SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Dalam diskusi malam itu, sahabatku membawa tema pengkianatan. Nama Yudas Iskariot jadi topik pembahasan. Maklum, baru saja pekan lalu, dia merayakan Paskah dan memperingati kematian Yesus.

“Yudas masih ada di sekitar kita. Pengkianatan adalah tema yang relevan bagi bangsa kita yang sedang sempoyongan,” demikian sahabatku berkeyakinan. Perhatikan saja, lanjut dia, banyak pemimpin di negeri ini mengkhianati janjinya, para politisi tidak setia pada ucapannya saat berpidato di depan konstituen mereka.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Bukannya memperjuangkan kesejahteraan rakyat, sebaliknya mereka mengkorup uang rakyat. Korupsi adalah pengkianatan terhadap publik yang seharusnya mereka layani. Banyak jenderal yang setiap pagi berdiri tegap ketika menghormati bendera merah-putih, tetapi melakukannya tanpa hati. Buktinya, setelah itu mereka tidak malu-malu merampas hakhak warganya sendiri.

Untuk melengkapi rujukan pengkianatan, kami berangkat lebih jauh lagi. Lalu, nama Brutus pun terseret masuk dalam permenungan itu. Tak terhindarkan, William Shakespeare dijadikan rujukan. Dalam karya drama bertajuk Julius Caesar, Shakespeare menggambarkan detik-detik terakhir kehidupan sang kaisar.

Ketika Brutus dengan sebilah belati datang dan akan menghujamnya ke tubuhnya, Julius berujar,

“ Et Tu, Brute?”

“Dan engkau juga Brutus?” Mana mungkin, Brutus yang ‘orang dekat’ melakukan itu? Julius semula ragu. Tapi, keraguan itu kemudian menghilang ketika dia mulai mengerang kesakitan dan merasakan semburan darah dari tubuhnya yang terluka.

Bernama lengkap Marcus Junius Brutus, politikus yang pernah masuk dalam lingkaran utama kekasairan Roma itu hidup antara periode 85 sebelum masehi hingga tahun ke 42. Ayahnya dibunuh oleh Pompey Magnus. Ibunya Servilian Caepinius, saudari tiri Cato yang pernah menjadi gubernur Ciprus.

Ibunya itu kemudian menjadi selir Julius Caesar. Simbol pengkianatan Kendati terlanjur menjadi simbol pengkhianatan, Shakespeare tetap menaruh hormat kepada orang ini. Dia memperlihatkan rasa hormatnya kepada Brutus karena kesetiaannya kepada warga Roma.

 Ini yang terbaik bagi Roma, demikian Shakespeare dalam sebuah solilokuinya. Shakespeare meletakan kalimat ini dalam mulut Brutus. Kalau ada seorang bertanya kepada saya mengapa membunuh kaisar, jawabanya adalah ini,

“Bukan karena saya membenci kaisar, tetapi karena saya lebih mencintai Roma.” Dalam kisah Julius Caesar, setelah pembunuhan Caesar, Brutus memberikan pidato di tengah kerumunan orang Roma. Dia berusaha meraih simpati dengan memberikan argumentasi mengapa Julius Caesar harus mati.

Dia menonjolkan keberhasilannya, kendati seperti yang diakuinya sendiri bahwa itu hanya untuk sesaat. Namun, kemudian Antonius yang berbicara setelah itu atas nama kaisar membantah argumentasi Brutus dengan menegaskan bahwa bukan kaisar, tetapi bahwa tindakan konspirator itu yang berbahaya.

Akhir yang tragis Seperti diakui Brutus, keberhasilannya cuma sesaat. Lebih dari itu, para pengkianat  itu mengakhiri hidupnya secara tragis. Mereka membayar keputusan mereka secara mahal, mereka membunuh dirinya sendiri.

Kita juga harus membuka lagi kisah tentang Ken Arok dengan alur cerita dan penggambaran watak yang tidak kalah kompleks. Tokoh politik dari kerajaan Jawa tidak hanya bercerita tentang pengkianatan, tetapi dendam yang membara di antara mereka.

Berdasarkan naskah Pararaton, dia tidak hanya membunuh Tunggul Ametung orang yang harus dikawalnya di Tumapel, tetapi juga merebut istrinya, Ken Dedes. Tumapel adalah bagian dari kerajaan Kediri saat itu.

Bahkan sebelum itu, Ken Arok juga membunuh sahabatnya, Mpu Gandring yang diminta untuk membuat keris pusaka yang akan digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung. Setelah membunuh Mpu Gandring, Ken Arok kembali ke Tumapel.

Dia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo.

Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk alkohol. Tunggul Ametung di bunuh di atas ranjang disaksikan sang istri, Ken Dedes. Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan di tubuh majikannya.

Ken Arok lalu mengangkat dirinya sebagai pemimpin baru di Tumapel dan menikahi Ken dedes. Kemudian, Ken Arok dibunuh oleh Anusapati, anak Tunggul Ametung yang dikandung Ken Dedes. Maka lengkaplah sudah kisah para guru ‘pengkianatan’, dari Brutus hingga Ken Arok.

Kisah dengan perwatakan yang sangat kompleks, cukup untuk menggambarkan naluri saling berkhianat dan saling dendam para pejabat di negeri kita. Hiruk-pikuk politik dalam beberapa bulan terakhir adalah cerita tentang dendam para pengkianat yang saling membongkar kebobrokan.

Di tengah aksi tuding seperti itu, publik yang mudah dimanipulasi terkadang gamang mengambil sikap. Siapa yang harus dibela? Para pengkianat itu? Ah, tentu saja tidak! Yang jelas, sekalipun ada dari mereka yang bersedia ‘menggantung diri’ seperti Brutus, Yudas, Ken Arok, mereka toh akan tetap dikenang sebagai pengkhianat.

Kasihan…

(Oleh Abraham Runga Mali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya