SOLOPOS.COM - Ilustrasi penataan rumah ala korea (bramblefurniture.com)

Solopos.com, SOLO – Kinerja ekspor furnitur ke Uni Eropa terganjal pemberlakuan Undang-Undang Deforestasi yang harus dipenuhi para eksportir terkait bahan baku. Pasar ekspor ke Benua Biru bakal lebih ketat lantaran bahan baku untuk furnitur tidak diperbolehkan berasal dari pohon liar.

Saat ini, kondisi ekspor furnitur masih lesu akibat tekanan ekonomi global yang tak kunjung mereda. Ditambah konflik berkepanjangan Rusia-Ukraina yang mengakibatkan laju inflasi tinggi di Uni Eropa. Kondisi ini mengakibatkan daya dan penurunan permintaan mebel dari luar negeri.

Promosi NeutraDC Hadir sebagai AI Enabler di Indonesia Cloud & Datacenter Convention

Kondisi ini ditambah pemberlakuan Undang-Undang Deforestasi di Uni Eropa yang menekankan upaya memperketat bahan baku furnitur. Tak ayal, eksportir Indonesia harus memenuhi standar forest stewardship council (FSC) apabila ingin memembus pasar Uni Eropa.

“Ini menambah beban berat bagi pelaku ekspor furnitur khususnya ke Uni Eropa. Karena biaya atau cost produksi akan membengkak,” kata Ketua Bidang  Bahan Baku DPD Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Soloraya, Suryanto, saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu (1/4/2023).

Selain itu, para eksportir furnitur bakal kesulitan mencari bahan baku row material karena tak semua kayu memenuhi standar FSC. Kayu yang sesuai standar FSC berasal dari pohon yang ditanam bukan pohon liar. Sementara, tak semua pohon yang ditanam memenuhi kaidah-kaidah FSC.

Suryanto menyebut hutan tropis di Tanah Air membuat pohon tumbuh lebih cepat berkali lipat dibanding negara lain. Karena itu, selama ini, para eksportir furnitur tak pernah kesulitan mencari bahan baku lantaran cukup berlimpah. “Kebijakan standar FSC untuk bahan baku furnitur menjadi pekerjaan rumah. Pengurus Himki sedang melakukan pendekatan dan komunikasi secara intensif dengan Uni Eropa,” ujar dia.

Sebenarnya, industri mebel dan furnitur sudah memiliki sertifikasi sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK). Sertifikasi itu bertujuan memastikan legalitas kayu yang beredar dan diperdagangkan di Tanah Air.

Kini, pengurus Himki tengah memperjuangkan kesetaraan SVLK dengan FSC agar kinerja ekspor ke Benua Biru kembali meningkat pada 2023. “Harapan ke depan bisa setara [SVLK dan FSC]. Jadi teman-teman eksportir furnitur tak lagi kesulitan mencari bahan baku dan menekan cost produksi,” ujar dia.

Sementara itu, Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai V Bea Cukai Solo, Agung Setijono, mengatakan terus mendorong produk mikro kecil dan menengah (UMKM) dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk menembus mata rantai global. Bea Cukai Solo bersama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Solo meluncurkan program devisa di Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo.

Desa Trangsan dikenal sebagai sentra industri kerajinan rotan di Jawa Tengah. Mayoritas produk kerajinan rotan diekspor ke sejumlah negara di Eropa maupun Amerika.

Potensi tersebut dimaksimalkan untuk menggenjot kinerja ekspor pada tahun ini. “Kegiatan program desa devisa berupa pelatihan dan bimbingan teknis untuk menjawab tantangan dan hambatan pasar ekspor. Harapannya, perajin rotan yang belum berorientasi ekspor bisa menembus pasar luar negeri,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya