SOLOPOS.COM - Ilustrasi panen padi. (JIBI/Solopos/Antara/Siswowidodo)

Panen padi Boyolali, sejumlah petani di sentra produksi padi Boyolali kesulitan mencari buruh panen.

Solopos.com, BOYOLALI–Mendekati panen raya masa tanam (MT) I tahun ini, petani di Boyolali mulai kesulitan mencari tenaga kerja untuk panen padi. Minat masyarakat untuk bekerja di sawah mulai berkurang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Asosiasi Perberasan Soloraya, Tulus Budiyono, mengatakan panen raya di Boyolali diperkirakan bakal terjadi awal April. Sementara, sulitnya mencari buruh panen sudah dirasakan petani sejak dua tahun terakhir.

“Saya sendiri harus betul-betul nguri-uri untuk mempertahankan tujuh orang buruh agar tetap mau kerja panen di sawah saya. Biarpun usianya sudah tua saya pertahankan karena sekarang cari buruh panen susah sekali,” kata Tulus, yang juga petani asal Banyudono, Boyolali, saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu (13/3/2016).

Sebelumnya, setiap musim panen dia bisa mempekerjakan sedikitnya lima belas buruh. “Sekarang hanya tinggal lima hingga tujuh orang. Kalau sudah mendekati musim panen seperti sekarang ini, pusing saya,” imbuh dia.

Minimnya tenaga kerja panen berdampak pada menurunnya kualitas hasil panen. Padi yang semestinya bisa dipanen dalam waktu sehari dua hari bisa molor berhari-hari sehingga hasil panen terlalu masak. “Jadi banyak yang remuk.”

Menurut Tulus, para petani dan pengusaha beras mulai mencari solusi untuk jangka panjang. Mekanisasi pertanian menjadi kebutuhan mutlak. Saat ini, keberadaan mesin traktor sudah cukup membantu dalam masa persiapan tanam. “Pematang sawah pun sekarang sudah ndak pernah dipikir. Jadi untuk jangka panjang, mekanisasi memang harus sudah mulai dikembangkan di desa-desa,”  kata dia.

Petani asal Desa Tempursari, Kecamatan Sambi, Ngadimin, 60, terpaksa mengandalkan anggota keluarga sendiri untuk panen. Dia sendiri saat ini tengah waswas karena hasil panen MT I ini diperkirakan kurang maksimal. “Banyak serangan hama, virus kerdil hingga wereng. Bisa balik modal saja sudah bersyukur,” tutur Ngadimin.

Petani lainnya, Sumanto, 47, harus antre terlebih dahulu untuk mendapatkan buruh yang mau memanen padinya. “Panen seluas 1.000 m2, hanya digarap bertiga, dua hari mungkin baru selesai,” imbuh Sumanto.

Menurut Sumanto, warga yang masih mau bekerja di sawah sudah sangat berkurang. Setiap tiba musim tanam dan musim panen petani selalu kekurangan tenaga kerja. “Anak-anak muda tidak mau ke sawah pilih kerja di pabrik,” ujar dia.

Kades Tempursari, Panut, mengatakan mayoritas tenaga kerja produktif terserap di pabrik-pabrik. Dampaknya, tenaga kerja di sektor pertanian mulai berkurang.

Padahal menurut Tulus, nilai rupiah bagi buruh pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan buruh pabrik. “Misalnya tanam sawah seluas satu patok, saya keluar biaya Rp250.000 per orang, mereka kerja pukul 07.00 WIB hingga 10.00 WIB, pekerjaan sudah selesai. Bisa dibandingkan gaji di pabrik. Tetapi memang faktanya masyarakat sudah tidak berminat bekerja di sawah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya