SOLOPOS.COM - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberikan keterangan pers di Jakarta, Jumat (20/9/2019), soal penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan menanggapi Revisi UU Pemasyarakatan. (Antara - Aditya Pradana Putra)

Solopos.com, JAKARTA — Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Jakarta, Suparji Ahmad, menyarankan agar Pasal 217-220 dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dihapuskan. Hal itu, katanya, untuk merespons aspirasi masyarakat.

Pasal 217-220 RKUHP mengatur hukuman terhadap setiap orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Itu dalam rangka merespons aspirasi masyarakat karena pasal-pasal tersebut dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan bertentangan dengan putusan MK,” kata Suparji dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (21/9/2019).

Dia mengatakan banyak pihak menilai pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden/Wakil Presiden dikhawatirkan multi-interpretasi, memasung kebebasan pers, dan dikhawatirkan mudah mempidanakan orang. Pasal-pasal itu menurut dia dikhawatirkan mempidanakan orang.

“Itu salah satu nuansa yang muncul dalam berbagai diskusi, apalagi kalau sekarang ditunda pengesahannya maka pasal-pasal itu dihapuskan saja,” ujarnya.

Namun, dia menilai pasal 217-220 RKUHP itu tidak akan mengekang kebebasan pers. Alasanya karena Presiden/Wakil Presiden tidak bisa semena-mena melaporkan media massa kalau unsur-unsurnya tidak terpenuhi.

Dia mencontohkan kalau pers mengkritik kebijakan, menjelaskan suatu persoalan maka Presiden/Wapres tidak bisa menilainya sebagai penghinaan atau penyerangan harkat dan martabat sehingga pers tidak bisa dipidanakan.

“Logikanya sederhana, karena presiden simbol negara sehingga tidak boleh dihina dan diserang. Menghina tiap orang tidak boleh apalagi presiden/wapres, sehingga perlu dilindungi,” katanya.

Dia menilai atas berbagai pertimbangan, pasal-pasal itu diperlukan asalkan pelaksanannya bisa proporsional dan penanganannya profesional dan dilakukan berdasarkan delik aduan. Padahal dalam dalam pasal-pasal tersebut tidak ada kalimat yang membatasi kategori penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden/Wakil Presiden. Karena itu, tidak ada batasan perbuatan yang bisa dianggap Presiden/Wapres menyerang kehormatannya.

Pasal 217 RKUHP menyebutkan bahwa Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Pasal 218 ayat (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 218 ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219 menyebutkan Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Dan Pasal 220 ayat (1)Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya