SOLOPOS.COM - Pelecehan seksual (freepik)

Solopos.com, SOLO—Pandangannya seringkali tak pernah benar-benar lurus ke depan. Apalagi saat dia sedang berjalan sendirian. Namun, ketika sedang banyak orang, perempuan itu tetap saja tidak tenang.

Saat tak ada orang di sekitarnya, perempuan itu makin sering menoleh, melihat keadaan di sekelilingnya. Namun, seringkali juga yang dia lihat hanya dinding dan kelas-kelas kosong. Pandemi Covid-19 membuat sekolahan lebih sering sepi. Perempuan itu lantas meyakinkan dirinya, tak ada bahaya yang mengancam dan tak ada yang perlu dicemaskan. Semua akan baik-baik saja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dia selalu merasa ada yang mengawasi langkah-langkahnya, bahkan saat dia sedang berbicara, mengobrol dengan rekan-rekan guru yang lain. Perempuan itu merasa sedang diawasi.

Ekspedisi Mudik 2024

Perasaan seperti diawasi itu muncul sejak kali pertama dia menginjakkan kaki di sekolahan itu. Saat dia diterima bekerja sebagai guru di sebuah sekolah menengah pertama di Karanganganyar, Jawa Tengah.

“Waswas, seperti diawasi, dan rasa jijik yang bercampur menjadi satu,” begitu deskripsi perempuan yang minta dipanggil Ani itu tentang perasaannya. Sebuah kejadian tak menyenangkan di masa lalu, pada awal dia menjadi guru, terus melekat di memorinya. Kejadian itu bertalian dengan berbagai kejadian baru yang sama-sama tak menyenangkannya hingga saat ini. Semuanya itu terjadi di tempat kerjanya. Di sekolah.

“Kondisi serba tak enak ini berawal dari sebuah liburan di luar kota bersama para guru. Foto-foto lantas dibagikan di grup Whatsapp. Seorang guru senior kemudian mengirim foto candid saya disertai tulisan, ‘tinggal pakai pakaian Papua lantas mendirikan kemah. Saya akan langsung ke situ’,” kata dia, pekan lalu.

Belum cukup terkejut, Ani mengaku shock saat foto itu disusul dengan foto-foto perempuan berbusana seksi. Dia marah, namun tak tahu apa yang harus ia lakukan. Diam dan mengabaikan adalah pilihan sikapnya meski dia tahu itu bukanlah pilihan terbaik. Namun, menurut dia, itu pilihan yang aman.

Kesehatan Mental

“Yang bisa saya lakukan hanya menampakkan wajah tak senang dan berkata pada guru senior itu bahwa saya tak suka dengan perilakunya. Saya tak bisa berbuat lebih dari itu. Saya juga tak bisa berbuat apa-apa saat rekan saya mengalami hal yang sama. Yang mengejutkan, murid saya juga mengalami, mendapat kiriman foto-foto wanita berpakaian minim. Selain sering mengirim foto seksi, dia juga sering melakukan pelecehan verbal kepada perempuan. Patriarchy does really exists. Perempuan tidak pernah aman meski itu di lembaga yang bernama sekolah sekali pun,” kata lulusan pascasarjana dengan minat utama studi gender ini.

Saat sekolah tidak memberikan jaminan keamanan bagi para perempuan pekerja, lantas bagaimana dengan bidang kerja yang para karyawannya didominasi laki-laki? Seorang perempuan satpam yang bekerja di di Solo mengatakan kondisinya menjadi jauh lebih sulit.

Sebagai seorang perempuan satpam, dia menjadi kelompok yang minoritas di perusahaan tempat dia bekerja. Mayoritas satpam di perusahaan tempatnya bekerja adalah laki-laki, tepatnya enam perempuan dari total 200 laki-laki. Jumlah laki-laki yang mendominasi menyebabkan kultur kerjanya menjadi sangat maskulin. Kultur ini mendorong situasi laki-laki lebih banyak berbicara dan mengambil keputusan dalam hal pembagian hingga evaluasi kerja.

“Pelecehan seksual terus terjadi di perusahaan saya bekerja tanpa ada penyelesaian yang tegas. Saya pun mengalaminya,” kata dia. Bentuk pelecehan yang dia alami adalah pelecehan verbal, seperti menyebut anggota tubuh – dada atau pantat yang seksi – hingga mencubit pantat.

Mengutip tulisan Sri Kurnianingsih yang berjudul Pelecehan terhadap Perempuan di Tempat Kerja yang dipublikasikan di Buletin Psikologi UGM edisi Desember 2003, berdasarkan kategori perilaku, pelecehan seksual adalah rayuan seksual, baik itu halus maupun kasar, terbuka, dan bersifat fisik maupun verbal, yang tidak dihendaki sasarannya.

Sifat pelecehan seksual ini searah, seperti komentar seksis dan cabul tentang pakaian atau tubuh sasaran. Bentuk lain adalah tatapan sugestif pada bagian tubuh, merabanya, mencubitnya, menggelitik, mencium, dan sejenisnya.

“Saya selalu merasa takut dan risih. Sebenarnya, sudah saya katakan pada pelaku bahwa saya tidak suka dengan perilakunya, tapi dia tak pernah jera. Pernah suatu saat saya mengancam akan melaporkan perilakunya itu pada atasan, baru waktu itu dia kelihatan takut. Dia tidak pegang-pegang saya lagi meski yang [pelecehan] secara verbal masih,” kata perempuan itu.

Kondisi tersebut membuat perempuan tersebut tak tenang. Secara fisik dia tidak bermasalah, namun dia mengaku kesehatan mentalnya terganggu. “Terus terang saya tidak ingin bertemu dia [pelaku], tapi, ya tidak bisa. Pasti bertemu. Meski begitu, sebenarnya yang lebih saya takutkan adalah sistem rolling di perusahaan kami. Jadi pasangan satpam di tempat kami selalu diganti-ganti. Nah, saya takut suatu saat berpasangan dengan dia,” kata dia.

Catahu

Gelisah yang terus-menerus membuat perempuan itu memberanikan diri untuk bercerita pada rekan-rekannya, sesama perempuan satpam. Baru dia tahu bahwa teman-temannya mengalami hal serupa. Mereka berdua lantas bertanya pada perempuan satpam yang lain. Hasilnya sama. Semua mengalami. Para perempuan satpam itu akhirnya melaporkan apa yang mereka alami pada atasan mereka.

“Tidak ada hukuman dari atasan kami. Salah satu pertimbangan karena rekan kerja kami itu, oknum itu, sudah punya keluarga. Jadi atasan kami merasa kasihan. Keputusan yang paling mungkin adalah membuat jadwal tugas yang menjauhkan laki-laki itu dari satpam perempuan. Keputusan itu sedikit melegakan kami meski ketika di kantor, ya kami ketemu dia lagi,” kata dia yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Inilah ironi perempuan satpam yang tugasnya melindungi orang lain, namun mereka sendiri justru tak mendapat perlindungan layak dari perusahaan maupun dari regulasi.

Mengutip catatan tahunan (catahu) Komnas Perempuan 2021, kekerasan seksual di lingkungan kerja memang sering menjadi pembicaraan dan pendiskusian di berbagai komunitas. Namun, kasus itu justru kurang terlaporkan secara resmi.

Berdasarkan laporan yang diterima Komnas Perempuan, sebanyak 91 atasan di tempat kerja merupakan pelaku kekerasan seksual di tempat kerja di mana pada tahun sebelumnya hanya 55 kasus. Kondisi ini menunjukkan lingkungan kerja bukanlah tempat yang aman. Perlu ada aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kerja.

Di tempat kerja, laki-laki mempunyai kekuasaan dikarenakan masyarakat membentuknya demikian. Apabila atasan itu laki-laki, ia memiliki dua kuasa, sebagai atasan dan sebagai laki- laki. Pelecehan seksual terjadi ketika laki-laki menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki.

Komnas Perempuan, memandang perlu adanya aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kerja, termasuk pelaksanaan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.

Sementara itu, Direktur Yayasan Spek-HAM, Rahayu Purwaningsih, menjelaskan kultur patriarki dan tidak adanya regulasi memadai membuat tempat kerja perempuan menjadi tempat yang berbahaya. Jutaan perempuan bekerja tanpa pengaman di tempat-tempat itu.

Sejumlah regulasi yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak membahas secara spesifik mengenai perlindungan perempuan terhadap potensi pelecehan seksual hingga kekerasan seksual, pemerkosaan misalnya. Undang-undang No. 13/2003 tentang Tenaga Kerja, UU No. 1/1970 tentang Kesehatan Kerja, UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, dan Peraturan Menteri No. 5/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, sebagai contoh.

Tak Ada Data

Dalam UU No. 13/2003, pasal 76 hingga 84 yang mengatur soal perempuan, contohnya, lebih mengatur hal-hal teknis mengenai hak pekerja dalam dunia kerja, mulai dari jam kerja, hak perempuan saat haid, hamil, keamanan perempuan yang bekerja di waktu malam, dan sejenisnya. Pasal 76 yang mengatur tentang kewajiban perusahaan menjaga kesusilaan dan keamanan untuk perempuan yang bekerja masih sangat global. Regulasi lain lebih banyak mengatur soal kecelakaan kerja di lingkup manufaktur.

“Pemerintah belum melihat pelecehan dan kekerasan seksual sebagai kecelakaan kerja. Sudut pandang ini jelas merugikan perempuan yang bekerja di lingkungan patriarki. Spek HAM terus-menerus menerima pengaduan soal ini, namun konyolnya sama sekali tidak ada data di Dinas Ketenagakerjaan. Kami coba cek di dinas kota sampai provinsi, sama sekali tidak ada data mengenai perempuan yang mengalami pelecehan hingga kekerasan seksual,” kata dia.

Tidak adanya regulasi memihak perempuan, sambung Ayu sapaan akrabnya, membuat kasus pelecehan dan kekerasan menjadi seperti angin lalu. Berbeda dengan kecelakaan fisik yang ditanggung Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) BPJS Ketenagakerjaan, kekerasan seksual tidak. “Pusat tidak mengatur, jadi ya tidak ada dananya. Kebutuhan visum saja, kami harus minta pada pemerintah daerah,” kata dia.

Saat upaya mendapatkan hak untuk visum dan pemulihan fisik saja susah, maka upaya pemulihan mental menjadi hal yang hampir tak mungkin. Pada kondisi inilah para pekerja perempuan lebih banyak mengandalkan peran-peran NGO. Manajer Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat Spek-HAM, Fitri Haryani, mencontohkan salah satu kasus yang dia tangani.

“Kami baru saja menangani kasus kekeran seksual di tempat kerja. Ini kasusnya antara pimpinan dan staf. Jadi stafnya ini berkali-kali dicium secara paksa dan diraba-raba oleh atasannya. Yang menyedihkan, dengan proses hukum yang perjalanannya sampai dua tahun, hukuman untuk pelaku hanya empat bulan subsider Rp100 juta. Korban hingga saat ini shock dan tidak bisa bekerja. Nah, pemulihan korban ini memang tidak dipikirkan sama sekali,” kata Fitri.

Sudah saatnya, lanjut Ayu, pemerintah pusat meratifikasi Konvensi International Labour Organization atau Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 190 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. “Sejumlah regulasi tentang K3 harus menyesuaikan sehingga kasus pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja dapat diselesaikan melalui jalur ketenagakerjaan juga,” kata dia. Dengan demikian, perempuan pekerja mendapat pengaman yang layak saat bekerja.

Tidak adanya pengaman bagi perempuan menjadi persoalan serius di saat pandemi. Menurut Ayu, dari tahun ke tahun, jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah, di pabrik-pabrik dan di perkantoran, contohnya, semakin banyak. Jadi jumlah perempuan bekerja terus bertambah.

Saat ini, para perempuan itu menghadapi bahaya ganda, yang pertama, bahaya virus corona dan yang kedua bahaya pelecehan serta kekerasan seksual yang terus terjadi, namun juga semakin sulit dikendalikan dan dilaporkan. Itu terjadi karena pandemi sekaligus membawa ancaman PHK dan sulitnya mencari kerja. “Jadi sampai kapan perempuan bekerja dalam bahaya?”

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perempuan pekerja formal di Indonesia memang terus meningkat. Pada 2021, sebesar 36,20% perempuan bekerja di lingkup kerja formal, naik dibandingkan 2020 yang hanya 34,65%. Kenaikan juga bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja profesional, 48,76% pada 2020 dibandingkan 2019 yang hanya 47,46%. Di Jateng, jumlah perempuan yang menjadi tenaga profesional ini bahkan mencapai 50,20%. Jumlah ini meningkat pesat dibandingkan tahun 2021 atau setahun sebelum UU Ketenagakerjaan disahkan, yakni hanya 45,22%.

Sumbangan pendapatan dari tenaga kerja perempuan juga menunjukkan tren meningkat. Pada 2020 angkanya mencapai 37,26% sementara pada 2019 sebesar 37,10%. Ini menunjukkan peran perempuan yang memang signifikan dalam kegiatan ekonomi.

“Banyak perempuan yang tetap bekerja selama pandemi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kenaikan itu seharusnya diimbangi dengan regulasi yang memihak pada isu kesetaraan gender. Ratifikasi Konvensi ILO No. 190. Serikat pekerja, khususnya divisi perempuan, harus mulai menyuarakan isu ini karena termasuk pada aspek keselamatan dan kesehatan kerja. Sudah saatnya kita harus bergerak, tidak hanya memperjuangkan ruang laktasi atau cuti haid, melainkan juga pada fenomena yang banyak menimpa pekerja perempuan, tentang pelecehan dan kekerasan seksual,” kata Ayu.

Saat K3 terwujud, menurut Abdul Hakim, salah satu pembicara yang merupakan perwakilan dari ILO, dalam acara Webinar Peliputan Media dan Literasi Berita tentang K3 di Masa Pandemi, pada akhirnya berkorelasi dengan peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upaya ini juga selaras dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan, khususnya goals 3, yaitu good health and wellbeing (kehidupan sehat dan kesejahteraan) serta goals 8 yaitu decent growth and economic growth (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi).

“Juga goals kelima, yaitu kesetaraan gender,” sambung Ayu. Ayu berpendapat sudah saatnya perempuan mendapatkan ruang kerja yang aman dan sehat demi pembangunan berkelanjutan.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya