SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia. (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/SOLOPOS)

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia. (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/SOLOPOS)

Makin hari kian kelihatan betapa naif perilaku sejumlah (besar) anggota wakil rakyat yang terhormat itu, baik mereka yang duduk di DPR maupun DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah). “Aksi” mereka terkesan semakin mengada-ada, terlebih untuk program yang bernama studi banding itu, baik ke luar negeri maupun ke luar daerah.

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Meskipun sudah dikritik bertubi-tubi, tampaknya para wakil rakyat itu tak pernah merasa jera. Kritikan ringan hingga pedas tak mempan lagi dialamatkan kepada mereka. Suara publik dianggap sebagai anjing menggonggong belaka karena para wakil rakyat tadi menganggap diri mereka sebagai kafilah yang harus berlalu sedemikian rupa.

Kasus terakhir yang sempat ramai dipertanyakan publik adalah studi banding yang dilakukan oleh Badan Legislasi DPR ke Denmark dan Turki untuk mempelajari logo atau pun simbol tentang kepalangmerahan dan/atau kebulansabitmerahan yang akan digunakan di Tanah Air. Selama ini, Indonesia—yang terkenal sebagai negara dengan populasi pemeluk Islam terbesar di dunia, tapi bukan negara Islam—menggunakan tanda palang atau salib sebagai simbol Palang Merah Indonesia. Sedangkan sejumlah negara Islam menggunakan bulan sabit merah untuk simbol lembaga kepalangmerahan-kebulansabitmerahan di negeri masing-masing.

Untuk biaya kelenceran selama lima hari bagi dua delegasi, masing-masing beranggotakan 10 orang, ke kedua negara tersebut, dihabiskanlah anggaran sedikitnya Rp1,2 miliar.

Terlalu banyak studi banding sudah, dan hasilnya hampir nihil, karena lebih banyak program pelesirannya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dan banyak diceritakan para staf kedutaan karena mereka sering terlibat ngurusi keperluan para anggota Dewan yang terhormat tersebut. Juga laporan dari sejumlah komunitas Indonesia di luar negeri, yang tidak jarang memergoki para pestudi banding itu yang lebih banyak berjalan-jalan.

Budaya studi banding wakil rakyat di pusat ini ternyata menjadi contoh nyata bagi anggota DPRD, dan seolah-olah menjadi hal yang wajib untuk dilakukan. Tak percaya? Silakan meng-googling di internet dengan kata kunci “studi banding dprd” dan, weleh-weleh.., sangat banyak program studi banding oleh anggota DPRD tersebut. Tentu saja, program itu dibiayai dengan uang rakyat.

Studi banding tentang peraturan di suatu negara, kalau mau jujur, sangat mudah dipelajari dari dokumen, baik di internet maupun memintanya secara resmi melalui perwakilan negara sahabat yang ada di Jakarta. Mereka tentu akan dengan sangat bersedia menyediakan materi yang diminta, karena itu akan menjadi kebanggaan bagi negara asing itu sekiranya peraturan di negaranya diterapkan di Indonesia.

Saya yakin, rakyat tidak keberatan anggota DPR maupun DPRD untuk melaksanakan studi banding, tapi mbok ya hasilnya yang substansial dan mampu menciptakan terobosan, demi untuk meningkatkan efisiensi atau manfaat besar bagi kepentingan rakyat. Misalnya, bagaimana menghukum mati koruptor atau memiskinkan para koruptor.

Tapi, tentu saja mempelajari hal tak populer seperti bagaimana menjerat para pelaku korupsi yang efektif dan hukuman yang berat seperti itu justru sebisa mungkin mereka hindari ya, karena hasil kebijakannya nanti malah dapat menjadi senjata makan tuan. Hla aktivitas studi banding itu sendiri kan ditengarai banyak mengandung unsur pemborosan atau pun pembengkakan (mark up) biaya perjalanan.

Pemimpin parlemen kabarnya juga sudah menyepakati untuk sementara membekukan program bertajuk studi banding itu, meskipun sikap setuju tersebut bisa saja sekadar lips service alias kembang lambe untuk meredam kegeraman maupun cercaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Cukup banyak kok mekanisme untuk membatasi agar program berdalih studi banding yang senyatanya merupakan pelesiran dengan dibiayai dengan uang rakyat itu. Misalnya, mengganti semua kegiatan studi banding yang knowledge-nya sebenarnya sudah tersedia melimpah ruah di internet. Kalau tidak mampu memahami bahasa asing, tinggal pekerjakan saja interpreter yang mampu menjelaskan secara gamblang apa makna knowledge tersebut.

Barangkali, akan efektif jika uang perjalanan studi banding—yang jumlahnya konon sangat menggiurkan itu, bisa mencapai hingga Rp3 juta-Rp4 juta per hari itu—dipangkas, sehingga total anggaran perjalanan dinas di RAPBN 2013 tidak perlu mencapai sebesar Rp21 triliun. Lebih baik pos anggaran tersebut dikurangi dan direalokasikan untuk menambah dana infrastruktur yang jelas-jelas mampu menambah daya dorong terhadap perekonomian nasional, sehingga lebih bermanfaat bagi upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Hal yang lebih esensial dari upaya pembatasan kegiatan studi banding ini justru mengembalikan harkat dan martabat anggota Dewan yang terhormat, agar mereka tidak dinilai secara negatif atau bahkan dilecehkan oleh masyarakat. Mereka ini harus bekerja untuk rakyat, bukan sebaliknya memanfaatkan dana pajak hasil keringat rakyat untuk foya-foya, pelesiran, ngelencer, dan sebagainya itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya