SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Braakk! “Trembelese.., jan nganyelke tenan. Masak iya sih, mau jadi orang baik-baik saja kok, sulit. Benar-benar tidak masuk akal, huh.” Kang Karto duduk sambil mendengus keras. Tangan kirinya mengusap-usap tangan kanannya, yang mungkin kerasa mrengkel gara-gara menghajar meja tak berdosa.

Ndilalah, biar terlihat reyot, meja angkringan Lik No itu terbuat dari kayu jati kualitas lumayan. Melihat Lik No mesam-mesem memandanginya, Kang Karto semakin muring-muring. “Kamu itu ngapain cengar-cengir? Ayo, biasa, gawekke kopi sing kentel, No.”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kelakuan Kang Karto yang punya profesi mentereng itu, tukang tagih utang, atau istilah kerennya debt collector, mau tak mau mengusik pria berpenampilan perlente di sebelahnya. Lelaki itu segera beringsut sambil matanya melirik ke Kang Karto.

Pakdhe Suwar buru-buru mencairkan suasana di angkringan Lik No. “To… Karto, datang-datang kok langsung uring-uringan dhewe. Ada apa?” Merasa kalah awu, Kang Karto pelan-pelan mengatur napas. Dihirupnya kopi kental buatan Lik No.

“Begini Dhe, saya itu sungguh-sungguh ndak habis pikir. Coba sampeyan baca sendiri nih beritanya. Coba Dhe, lha wong copet mau pada insaf kok malah diperas sama polisi. Akibatnya mereka terpaksa harus nyopet supaya bisa bayar uang setoran.”

Kang Karto lalu menyerahkan koran yang sedari tadi dipegangnya kepada Pakdhe Suwar. Jelas sekali terlihat gurat kekecewaan di wajah Kang Karto.

Maklum saja, sebelum akhirnya bekerja menjadi tukang tagih utang, Kang Karto pernah beberapa kali mendaftar jadi polisi. Berkali-kali pula dia gagal. “Uangnya nggak cukup. Padahal sudah habis hampir satu pathok sawah.” Alasan itulah yang selalu dia ucapkan setiap ditanya kenapa gagal jadi polisi.

Berbekal olah fisik saat ngelamar jadi polisi, plus postur gempal dan tongkrongan wajah nan lumayan sangar, jadilah Kang Karto tukang tagih yang cukup disegani di kalangan sejawatnya.

Selesai membaca koran yang dijulurkan Kang Karto, sambil melepas kacamata plusnya, Pakdhe Suwar menggeleng-gelengkan kepalanya yang nyaris tak berambut.

“Padahal, Pak Kapolri yang baru, Jenderal Bambang Hendarso Danuri, pernah secara terbuka minta maaf apabila polisi belum bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bener itu, lha wong saya juga mbaca beritanya di koran je.”

“Seharusnya,” Pakdhe Suwar jadi semakin serius, “Ya, seharusnya kejadian polisi sampai meras pencopet itu tidak boleh terjadi.” Pria perlente di samping Kang Karto mendadak terbatuk-batuk. Rupanya dia tersedak saat menyeruput teh tubruk.

Polisi dan penjahat, termasuk para pencopet yang mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta itu, sejak zaman nenek moyang dulu memang nggak pernah akur.

Pola hubungan keduanya mirip kucing dan tikus, seperti film kartun terkenal Tom & Jerry. Ini cermin perilaku sosial dari dua pekerjaan yang saling bertolak belakang. Kalau keduanya saling bertemu, sudah pasti terjadi kejar-mengejar.

“Kenapa ada polisi? Ya karena ada penjahat, ada kejahatan. Rakyat butuh pengayoman, itu sebabnya polisi diciptakan,” dalil Pakdhe Suwar.

“Tapi ndak harus sebaliknya ta dhe? Kenapa ada penjahat? Ya karena ada polisi. Supaya polisi punya kerjaan, ya diciptakanlah penjahat. Lha persis kasus ini ta dhe, wong copet-copet itu pada mau insaf kok malah dimintai uang setoran,” potong Kang Karto.

Pakdhe Suwar terdiam. Ingatannya lantas melayang ke mahasiswa tetangganya yang baru saja ketiban apes dikerjai penjahat di daerah Sayidan. Sudah kena pukul, telepon genggam mahasiswa itu dirampas dua begundal.

Itu bukan satu-satunya kejadian di Jogja. Belakangan, sebelum dilancarkan operasi penertiban preman, aksi kriminalitas kerap terjadi di Kota Gudeg.

“Jogja sekarang jadi kota judheg. Katanya mirip busway, nyatanya Trans Jogja nggak jauh beda dengan bus kota biasa. Katanya kota pelajar, nyatanya perilaku generasi mudanya semakin bikin hati miris. Ini coba, copet kok sadar hukum, ngadu ke LBH segala. Mana ada kegiatan copet-mencopet kok dilindungi aturan.”

Pakdhe Suwar rupa-rupanya mulai terprovokasi omongan Kang Karto. Lhadalah, Kang Karto mbalik angin. “Ya ndak begitu Dhe. Copet kan juga manusia. Lagi pula, mereka yang ngadu ke LBH itu katanya kan juga pada mau insaf.”

Saat Pakdhe Suwar mau menanggapi pembelaan Kang Karto terhadap para copet, pria perlente di sebelah Kang Karto buru-buru mbayar lalu pamitan dan meninggalkan angkringan Lik No.

“Kuwi mau sapa No? Wajahnya kok masih asing?” tanya Pakdhe Suwar.

“Mboten ngertos Dhe. Tadi sebelum sampeyan dan Kang Karto datang, dia sempat cerita sedikit. Katanya dia itu wiraswastawan. Cuma itu yang saya tau,” jawab Lik No.

Melihat ada yang mendekati becaknya, Pakdhe Suwar bangkit. “Mbayare mengko ya No, tak narik dhisik. Rezeki pantang ditolak.” Lik No cuma tersenyum kecut.

Giliran Kang Karto mbingungi dhewe melihat satu demi satu pembeli pada berlalu. Dia pun memutuskan ikut pergi. “Lhadalah, dompetku kok ilang. Asem tenan … Dasar copet kurang ajar,” teriak Kang Karto.(Wartawan HARIAN JOGJA/Verdy B Hendratmoko)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya