SOLOPOS.COM - Salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran Nyandhi Wara (HARIAN JOGJA/TRI WAHYU UTAMI)

Salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran Nyandhi Wara (HARIAN JOGJA/TRI WAHYU UTAMI)

Bagi Pius Sigit Kuncoro, kertas itu tanggung. Ide-ide bisa dituangkan di sana. Dengan gaya back to basic, ia menggambar tema realis dengan cat air, mengisahkan kenangan yang mampu menyedot penikmat masuk ke dalamnya tanpa harus lelah berpikir.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Karya-karyanya itu dibalut dalam judul Nyandhi Wara, dipamerkan di Sangkring Art Project, Nitriprayan Bantul pada 2-22 Desember 2011. Sigit, agaknya tak terpengaruh sedikit pun meski ia sering menyaksikan pameran senirupa di Jogja yang minim menggunakan media kertas.

Gambar-gambar Sigit layaknya ilustrasi sebuah cerita. Cocok untuk dijadikan komik bacaan anak-anak mengingat gambar Sigit penuh warna, mengisahkan kehidupan sehari-hari yang sederhana, yang mungkin tak terpikirkan kebanyakan orang.

Tapi, lelaki berkacamata ini mengemasnya dalam bentuk gambar berwarna. Seperti ramainya orang di stasiun kereta api, rumah sakit, pertemuan keluarga, sampai tingkah polah anak-anak. “Judul selalu muncul belakangan, setiap menggambar terus ada yang perlu ditambahkan, pada awalnya saya tidak tahu mau buat apa,” katanya menerangkan gambarnya pada Harian Jogja pekan lalu.

Dua belas tahun lalu, lelaki kelahiran Jember 17 April 1974 ini concern dalam dunia film. Hampir seluruh kejadian ia rekam dalam kaset. Namun sekarang, proses itu berbalik. Ia mesti menghidupkan materi dalam kertas.

Baginya kertas yang ringkih namun tangguh adalah kawan hidupnya. Ia menuangkan segala ide dan kenangan yang masih melekat dalam pikirnya, membuatnya seperti hidup sehingga penikmat tak perlu susah payah bertanya-tanya maksud karya itu. “Siapapun yang menikmati karya saya nggak usah mikir, polos saja, merasa ada di dalam cerita-cerita saya,” ujarnya lagi.

Ungkapan rindu
G Budi Subanar, Pengajar Program Magister Ilmu Relegi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Jogja dan juga kurator pameran menyebutkan karya Sigit sebagai ungkapan rindu rupa tanpa kata. Serpihan kenangan diungkap menjadi serial yang dapat bertutur.

Satu gambar seorang petinju dalam pertarungan di atas ring Semende Ngalaras Rasa. Bisa menjadi satu seri dengan petinjunya yang tengah berkaca di depan cermin, dan seseorang yang berlutut di depan seorang perempuan tua yang duduk menerima salam penghormatan.

Semua dengan warna dasar tua, gambar-gambar tersebut dapat langsung dicerna dan dibangun turunan kisahnya. Bagi Budi Subanar, rangkaian tersebut mengingatkan atas kisah pengalaman Sigit saat mendampingi seorang temannya sampai pada hari terakhir hidupnya.

“Tema ini sekaligus mengingatkan satu gambar yang pernah dibuatnya ketika orang tengah ramai menyaksikan dan membicarakan saat-saat akhir dari kehidupan Suharto [mantan presiden RI],” ucapnya.

Sebagian besar karya Sigit menyentuh dunia sosial secara fisik. Terkesan sangat serius, karena pilihan warnanya dominan tua dan gelap. Seolah, Sigit tak hentinya memasuki pribadinya yang terdalam untuk terus menggali dan menuangkan ke dalam goresan cat air melalui tangannya.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya