SOLOPOS.COM - Hery Trianto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Berbicara di rapat pemegang saham tahunan Berkshire Hathaway awal Mei 2020, investor kaya raya Warren Buffett mengatakan ”dunia telah berubah karena virus corona”. Sejurus kemudian ia berkata dirinya telah membuat kesalahan dengan investasi pada industri penerbangan.

Bekshire, perusahaan investasi milik Buffett, menjual rugi seluruh kepemilikan saham di empat maskapai penerbangan terbesar di Amerika Serikat untuk meraih US$4 miliar dari modal US$8 miliar. Berdasarkan laporan tahunan, konglomerasi ini memiliki 11% saham di Delta Air Lines, 10%  American Airlines, 10%  Southwest Airlines, dan 9% United Airlines.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Seperti dilaporkan Reuters, komentar Buffett ini hanya beberapa jam setelah Berkshire Hathaway mengumumkan rekor kerugian US$50 miliar pada kuartal pertama 2020. Perusahaan ini memulai investasi di industri airlines pada 2016 setelah bertahun-tahun menghindarinya.

Saya mengenang salah satu ucapan Buffett jauh sebelum pandemi Covid-19, bahwa investasi sektor aviasi sama saja dengan menggali liang lahat, merujuk pada risiko operasi yang sangat besar, serta margin usaha yang sangat tipis, kurang dari 5%.

Artinya, industri aviasi memang tidak menjanjikan, kendati sangat dibutuhkan dalam mempercepat mobilitas manusia. Sebagaimana manusia biasa, Buffett tak luput dari kesalahan yang kemudian diperparah oleh pandemi global sejak awal tahun dan  nyaris menghentikan begitu banyak perjalanan udara.

Maskapai penerbangan rontok dalam beberapa bulan terakhir makin sering kita dengar. Bagaimana tidak terluka keuangan perusahaan bila 90% penumpang  sirna?  Ini pula kini yang menimpa flag carrier kita, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., seperti disampaikan Direktur Utama Irfan Setiaputra.

Pekan lalu, bersama Direktur Teknik Garuda Rahmat Hanafi, Irfan berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia. Ia bercerita betapa perusahaan yang baru setengah tahun dia pimpin berjibaku menghadapi penurunan revenue ketika biaya tetap seperti sewa pesawat dan bunga utang sulit ditekan.

”Semua orang bekerja dari rumah. Impact-nya dahsyat! Bila ada airline yang survived dalam kondisi sekarang, itu bohong,” kata Irfan sambil mengatakan situasi bisa dipulihkan apabila semua orang mau kembali bepergian menggunakan pesawat.

Garuda saat ini mengoperasikan 144 pesawat berbagai tipe dan baru 40 pesawat yang bisa terbang pada Juli, setelah bulan sebelumnya hanya 23 pesawat. Rute Jakarta-Bali yang biasanya ada 16 penerbangan sehari kini hanya bisa dibuka satu penerbangan.

Irfandiangkat menjadi direktur utama seperti berada pada situasi dan waktu yang salah. Dia mengambil tanggung jawab itu setelah manajemen Garuda sebelumnya yang penuh dengan skandal diganti.

Hasilnya, Semester pertama 2020, emiten Bursa Efek Indonesia dengan kode GIAA merugi US$712 juta, setelah periode yang sama tahun sebelumnya mengantongi laba bersih US$24 juta. Apakah sayap Garuda kemudian berhenti?

Irfan menjawab tidak. Sebagai flag carrier, dia menyebut Garuda harus melindungi warga negara, memastikan mereka pulang dari berbagai penjuru dunia ketika pandemi. Sebagai contoh, Garuda pernah terbang ke Bangkok kosong dan kembali ke Jakarta hanya membawa puluhan penumpang.

Langkah Irfan untuk menjaga rute internasional ini jelas bukan pilihan mudah kendati tak logis secara bisnis, apalagi maskapai penberbangan internasional lain memilih menutup rute dan memarkir pesawat untuk menekan biaya dan mencegah kerugian lebih besar.

Sebagai CEO dia memang harus memutuskan. Rugi besar pada semester pertama tahun ini adalah ujungnya. Keuangan Garuda makin sulit. Upaya mendapatkan dana talangan dari pemerintah sebesar Rp8,5 triliun menjadi upaya pamungkas dan belum cair juga hingga sekarang.

Dengan tipisnya permintaan, Irfan menempuh semua cara untuk mendongkrak pendapatan, dari optimalisasi penerbangan berjadwal, layanan kargo udara, hingga penerbangan charter. Selain itu, negosiasi biaya sewa pesawat dilakukan, restrukturisasi utang, hingga implementasi efisiensi di seluruh lini operasional, termasuk menawarkan pensiun dini sukarela untuk 400 karyawan.

***

Tekanan bisnis dahsyat dalam situasi pandemi sekarang dialami hampir seluruh korporasi, tentu saja dalam skala berbeda tergantung bidang  bisnis. Sektor transportasi dan pendukungnya adalah bisnis dengan tantangan besar saat ini, mungkin terbesar sepanjang sejarah.

Seorang bankir senior bercerita pada zaman normal ada dua perusahaan yang begitu likuid sehingga sulit sekali didekati bank untuk diberi kredit. Keduanya adalah  PT Angkasa Pura 2 (Persero) dan PT  Kereta Api Indonesia (Persero).

Akhirnya bank hanya bisa memberikan fasilitas pinjaman siaga bila sewaktu-waktu memerlukan likuiditas, itu pun kebanyakan menganggur dan menjadi undisbursed loan–kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan. Pandemi telah memutar keadaan 180 derajat, dana siaga itu begitu berguna.

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Didiek Hartantyo adalah sosok lain yang mungkin mengalami tekanan sehebat Irfan. Bankir jebolan Bank Mandiri tersebut terpilih memimpin PT KAI pada 8 Mei 2020, hanya tiga pekan setelah pembatasan sosial berskala besar berlaku pada pertengahan Maret.

Sudah pasti penyebabnya adalah jumlah penumpang yang menurun drastis dan ujungnya pendapatan dari penumpang terkoreksi. Hasilnya, dalam enam bulan pertama tahun ini PT KAI merugi Rp1,35 triliun dari periode sebelumnya mearih laba Rp1,21 triliun.

Pendapatan perusahaan kereta ini pada periode tersebut turun drastis menjad Rp7,27 triliun dari sebelumnya Rp10,7 triliun. Didiek menyebut perusahaan yang dia pimpin mengandalkan angkutan barang untuk bertahan, tetapi itu belum cukup menutup beban pokok pendapatan, beban usaha, dan beban keuangan.

Itulah mengapa dalam situasi darurat ini, PT KAI berupaya mendapatkan dana talangan Rp3,5 triliun dari pemerintah untuk menjaga operasional perusahaan yang memonopoli bisnis angkutan kereta api tersebut. Kita belum tahu, bagaimana akhir prahara Covid-19 ini.

Menoleh ke korporasi swasta, mari mengamati Grup Astra. Pada 16 Juni 2020, PT Astra Internasional Tbk. mengangkat Djony Bunarto Tjondro menjadi Presiden Direktur menggantikan Prijono Sugiharto yang menjabat sejak 1 Maret 2010.



Djony yang sudah lama disiapkan menjadi suksesor Prijono datang dalam situasi susah. Dia sangat realistis. Dalam sebuah kesempatan konferensi virtual dia mengatakan Astra tidak imun dengan krisis. Menurut dia,  otomotif adalah sektor yang paling rentan, turun cukup dalam.

Ini sangat masuk akal mengingat dalam situasi normal Astra bisa menjual 45.000 unit mobil per bulan dan ketika puncak pembatasan sosial pada Mei hanya mampu melego 3.000 unit. Penjualan kemudian memang meningkat dalam bulan berikutnya, tapi tentu masih jauh dari level normal.

Krisis kali ini, menurut Djony, akan membawa bisnis Astra mundur 10 tahun, atau paling tidak delapan tahun. Apa pun, kendati sudah banyak melakukan diversifikasi usaha  otomotif–yang sedang terpuruk--adalah mutiara Astra.

Djony menekankan tim Astra di tengah kesulitan agar  melakukan pengetatan biaya, melihat kembali belanja modal untuk menjaga cadangan kas. Pada saat yang sama, dia juga tak ingin timnya terlena dan tetap yakin dengan perekonomian ke depan.

Krisis semestinya tidak merusak mindset jangka panjang termasuk jika ada peluang melakukan investasi, meskipun dalam jangka pendek efisiensi mesti dilakukan. Astra yang kini mememiliki lebih dari 200 perusahaan sebagian besar juga terkena imbas krisis, tetapi tetapi ada juga yang jadi penyeimbang.

Hasilnya, hingga enam bulan pertama tahun ini laba bersih Astra tercatat RP11,4 triliun, tumbuh 16% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Kinerja ini tertolong oleh ”faktor penyeimbang” yang sempat disebut Djony, yakni hasil keuntungan penjualan saham PT Bank Permata Tbk.

Selebihnya, tentu saja kita akan melihat bagaimana Djony membawa perahu besar Astra untuk bertahan. Ketika kinerja bisnis mundur ke satu dekade, penting untuk menjaga bisnis tetap berjalan. Dalam situasi krisis, kapasitas pemimpin sebenarnya diuji.

Pusaran krisis ini adalah medium paling sempurna untuk melihat apakah para CEO yang dipilih bisa membawa korporasi melalui situasi sulit dalam mode survival. Sebagaimana nasihat Jack Ma,  pendiri Alibaba, 2020 hanya tentang tahun untuk bertahan hidup. Jangan pernah bicara mimpi dan rencana, pastikan saja Anda tetap hidup, dan akhirnya bisa meraih keuntungan.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya