SOLOPOS.COM - Petani porang Desa Ngambarsari, Kecamatan Karangtengah, Wonogiri, Supriyanto, saat memanen porang hasil budidayanya di desa setempat. (Istimewa)

Solopos.com, WONOGIRI — Petani porang Desa Ngambarsari, Kecamatan Karangtengah, Wonogiri, Supriyanto, sedang panen porang yang ia tanam di sejumlah lahan. Keuntungan yang diperoleh mencapai puluhan juta rupiah.

Awalnya, Supriyanto menanam porang di lahan seluas 2,5 hektare. Namun, pada tahun ini porang yang dipanen hanya di lahan seluas 1,5 hektare. Sebab porang di lahan satu hektare lainnya itu belum layak panen. Karena bibitnya dari jenis katak, baru bisa dipanen setelah dua musim atau 16 bulan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Porang yang saya panen itu jenis bibitnya berbeda. Yang satu hektare dari bibit umbi mini, satu kilogram isi sepuluh buah. Yang setengah hektare dari umbi katak, tapi menanamnya sudah lama dan sudah berusia dua musim,” kata dia saat dihubungi Solopos.com, Rabu (18/8/2021).

Di lahan 1,5 hektare itu, kata dia, jumlah porang yang berhasil dipanen sekitar 14 ton. Sementara itu, harga satu kilogram porang saat ini sebesar Rp7.300. Harga sebesar itu menurutnya sudah luar biasa.

Baca Juga: Gaji Gibran Wali Kota Cuma Rp2,1 Juta/Bulan, Beda Tipis dengan UMK Solo 2021

Bagi sebagian orang yang baru mengenal porang dan hanya tahu euforianya saja, kata dia, harga sebesar itu dianggap anjlok atau hancur. Sebab pada tahun lalu harga porang mencapai Rp12.000 per kilogram. Menurutnya, harga pada tahun lalu itu anomali, tidak ada nilai kewajarannya karena terlalu tinggi.

“Bagi saya yang sudah bertani porang lama, harga segitu sudah istimewa, terlebih saat ini masih pandemi Covid-19. Harga 7.000 ke atas per kilogram itu sudah luar biasa. Karena pada 2016-2017, harga satu kilogram porang hanya Rp2.500, tertinggi hanya Rp3.000,” ungkap dia.

Menurut Supriyanto, satu kilogram porang dihargai Rp5.000 saja petani sudah mendapat untung. Berdasarkan perhitungan, satu pohon porang itu mengeluarkan modal Rp3.000. Biaya itu mencakup pembelian bibit, perawatan, penen hingga sewa lahan.

Jika satu batang porang berat umbinya satu kilogram, maka satu pohon porang bisa menghasilkan Rp7.300. Padahal, umbi yang dipanen Supriyanto rata-rata memiliki berat 1,5 kilogram hingga dua kilogram. Sehingga satu pohon bisa menghasilkan Rp10.000 hingga Rp14.000.

“Katakanlah biaya transportasi untuk mengirim porang itu Rp300, Jadi modal satu pohon hanya Rp3.300. Ya kalau satu pohon minimal satu kilogram berarti satu pohon untungnya Rp4.000. Jadi masih untung, euforia dan realita itu beda,” ujar anggota DPRD Wonogiri dari fraksi PDIP itu.

Dengan begitu, jika hasil panen Supriyanto mencapai 14 ton dan setiap pohon untung Rp4.000 dengan berat umbi satu kilogram, maka keuntungan yang didapat mencapai Rp56 juta. Padahal, umbi bibit yang ia panen berkisar antara 1,5 kilogram hingga dua kilogram.

Baca Juga: Universitas Muhammadiyah Madiun Gelar Vaksinasi Covid-19 untuk 4.060 Orang Hingga Sabtu

Setelah panen, petani Wonogiri itu akan segera menanam porang kembali. Bahkan pada tahun ini lahan yang akan ditanami porang ditargetkan bisa mencapai lima hektare. Saat ini ia tengah mengumpulkan bibit. Dia lebih memilih bibit umbi mini untuk menanam porang tahun ini. Sebab ia mengejar perputaran panen agar lebih cepat. Umbi mini delapan bulan sudah bisa panen. Sedangkan umbi katak harus dua musim atau 16 bulan.

“Saya panen ini selama sepuluh hari, hari ini [Rabu] terakhir. Pekerja saya lima orang. Hasil panen porang langsung dikirim ke pabrik Asia Prima Konjac, Caruban, Madiun, Jatim. Ini rata-rata petani di sini juga panen, lumayan setiap tiga hari ada satu rit truk,” kata Supriyanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya