SOLOPOS.COM - Ilustrasi gula rafinasi (Rahmatullah/JIBI/Bisnis)

OTT KPK menjerat Ketua DPD, Imran Gusman diduga terkait penetapan kuota impor gula.

Harianjogja.com, JOGJA — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara tegas menyebutkan kuota impor yang dibagi ke beberapa importir akan menyuburkan praktik kartel.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

(Baca Juga : OTT KPK : Penangkapan Irman Gusman Tak Terkait DPD)

Ketua KPPU RI Muhammad Syarkawi Rauf mengungkapkan rezim kuota impor pangan kembali memakan korban yaitu dugaan keterlibatan Ketua DPD RI dalam mempengaruhi penentuan pemegang kuota impor gula 2016. Ketua DPD RI kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK setelah dilakukan operasi tangkap tangan dengan bukti uang suap Rp100 juta.

“Penangkapan ketua DPD RI hanyalah gejala dari masalah yang sebenarnya bersumber dari rezim kebijakan pengendalian impor pangan di Indonesia yang menggunakan sistem kuota. Di mana pemerintah mengendalikan impor pangan dengan cara membagi kuota [jatah] impor kepada importir sesuai kebutuhan di dalam negeri,” ungkap dia dalam rilis yang diterima Harian Jogja, Senin (19/9.

Ia menyebutkan, sejak awal, rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha. Secara pidana, rezim kuota dapat memfasilitasi persekongkolan antara pemberi kuota dengan calon penerima kuota. Sementara, dari sisi hukum persaingan usaha, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antar pelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar.

Praktik korupsi (suap) dalam rezim kuota impor sangat mudah terjadi karena hampir semua komoditas pangan memiliki disparitas harga yang tinggi antara harga dalam negeri dengan internasional. Hal ini memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah yang sangat besar.

Dalam kasus gula impor, terdapat selisih harga antara patokan harga pemerintah dengan harga internasional. Harga pokok gula yang ditetapkan pemerintah sekitar Rp9.100 per kg, sedangkan harga internasional sekitar Rp6.500 per kg.

“Faktanya, harga gula di pasar domestik masih sekitar Rp13.000 per kg dan bahkan pernah mencapai Rp16.000 hingga Rl17.000 per kg,” kata dia.

Disparitas harga domestik dan internasional yang tinggi ditambah dengan lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam penentuan pemegang kuota impor memberi peluang terjadinya praktik penyuapan. Modus praktik KKN dalam penentuan kuota impor pangan sangat mudah ditelusuri karena hanya memanfaatkan perhitungan besarnya selisih harga domestik dan internasional.

Penetapan pemegang kuota impor yang tidak transparan membuat kuota impor terkonsentrasi hanya pada beberapa grup perusahaan. Hal ini kemudian berdampak pada struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli, terpusat pada beberapa pemain besar saja, mengingat pemegang kuota juga mengendalikan pasokan pangan lokal.

Rezim kuota impor mengakibatkan kelangkaan dan persistensi kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri. Hal ini disebabkan  rendahnya akurasi data produksi (pasokan) dan konsumsi. Tingkat akurasi data yang buruk menyebabkan overestimate(kelebihan hitung) dalam menentukan produksi dalam negeri. Overestimatemenghitung produksi pangan menyebabkan lemahnya akurasi data pasokan pangan nasional.

Implikasinya, terjadi underestimate(kekurangan hitung) dalam menetapkan kuota impor. Pengalaman menunjukkan realisasi impor pangan selalu lebih rendah dari besarnya kuota yang diberikan berimplikasi pada kelangkaan dan tingginya harga pangan di dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya