SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, WONOGIRI—Alat mesin pertanian (alsintan) bantuan Pemkab Wonogiri untuk kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) dinilai menekan biaya produksi hingga 30 persen. Persoalan yang muncul saat ini adalah terbatasnya operator dan kapasitas mesin.

Ketua Gapoktan Gambir Makmur Desa Gambir Manis, Pracimantoro, Sugeng Priyono, mengatakan pada 2018, ia menerima bantuan berupa satu traktor Quick G-1000 dan satu paddy power (mesin perontok padi). Kedua bantuan itu belum dioperasikan lantaran baru diterima akhir 2018. Padahal, di desa itu ada sawah seluas 720 hektare dengan jumlah penggarap mencapai 1.300-an petani.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Tahun sebelumnya kami juga menerima bantuan traktor G-600. Semuanya baru uji coba karena operatornya belum ada. Ini juga musimnya masih tidak menentu. Jadi belum ada pendapatan buat gapoktan,” kata dia, saat dihubungi Solopos.com, Jumat (4/1/2019).

Ia menyebutkan keberadaan alsintan itu bisa menekan biaya produksi. Sebab, biaya penggunaan mesin lebih murah ketimbang biaya pengerjaan secara konvensional. Untuk menyewa traktor, misalnya, anggota hanya dibebani biaya upaha harian operator, biaya operasi seperti bahan bakar, dan kas untuk cadangan memberi onderdil. Untuk lahan seluas 3.000 meter persegi, anggota membayar senilai Rp300.000. “Tenaganya dua orang karena belum ada gerobak untuk pengangkutan traktor ke sawah. Jadi, seharusnya jam 8 siap di sawah, tapi belum bisa,” terang Sugeng.

Penggunaan traktor pun dirasa lebih ringan. Petani tak perlu lagi mencari tenaga untuk mencangkul sawah. Menurut perhitungannya, penggunaan alsintan yang diterima gapoktan diperkirakan menekan biaya produksi hingga 30 persen. “Itu kalau semua alat bisa dioperasikan secara profesional. Saat ini operatornya masih kami yang menyiapkan,” ujar Sugeng.

Di Desa Nambangan, Selogiri, Ketua Gapoktan Daya Guna Karya, Marjuni, menyampaikan hal serupa. Gapoktan itu dua kali menerima bantuan alsintan berupa combine harvester (alat pemanen kombinasi) ukuran kecil dan besar. Semula, petani kesulitan menggunakan alat itu lantaran rodanya dirasa terlalu kecil dan sulit berjalan di lumpur. Gapoktan lantas mengganti roda dengan ukuran besar. Namun, kini alat itu justru tak dipakai. “Alatnya ada di gudang. Petani enggak tertarik memakai karena kalah dengan produk dari merek lain,” kata Marjuni.

Ia menjelaskan selama ini combine harvester digunakan oleh semua anggota. Sebelumnya, petani harus meminjam thresher dari Sragen seharga Rp2 juta untuk memanen sawah seluas sebahu atau sekitar 7.500 meter persegi. Dengan alsintan bantuan Pemkab, anggota cukup membayar separuhnya. Di Nambangan sendiri terdapat 186 hektare sawah yang dikerjakan oleh 721 petani. “Untuk sawah sebahu bayarnya hanya Rp1 juta,” terang dia.

Ia menilai penggunaan combine harvester dirasa menghemat biaya produksi. Dulu, untuk biaya sebahu sawah mulai dari pengolahan tanah, tanam, hingga panen bisa menghabiskan belasan juta rupiah. “Sekarang cuma habis Rp6 juta-Rp7 jutaan per bahunya,” imbuh dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya