SOLOPOS.COM - Kholilurrohman JIBI/SOLOPOS/dok)

Kholilurrohman (JIBI/SOLOPOS/dok)

Para civitas akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta/Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta mati-matian memperbaiki mutu STAIN/IAIN Surakarta agar keberadaannya terus melekat di hati masyarakat. Bila tidak, STAIN/IAIN Surakarta nasibnya akan seperti SD Negeri (SDN) yang sekarang gulung tikar (digabung) karena tidak ada siswa baru.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Siswa SDN itu pindah ke sekolah yang dikelola yayasan/Ormas Islam yang menawarkan nilai lebih. Makanya, seperti yang dikemukakan Toto Suharto yang dimuat SOLOPOS edisi Jumat (8/7/2011), STAIN/IAIN Surakarta harus terus membenahi dirinya baik dalam kerangka akademik maupun administrasi. Tujuannya, agar STAIN / IAIN Surakarta terus bisa berkhidmat di tengah masyarakat. Toto Suharto menilai ketika beleid perubahan STAIN Surakarta menjadi IAIN Surakarta sudah terbit, ternyata tak ada kegairahan di kampus itu untuk menggali, menggagas, merumuskan dan mengaplikasikan dasar epistemologi keilmuan yang menjadi ciri khas IAIN Surakarta. Toto menyarankan epistemologi Islam Jawa. Namun, sayangnya dia tidak mengelaborasi sarannya dan tidak berakhir pada usulan berupa metode atau rumusan konkret yang bisa diaplikasikan di IAIN Surakarta.

Mbah Maridjan (ketika masih hidup) pernah ditanya bagaimana kiat mencari usaha? Mbah Maridjan menjawab carilah usaha yang kalau dihina tidak terhina. Kalau logika ini digunakan, barangkali setelah membaca tulisan Toto Suharto, pihak STAIN/IAIN Surakarta juga tidak perlu susah. Justru itu akan menguji, apakah yang ditulis Toto benar atau tidak? Kalau benar, berarti STAIN/IAIN Surakarta harus semakin menggiatkan diri dalam berinovasi pemikiran dan pelayanan. Sebaliknya, bila salah, cukup menjadi pelajaran kita semua bahwa sebaik-baik apa pun usaha kita, pasti ada celanya. Secela-celanya kita, pasti ada kebaikannya.

Ekspedisi Mudik 2024

Mbah Maridjan telah memantapkan konsep diri ala Jawa bagi para pelaku usaha (termasuk dalam dunia pendidikan) agar tidak mudah sakit hati. Sebab ada komentar dari kalangan internal bahwa sesama civitas STAIN/IAIN Surakarta tidak kompak. Jika demikian yang untung adalah lembaga lain. Mbah Maridjan telah mengajarkan semacam bekal yang berangkat dari tradisi lokal Jawa yang dikembangkan dari filosofi Jawa becik ketitik ala ketara. Banyak lembaga pendidikan yang bertumbangan setelah sekian lama berkhidmat di tengah masyarakat, mengapa? Karena para civitasnya tidak kuasa mengikuti perkembangan zaman. Benar yang dikatakan Ali RA, kebaikan yang tidak dikelola secara baik akan terkalahkan oleh keburukan yang dikelola secara baik.

Saat ini, sepengetahuan saya, para civitas akademika STAIN/IAIN Surakarta terus meningkatkan diri untuk menjawab kebutuhan zaman mulai dari pengayaan kearifan lokal sampai pemanfaatan sumber-sumber dari luar negeri. Sebagaimana yang dinyatakan Toto, sebagian besar dosen STAIN/IAIN Surakarta sedang menjalani pendidikan doktor.
Sangat tidak patut bila membandingkan STAIN/IAIN Surakarta dengan STAIN Salatiga—sebagaimana tulisan Toto Suharto, sebab setiap STAIN memiliki ciri khas masing-masing. Bukankah STAIN Surakarta sudah dan sedang bermetamorfosa menjadi IAIN? Sedangkan yang di Salatiga masih STAIN.

Saya berharap STAIN Surakarta yang saat ini sedang menunggu peresmian menjadi IAIN Surakarta tetap terus berinovasi dalam pemikiran dan riset, sebab tanpa itu sebuah perguruan tinggi tidak bisa dirasakan kehadirannya di tengah kegalauan masyarakat yang terus haus akan jawaban dari kiprah perguruan tinggi.Sayangnya, dalam tulisannya Toto Suharto sebagai bagian dari civitas akademika STAIN Surakarta yang sedang menuju ke IAIN Surakarta menunjukkan tidak pernah terlibat diskusi di kalangan dosen. Padahal setahu saya, para dosen senantiasa meningkatkan pemikiran mereka baik lewat membaca, riset dan diskusi.

Membangun citra
Dalam tulisannya tampak nyata Toto masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan bahwa STAIN Surakarta yang menuju IAIN Surakarta tidak memiliki paradigma berpikir, tak punya landasan epistemologi ilmu. Padahal setahu saya, pihak rektorat dan civitas akademi STAIN Surakarta sering membicarakan itu sebagaimana yang pernah terungkap ketika Amin Abdullah yang pernah menjabat rektor IAIN Sunan Kalijaga dan mengubah diri menjadi UIN bertanya apa yang akan membedakan IAIN dengan UIN? Hal yang sama ketika dulu Usman Abu Bakar bertanya kepada para dosen ketika STAIN berubah menjadi IAIN apa yang akan ditawarkan? Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Surakarta beberapa tahun terakhir memfokuskan penelitian pada pengembangan program studi yang berbasis kekayaan lokal, pengembangan ilmu dan teknologi belajar, pengembangan metode pengajaran dan lain-lain.

Kemudian saya tidak paham dengan alur pikir yang sedang ditawarkan Toto? Pertama, ketika saya membaca judulnya, saya seakan-akan menemukan tentang pemikiran Jawa yang saat ini menjadi salah satu studi saya, tetapi ternyata ketika saya baca lebih dalam ternyata sekadar ngudarasa atas apa yang dilihatnya tentang STAIN Surakarta yang hendak menjadi IAIN Surakarta.

Kedua, secara keilmuan, Toto juga tidak menawarkan ide sama sekali tentang apa tren yang bisa menjadikan ciri khas dari perubahan STAIN ke IAIN sehingga akan menambah khasanah pemikiran bagi civitas akademika STAIN Surakarta yang tergabung dalam tim konsorsium.

Ketiga, Toto masih terlalu serampangan dan gegabah di tengah suasana STAIN yang sedang menyiapkan diri menjadi IAIN, apalagi STAIN/IAIN Surakarta sedang menjaring mahasiswa baru. Menurut saya, apa yang ditulis Toto terlalu berani dan berlebihan.

Suatu hari saya makan di rumah makan Padang. Di sana ada tulisan, bila enak bilang ke teman, bila tidak enak bilang ke kami. Kata-kata ini ingin mengimbau agar para pelanggan yang sedang menikmati sajian makanan dari rumah makan Padang tentu memiliki cita rasa yang berbeda. Dari rasa yang berbeda itu, melahirkan komentar yang bermacam-macam. Hanya saja, pihak rumah makan tidak ingin kejelekannya disebarluaskan sehingga mematikan pasar sebagaimana ungkapan lebih baik buruk ditanam daripada digantung. Pihak rumah makan lebih senang ketika kritik pedas karena kurang enak dalam layanan disampaikan ke pihak rumah makan sehingga bisa berbenah, dan seandainya ada sesuatu yang unik, bisa diceritakan ke teman.

Teori ini bila digunakan untuk menanggapi tulisan seharusnya, Toto menyampaikan secara baik-baik ke pihak rektorat atau ke pimpinan dia bernaung. Kemudian bila ada nilai positif dari STAIN/IAIN Surakarta, ia bisa menyampaikan kepada pihak lain (masyarakat dan calon mahasiswa), misalnya lulusan STAIN/IAIN Surakarta banyak yang diterima jadi PNS lingkungan Kementerian Agama (Kemenag)–bukankah cita-cita sebagian mahasiswa ingin jadi PNS? Selain itu, lulusan STAIN/IAIN Surakarta banyak diterima di perusahaan atau LSM dengan gaji di atas UMR karena memiliki skill bisa membaca Alquran, menguasai IT dan menguasai sains. Terakhir, tulisan ini sepenuhnya adalah pendapat pribadi saya.

Kholilurrohman, dosen STAIN Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya