SOLOPOS.COM - Perahu nelayan di TPI Wuryantoro tampak terparkir di pesisir Waduk Gajah Mungkur di Kecamatan Wuryantoro, Wonogiri. (Solopos/Luthfi Shobri Marzuqi)

Solopos.com, WONOGIRI — Pemandangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, pada Sabtu (22/1/2022) tampak lengang. Beberapa nelayan terlihat duduk-duduk santai di warung sekitar TPI.

Tukiyat, pria yang sudah 20 tahun menjadi nelayan mengaku belakangan ini hasil tangkapan ikan sangat sedikit.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Sekarang ini jumlah ikannya sedikit. Sebabnya banyak dipengaruhi masa air yang pasang naik pada musim hujan dan terutama banyaknya pemasangan branjang/pukat harimau,” kata Tukiyat kepada Solopos.com.

Baca juga: Nelayan Tepian Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Sewakan Perahu untuk Wisata

Menurutnya, musim hujan yang puncaknya terjadi pada Januari-Maret membuat ikan-ikan berpencar dan bersembunyi ke banyak tempat. Kondisi ini diperparah dengan keberadaan tanaman sejenis klampis yang membuat jaring-jaring milik nelayan tersangkut di batangnya yang berduri.

Keberadaan tanaman itu diduga Tukiyat sebagai tempat bersembunyi bagi ikan-ikan yang dibudidayakan di Waduk Gajah Mungkur.

“Ada ikan wader, ikan nila, ikan sogo, hingga ikan betutu,” ucap Tukiyat menyebutkan ragam ikan yang dibudidayakan di Waduk Gajah Mungkur.

Baca juga: Bus Sekolah Gratis Wonogiri Beroperasi Lagi Pekan Depan, Ini Rutenya

Meski dalam kondisi paceklik, masih ada nelayan yang berangkat mencari ikan. Salah satunya Slamet, ia baru saja datang dari tengah waduk mengambil jaring yang ia pasang pada hari sebelumnya. Ia berhasil mendapat ikan walaupun jumlahnya hanya bisa dihitung jari.

“Dapat satu ikan nila, lainnya ikan wader,” Slamet menyebut hasil menjaringnya. Jika ia berniat menjualnya pun tak terlalu banyak nilainya.

Informasi yang diterima Solopos.com, satu kilogram ikan wader dijual senilai Rp7.000. Sedangkan ikan nila nilai jualnya Rp20.000 per kilogram. Artinya, hasil Slamet menjaring ikan di Waduk Gajah Mungkur hanya bisa mengganti uang bensin.

Baca juga: Polwan Wonogiri Pastikan Jemaah Salat Jumat Taat Prokes Covid-19

Paceklik

Tukiyat dan Slamet mengaku satu tahun belakangan ini adalah musim paceklik yang terparah. Meski air pasang naik seperti yang biasa terjadi pada puncak musim hujan, setidaknya hasil nelayan menjaring ikan tak terlalu sedikit. Namun kini kondisinya semakin memprihatinkan.

“Dulu itu meskipun bulan-bulan Januari-Maret, kami masih bisa mendapat ikan seberat empat sampai lima kilogram. Kalau sekarang ya sekitar satu atau mentok dua kilogram,” ucap Tukiyat.

Ia menegaskan penyebab utama paceklik bagi nelayan di WGM Wonogiri adalah pemakaian branjang/ pukat harimau yang semakin banyak. Alat tersebut sebenarnya sudah dilarang oleh Pemkab Wonogiri melalui Perda, namun masih banyak yang melanggar.

Baca juga: Pengunjung Waduk Gajah Mungkur Membeludak, Pengelola Minta Bantuan

Tukiyat mengungkapkan, penggunaan branjang untuk menangkap ikan dapat merusak ekosistem, sekaligus menimbulkan kecemburuan sosial.

“Nelayan yang menggunakan branjang atau pukat harimau kalau di laut itu dalam satu hingga dua jam sekali bisa memanen ikan. Sementara kami [nelayan di TPI Wuryantoro] harus menunggu satu hari, itu pun jumlahnya sedikit,” imbuh Tukiyat.

Penggunaan branjang itu bahkan dikatakannya bisa menjaring ikan-ikan yang masih berukuran satu inci. Sedangkan menurut peraturan, kan-ikan yang boleh dijaring minimal berukuran 2 inci. Hal itu lantas yang membuat ekosistem di Waduk Gajah Mungkur rusak.

“Tahun 2019 dulu enggak ada yang menggunakan branjang. Operasi yang dilakukan dinas terkait juga sering, tapi entah kenapa dalam satu tahun ini operasi enggak dijalankan lagi. Mungkin karena pengaruh Covid-19 jadi enggak ada operasi lagi,” jelas Slamet.

Baca juga: Museum Wayang Indonesia Wonogiri Inventarisasi Koleksi

Sejak tidak dilakukannya operasi oleh dinas terkait, kini penggunaan branjang atau pukat harimau merajalela.
Keberadaan nelayan yang menggunakan branjang untuk menangkap ikanlah yang meresahkan nelayan-nelayan kecil yang mencoba taat pada peraturan. Meski imbasnya para nelayan harus merelakan hasil tangkapan jaringnya kosong. Keadaan itu membuat mereka jadi enggan menyusuri waduk untuk mencari ikan.

“Dari sekitar 60 nelayan yang ada di sini [TPI Wuryantoro], mungkin hanya 50 persennya saja yang masih mencari ikan di masa paceklik ini,” kata Tukiyat.

Sisa nelayan yang tak mencari ikan di masa paceklik seperti sekarang, tambahnya, kini terpaksa beralih kerja sebagai peternak atau petani. Atau seperti Tukiyat dan nelayan lain yang terlibat obrolan santai di warung dekat TPI Wuryantoro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya