SOLOPOS.COM - Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar (kedua kiri) didampingi Risa Mariska, dan Taufiqulhadi berbincang dengan anggota pansus Masinton Pasaribu (kedua kiri) sebelum rapat perdana di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/6/2017). (JIBI/Solopos/Antara/M Agung Rajasa)

APHTN-HAN dan Pusako memberikan 4 pandangan akademik, salah satunya agar KPK tidak mengikuti kemauan Pansus Hak Angket KPK.

Solopos.com, JAKARTA — Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) memberikan empat sikap akademik terhadap pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK yang digulirkan di DPR saat ini.

Promosi BRI Sambut Baik Keputusan OJK Hentikan Restrukturisasi Kredit Covid-19

“Pertama, hak angket tidak sah karena bukanlah kewenangan DPR untuk menyelidiki proses hukum di KPK. Karena hal tersebut merupakan wewenang peradilan,” kata Ketua Umum DPP APHTN-HAN Mahfud MD saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/5/2017).

Kedua, kata Mahfud, Panitia Khusus Hak Angket dibentuk melalui prosedur yang menyalahi aturan perundang-undangan sehingga pembentukannya ilegal.

“Ketiga, DPR harus bertindak sesuai ketentuan perundang-undangan dan aspek-aspek ketatanegaraan yang telah ditentukan menurut UUD 1945. Tindakan di luar ketentuan hukum yang dilakukan DPR hanya akan berdampak pada kerusakan ketatanegaraan dan hukum,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Menurutnya, apabila itu terjadi, maka akan menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. “Keempat, APHTN-HAN dan PUSaKO mengimbau agar KPK tidak mengikuti kehendak panitia angket yang pembentukannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.

Ia menilai akibat pembentukan panitia angket yang bertentangan dengan undang-undang, maka segala tindakan panitia angket dengan sendirinya bertentangan dengan undang-undang dan hukum.

“Mematuhi tindakan panitia angket merupakan bagian dari pelanggaran hukum itu sendiri. KPK harus taat kepada konstitusi dan undang-undang, bukan terhadap panitia angket yang pembentukannya menyalahi prosedur hukum yang telah ditentukan,” ucap Mahfud.

Konferensi pers itu juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan pakar hukum Universitas Andalas Padang Yuliandri.

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari lalu karena KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan anggota Komisi II dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani, dalam kasus korupsi e-KTP.

Dalam sidang kasus korupsi e-KTP 30 Maret 2017, penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran proyek e-KTP. Nama-nama yang disebut Novel adalah Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu, dan satu orang lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya