SOLOPOS.COM - Suasana sebuah restoran di Jl Slamet Riyadi Solo. Sektor usaha restoran mestinya menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi. (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, SOLO — Ini sebuah kisah rumah makan cukup ternama di Kota Solo. Setiap harinya, tak kurang Rp2 juta pendapatan berhasil diraupnya. Dalam sebulan, omzet usaha tersebut bisa mencapai sekitar Rp50 juta. Namun, begitu ditelisik seberapa besar pajak yang disetor ke Kota Solo, rupanya tak lebih Rp600.000/bulan.

Padahal, dengan omzet sebesar itu, restoran itu mestinya membayar pajak Rp6 jutaan/bulan. “Rata-rata pajak restoran di Solo memang masih memakai sistem borongan seperti itu,” ujar Abdullah Suwarno, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Solo, mengisahkan restoran tersebut kepada Solopos.com, Kamis (23/1/2014) pekan lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pajak sistem borongan, menurut Suwarno, memang sudah bukan rahasia lagi. Peraturan Daerah (Perda) No 4/ 2011 tentang Pajak Daerah secara tegas telah melarang praktik tersebut. Namun, di Kota Bengawan, ratusan usaha makanan—mulai restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, katering, dan sejenisnya—banyak yang membayar pajak ala borongan.

Pajak model inilah yang kerap disebut-sebut sebagai biang terjadinya kebocoran. Sebab, antara wajib pajak (WP) dengan pemungut pajak sangat berpeluang melakukan negosiasi. “Padahal, jika pajak restoran bisa dijalankan benar-benar sesuai aturan, wah…PAD [pendapatan asli daerah] Solo luar biasa,” ujar bos Hotel Mandala Wisata ini mengandai-andai.

Berdasarkan catatan Solopos.com, PAD Solo 2013 dari sektor pajak restoran mencapai Rp17,9 miliar. Angka ini hanya dihitung dari pajak 800-an usaha restoran yang terdata yang sebagian besar memakai sistem penetapan borongan. Sementara, masih banyak pelaku usaha lainnya yang memang tak dipungut dengan alasan ekses sosial, ekonomi, dan politis.

Padahal mengacu Perda No 4/ 2011 tentang Pajak Daerah, setiap usaha makan yang memiliki omzet minimal Rp1 juta/ bulan wajib dikenai pajak. Artinya, usaha wedangan hik, warung kecil di kampung-kampung dan PKL di tepian jalan yang jumlahnya mencapai ribuan itu secara tak langsung mestinya juga wajib pajak.

Namun, karena pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pemkot mengurungkan memungut pajak kepada mereka. “Kalau Perda dijalankan secara ketat, justru menimbulkan ekses negatif di masyarakat. Selama ini, yang kami lakukan adalah persuasif kepada masyarakat dan mengedepankan asas keadilan,” ujar Tulus Widajat, Sekretaris Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Solo.

Pajak, kata Tulus, secara teori memang semestinya diserahkan kepada Pemkot sesuai dengan omzetnya. Namun, fakta di lapangan berkata lain. Selain alasan tersebut di atas, ada alasan lain yang membuat pemungutan pajak terpaksa dilakukan dengan sistem borongan. Antara lain keterbatasan personel, jumlah restoran yang fluktuatif dan tak terkendali, hingga alasan efektivitas, efisiensi, serta rendahnya kesadaran masyarakat membayar pajak. Dan tak kalah krusialnya, sebagian besar pembukuan restoran selama ini tak memakai billing. Alhasil, pembayaran pajak pun berdasarkan taksiran, negosiasi, dan lebih pada pengakuan wajib pajak. “Seringkali ketika petugas kami mendatangi restoran, pemiliknya tak ada atau hanya disemayani saja,” tambahnya.

PHRI sendiri selaku organisasi yang menaungi usaha tersebut mengaku kewalahan mendeteksi dan mengajak para pelaku usaha restoran untuk menjadi anggota. Bak cendawan di musim hujan, keberadaan usaha makanan ini tumbuh menggurita di Kota Bengawan. Sayang, dari ribuan pelaku usaha makanan, hanya 60 restoran yang bergabung dengan PHRI. “Inilah kenapa saya bisa memaklumi kesulitan Pemkot itu,” ujar Suwarno.

Meski demikian, kalangan DPRD tak bisa menerima alasan-alasan tersebut. Wakil Ketua DPRD Solo, Supriyanto menilai, semestinya Pemkot mengoptimalkan sosialisasi pajak restoran ini hingga ke konsumen langsung. Sebab, imbuh Supri, keengganan masyarakat membayar pajak bisa juga disebabkan belum adanya pemahaman yang benar tentang pajak. “Pajak restoran itu sesungguhnya diambilkan dari konsumen. Tugas pengelola restoran ialah sebagai wajib pungut untuk disetorkan ke pemkot. Jadi, tak ada alasan pungutan pajak itu memberatkan pelaku usaha,” tandas politisi Partai Demokrat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya