SOLOPOS.COM - Mohammad Jamin (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pakar Hukum dan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Mohammad Jamin, menyebut tingkat demokrasi pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai tak lebih baik dari masa Orde Baru.

Kebijakan yang dikeluarkan akhir-akhir ini terkesan seperti tangan besi dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. Padahal masyarakat masih dalam masa sulit di tengah pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Jamin saat wawancara dengan Solopos.com, Selasa (22/2/2022).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Bahkan bisa jadi orang mengatakan lebih parah dari masa orde baru sesungguhnya. Iya. Dalam banyak kasus, dalam banyak hal. Dalam konteks penegakan hukum, kebijakan pembangunan, dalam konteks, tanda kutip, diskriminasi dalam menangani kasus kelompok tertentu. Itu yang sering kali dinilai para ahli bahwa tingkat demokrasi kita sekarang tidak lebih baik dari masa Orde Baru,” kata Jamin.

Baca Juga: Tuntut Pencabutan Aturan JHT, Buruh Unjuk Rasa di Kemnaker Jakarta

Dua kebijakan baru pemerintahan Presiden Jokowi yang menjadi sorotan Jamin adalah peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

Dalam beleid yang diteken Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyebutkan manfaat JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun. Presiden Joko Widodo akhirnya mewacanakan revisi aturan ini.

Peraturan kedua yakni tentang kewajiban lampiran keanggotaan BPJS Kesehatan bagi masyarakat yang ingin melakukan sejumlah transaksi masyarakat mulai dari ibadah, jual beli tanah, hingga mengurusi Surat Izin Mengemudi (SIM).

Baca Juga: Kepesertaan BPJS Jadi Syarat Bikin SIM, STNK, & SKCK, Warga Solo Galau

Berbagai Aturan Cenderung Meresahkan

Peraturan baru itu sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sejak 6 Januari 2022. Berbagai aturan pemerintahan Presiden Jokowi yang cenderung meresahkan masyarakat tersebut, kata Jamin, dinilai tidak sensitif pada kondisi masyarakat saat ini.

Lebih dalam lagi, ia melihat BPJS justru seolah menjadi instrumen untuk kepentingan pemerintah, bukan lagi untuk kebutuhan rakyat. Ia pun mempertanyakan hakikat BPJS itu sebenarnya, apakah hak atau kewajiban.

“Kalau saya melihat, BPJS ini hak apa kewajiban sih? Kalau hak ya orang boleh menggunakan boleh enggak seharusnya. Kalau menjadi syarat untuk jual beli dan ibadah, ya BPJS ini sudah bukan lagi hak masyarakat, tapi kewajiban. Kalau hak masyarakat malah dibatasi, atau dieliminasi, karena syarat BPJS ini ya sama saja ini politik diktator,” kata Jamin.

Baca Juga: Polri Dukung Aturan Kartu BPJS untuk Urus SIM, STNK dan SKCK

Jamin membenarkan pemerintah memang memiliki tugas sebagai pengatur regulasi, tapi bukan owner dari iuran masyarakat. Apalagi dalam kasus JHT, itu merupakan iuran buruh yang sudah menjadi haknya diambil jika sudah tidak bekerja.

Mengurangi Kepercayaan Masyarakat

Jamin mengatakan masyarakat masih punya peluang mengubah peraturan tersebut melalui gugatan di Mahkamah Agung. Namun, butuh proses yang cukup panjang. Belum lagi, tak ada yang menjamin apakah MA mau bersikap independen dan memiliki sensitivitas yang sama dengan masyarakat sipil.

“Akan lebih baik ketika pemerintah responsif pada suara dan keluhan semua kalangan. Kemudian bersikap untuk mendengar dan enggak menutup kemungkinan untuk memperbaiki,” katanya.

Baca Juga: Ketua DPR: JHT Dana Pekerja, Bukan Pemberian Pemerintah

“Gejolak paling terasa nantinya yakni keresahan sosial yang berkepanjangan. Ini bisa mengurangi kepercayaan masyarakat pada institusi pemerintah,” kata Jamin lagi saat ditanya soal kemungkinan adanya pergerakan sipil.

Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 92′ Kota Solo Endang Setiowati sebelumnya mengatakan lagi-lagi buruh selalu menjadi korban kebijakan. Padahal buruh sudah sangat dirugikan dengan adanya UU Cipta Kerja yang melanggengkan sistem kontrak. Masih ditambah dengan aturan pencairan JHT harus berusia 56 tahun.

Ihwal aturan pencairan JHT, pemerintah mengklaim adanya program baru yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hanya bagi karyawan yang terkena PHK. Faktanya setelah UU Cipta Kerja banyak pekerja kontrak. Mereka yang putus kontrak otomatis tidak mendapatkan keduanya baik JKP maupun JHT.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya