SOLOPOS.COM - Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Mas Dul, bukan nama yang sebenarnya, sudah beberapa tahun terakhir ini rajin menjadi panitia hajatan tetangganya, baik tetangga kampung maupun tetangga beda dusun dalam lingkup satu desa. Selain rajin njagong dan among tamu, Mas Dul juga rajin anjang sana ke sejumlah warga untuk menjenguk warga yang sakit atau sekadar silaturahmi.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Omong punya omong, rupanya Mas Dul tengah mempersiapkan jalan panjang untuk menjadi kepala desa atau kades di desanya. Hasil tabungannya sebagai pengusaha bengkel menjadi sumber keuangan. Di samping itu, dia juga punya koneksi dengan seorang kawan kuliahnya yang punya usaha galian C. Kelak, jika dia menjadi lurah atau kepala desa, sang kawan akan menjadi investor di daerah kekuasaannya.

Jadi tidak mengherankan jika Mas Dul sanggup menarik pulang warga desanya yang merantau di Jakarta dengan belasan bus dan langsung diinapkan di rumahnya, untuk esok harinya langsung nyoblos di balaidesa. Tidak cukup itu. Setiap dusun mendapat jatah pembangunan fisik, bisa dalam bentuk balai pertemuan warga atau perbaikan jalan.

Itulah gambaran sebuah pilkades yang hari ini, Senin (3/12), digelar serentak di 125 desa di Sukoharjo. Apakah Mas Dul akan menang dengan cara seperti itu? Belum tentu. Kata para sesepuh desa, semua tergantung pulung. Pulung dipahami sebagai sebuah pertanda dari Tuhan bahwa seseorang kuat menjadi pemimpin. Tetapi sebagian besar orang zaman sekarang memahami bahwa pulung atau wahyu dapat diraih dengan segepok uang, sederet drum aspal dan setumpuk semen.

Tentang kekuatan dari Tuhan ini, para calon mempunyai sikap yang berbeda. Sebagian akan menyandarkan hasil akhir perjuangan pada garis ketentuan Tuhan. Namun sebagian ada pula yang menyewa orang pintar, menjalani aneka laku, mulai dari kungkum, tidur di makam ibunya dan beberapa laku lainnya. Dan demi pilkades, semua itu bisa dilakukan.

Jadi, jangan remehkan pilkades. Dalam pilkades, terdapat pelajaran demokrasi yang terpenting bahwa setiap orang, meski saling kenal mengenal, meski sekandung sedarah, atau ibarat kata, tunggal kandhang tunggal petarangan, namun bisa saja mempunyai pilihan berbeda. Jangan percaya dengan ucapan nggih atau iya dari tetangga atau kenalan. Jika sudah menyangkut pilihan calon lurah, ucapan nggih di bibir belum menjadi jaminan nggih saat menyoblos.

Dalam pilkades pula, bisa jadi tempat segala janji dan dendam ditunaikan. Warga yang mendendam kepada kades incumbent yang lalai saat mengurus surat tanahnya, bisa membalas hari ini. Warga yang ingin berterima kasih kepada calon yang pernah membantunya dalam suatu urusan, inilah saat yang tepat untuk sekadar membalas budi baik.

 

Contoh Demokrasi

Bahkan seperti dikutip Kantor Berita Antara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga ikut memberikan suara dalam pilkades di Desa Nagrak, Gunung Putri, Bogor, Jabar, lima tahun silam. Kata SBY, dengan pemilihan kepala desa yang tertib, jujur dan adil, maka setiap desa dapat memberikan contoh kehidupan demokrasi yang baik.

Tetapi ungkapan ”demokrasi yang baik” seperti diungkapkan SBY itu, bukan berarti bebas politik uang. Meski tidak semua calon kades bersikap seperti Mas Dul, hampir semua calon dipastikan mengeluarkan uang cukup banyak yang melebihi kemampuannya. Dan jangan berharap ”demokrasi yang baik” juga akan melahirkan pemimpin yang baik. Belum tentu. Demokrasi hanya akan melahirkan pemimpin yang sah dan legitimate, tetapi belum tentu baik.

Pilkades, di satu sisi bisa menjadi lompatan dari kehidupan desa yang guyub, yang berdasarkan tata nilai paguyuban (gemainschaft) dengan ciri suasana desa yang intim, pergaulan yang dekat, rapat, saling kenal dalam kurun waktu yang panjang menjadi seolah-olah tata nilai patembayan (gesellscharft) dengan pola hubungan warga masyarakat yang saling terikat oleh pamrih, hubungan yang terikat kepentingan atas kebendaan.

Inilah mengapa pilkades menjadi contoh nyata demokrasi. Seharusnya beda pilihan harus dimaknai sebagai kebebasan demokrasi. Tetapi dalam banyak kasus, kebebasan itu sudah terbeli dengan aneka ragam ikatan jual-beli. Dalam pilkades, bisa jadi ikatan pertemanan tergantikan oleh ikatan pamrih. Tidak jarang gara-gara beda pilihan dalam pilkades, ikatan persaudaraan menjadi renggang.

Ada juga cerita sebuah keluarga yang dikucilkan oleh lingkungannya gara-gara tidak mendukung calon kades yang didukung warga sedusun. Bagi warga desa, dikucilkan tetangga bukan persoalan sepele. Mereka yang dikucilkan bisa kehilangan tempat naungan dalam hidup yang guyub, tidak dibantu karang taruna saat menggelar hajatan, dll.

Saat pelaksanaan, pilkades juga lebih dramatis dari pemilihan kepala daerah yang lebih tinggi, seperti pemilihan bupati, walikota atau gubernur. Dalam pilkades, dua atau lebih calon dipajang di kursi calon, biasanya didudukkan di panggung atau tempat yang mudah terlihat oleh warga yang memilih. Ribuan orang yang berkumpul di tempat pemungutan suara, yang biasanya digelar di balaidesa, akan melihat sosok para calon. Masing-masing calon didampingi istri atau suaminya. Maka ketika suasana pemilihan sudah memasuki tahapan perhitungan, suasana menjadi sangat mendebarkan.

Mereka yang kalah bisa saja langsung terlihat pias wajahnya atau lesu. Jika mentalnya tidak tangguh, si calon bisa pingsan di tempat. Calon yang menang biasanya akan diarak menuju ke rumahnya, bisa naik andong atau kendaraan terbuka, dielu-elukan oleh pendukungnya.

Padahal bagi calon yang kalah, kekalahan bukanlah akhir dari segala-galanya. Banyak cara untuk mengabdi di desa, banyak cara untuk berguna bagi sesamanya. Malah, bagi yanga kalah, setidaknya bisa selamat dari potensi melakukan perbuatan korup.

Rasanya, sebagai tataran demokrasi terkecil, sudah saatnya dibuat aturan agar dalam pilkades tidak terjadi jor-joran materi. Dalam pilkades, mestinya menjadi contoh bahwa siapa pun bisa dan boleh menjadi pemimpin asalkan mampu dan punya waktu yang lapang untuk mengasuh, mengasah dan mengasihi warganya. Tetapi, jangan-jangan masyarakat kita sudah terbiasa dengan sikap yang mengundang kibasan materi dari para calon. Entahlah….

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya