepengurusan KONI oleh politisi menurutnya menjadi tak baik karena ketakutannya lembaga tersebut lebih kental nuansa politiknya seperti yang terjadi di tubuh organisasi persepakbolaan Indonesia. “Jangan sampai KONI justru jadi kapling-kapling yang disediakan untuk politisi,”tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya