SOLOPOS.COM - Diskusi virtual bertajuk, Masa Depan Bisnis Percetakan dan Penerbitan Buku yang diselenggarakan Solopos. (Tangkapan layar)

Solopos.com, SOLO – Bisnis percetakan dan penerbitan di Indonesia mengalami kemerosotan sejak 2010 bahkan angkanya pernah minus di 2017. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 pada 2020 dan maraknya pembajakan buku.

“Pada tahun 2017 bisnis penerbitan buku mengalami kemerostan hingga -0,48%, kemudian mulai bangkit di 2018, tapi kembali turun di 2019. Pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020 semakin memperparah bisnis ini,” terang Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman saat diskusi virtual Solopos.com.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Diskusi virtual bertemakan, Masa Depan Bisnis Percetakan dan Penerbitan Buku yang dipandu oleh Direktur Bisnis Solopos Group, Suwarmin. Hadir pula Ketua Umum Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) Ahmad Mughira atau Mughi. Serta juga sejumlah anggota Ikapi dan PPGI.

Baca jugaNilai Dana BOS Disesuaikan Indeks Kemahalan Konstruksi

Bahkan menurut Arys, mayoritas penerbit sekitar 58,2% mengalami penurunan penjualan lebih dari 50%. Kemudian sekitar 29,6% anjlok penjualannya antara 31%-50%, lalu sebanyak 8,2% mengalami penurunan 10%-30%. “Namun, ada 4,1% penerbit mengaku tidak terganggu dengan adanya pandemi,” kata Arys.

Kemerosotan percetakan dan penerbitan buku sejak 2010, sambung Arys, memunculkan pertanyaan. Apakah karena pandemi atau karena buku digital? Ternyata keberadaan buku digital tidak terlalu berpengaruh, sebab penulis ingin karyanya tetap dicetak dalam bentuk buku.

Bahkan penggunaan gawai pun membuktikan bahwa tidak ada perangkat untuk buku yang digunakan pemiliknya. Karena sekitar 44% digunakan untuk messenger, 50% untuk video, dan ada juga untuk game dan aplikasi seperti peta.

“Namun justru karena pandemi semuanya berubah. Sekolah online tidak lagi menggunakan buku cetak, diperburuk lagi dengan budaya literasi di Indonesia yang rendah. Dari penelitian di 61 negara mengenai literasi, Indonesia berada di urutan 60,” jelas Arys.

Baca jugaPKK Zaman Now Bukan Arisan, Saatnya Berperan untuk Masyarakat

Belanja Buku

Hal ini berbeda dengan negara-negara maju di Eropa maupun di Amerika. Menurut Arys, ketika ada lockdown atau pembatasan kegiatan masyarakat belanja buku justru meningkat. Malah penjualan buku semakin menurun.

Salah satu anggota PPGI, Bayu Widagdo menceritakan bahwa dampak pandemi yang kemudian berlanjut dengan adanya kebijakan pembelajaran secara online, berpengaruh pada bisnis percetakan dan penerbitan.

“Ketika belajar online siswa hanya dikirimi materi lewat handphone. Coba jika selama pembelajaran secara daring, siswa juga tetap memegang buku cetak. Tentu ini bisa membantu keberadaan percetakan dan penerbitan,” ujarnya.

Hal yang hampir sama juga disampaikan Ketum PPGI Ahmad Mughira. Menurut pria yang akrab disapa Mughi ini, akibat pandemi 70% usaha percetakan terdampak termasuk 28.000 tenaga kerjanya.

“Selain pandemi, pembajakan buku juga menjadi penyebab turunnya bisnis percetakan. Bahkan ketika mereka dengan berani menjual produk bajakannya di marketplace secara terang-terangan. Tentu dengan harga yang lebih murah. Bahkan stok mereka melebihi penerbit dan percetakan,” ungkap Mughi.

Baca jugaTak Ada Lampion dan Barongsai, Wali Kota Solo: Imlekan di Rumah Saja


Diskusi virtual bertajuk, Masa Depan Bisnis Percetakan dan Penerbitan Buku yang diselenggarakan Solopos. (Tangkapan layar)

Harapan ke Pemerintah

Kenapa pembajakan buku tetap berlangsung, lanjut Mughi, karena ketika ada pembajakan bukan ditindak. Namun kami malah dipertemukan kemudian tidak ada tindakan hukumnya. “Mumpung presiden dan kapolri dari Solo, semoga ini bisa menjadi perhatian. Juga perlu digaungkan kampanye beli yang ori bukan bajakan,” ujarnya.

Diakui Arys, memang saat terjadi pandemi Covid-19 pemerintah tidak tinggal diam. Karena kemudian ada kebijakan mengenai penghapusan PPN untuk buku. Termasuk juga subsidi untuk tenaga kerja, dan pengurangan biaya listrik untuk perusahaan percetakaan.

Kendati demikian, Arys mengaku di tahun 2021 ini ada sejumlah langkah untuk memperbaiki kondisi. Yakni dengan menggelar event Hari Buku Nasional yang sebenarnya jatuh pada 17 Mei, namun diundur akhir Mei karena berdekatan dengan lebaran. “PPGI juga berencana menggelar pameran virtual mesin-mesin percetakan,” ujar Mughi.

Selain itu, sambung Arys, 31% penerbit berharap pemerintah buka keran pembelian, 21% penerbit berharap penghapusan atau pengurangan pajak dan adanya subsidi kertas. 20% penerbit mengharapkan bantuan permodalan.

“Ada juga 16% penerbit yang berharap bantuan pemerintah untuk membantu gaji karyawan. Sedang 10% penerbit ingin pemerintah berperan aktif membantu industry penerbitan,” imbuh Arys.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya