SOLOPOS.COM - Sumedi, Pensiunan pegawai Diskominfo Kota Solo (ist)

Sumedi, Pensiunan pegawai Diskominfo Kota Solo (ist)

Membaca Laporan Khusus SOLOPOS edisi Senin (12/12/2011), sangat menggelikan. Ada delapan macam seragam di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Solo.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Salah satunya, guru harus mengenakan batik wahyu tumurun pada hari Jumat. Bagi guru PNS instruksi itu membuat mereka kelimpungan, bagaimana dengan guru non-PNS yang berhonor kecil?

Kalangan guru gagap dalam menerima instruksi atau imbauan dari pimpinan, apalagi dalam bentuk surat edaran (SE) resmi No 800/163/Set/2011 tentang Penggunaan Pakaian dinas Disdikpora Kota Solo.

Pakaian seragam batik wahyu tumurun harus dipakai pada hari Jumat. Imbauan memakai batik sebenarnya relevan dengan harapan menghidupkan industri batik yang tersebar di berbagai daerah yang merupakan sentra industri kecil atau rumahan.

Di lain pihak, pembelian pakaian, buku, sepatu dan lain-lain secara seragam dalam jumlah besar merupakan lahan bisnis yang menguntungkan para pengusaha.

Di sinilah awal mula timbulnya kongkalikong antara pengusaha dan pejabat. Hal ini sebenarnya merupakan lagu lama yang dinyanyikan lagi dan direkam ulang dengan aransemen baru. Masalah pembelian seragam guru terjadi sejak dulu.

Pejabat dengan modal kewenangannya cukup membuat instruksi atau imbauan kepada bawahannya. Dengan senjata instruksi pejabat itulah pengusaha bergerak mencari keuntungan melalui penjualan batik motif wahyu tumurun lewat koperasi yang dikelola sendiri oleh dinas.

Tujuan akhirnya tentu saja bisa ditebak: berbagi keuntungan. Batik motif wahyu tumurun sebenarnya bukan kain batik dalam arti sebenarnya tetapi hanya kain bercorak batik.

Dari sini sudah dapat diketahui bahwa yang diuntungkan dari seragam ini bukan pengusaha batik rumahan tetapi pengusaha kain atau perusahaan tekstil besar atau pedagang besar yang mampu langsung memesan ke pabrik tekstil.

Tujuan untuk menghidupkan kembali usaha batik tradisional menjadi tidak relevan. Selain itu lembaga koperasi yang sebenarnya bertujuan luhur dan mulia untuk menyejahterakan anggota sudah tercemar limbah korupsi-kolusi-nepotisme.

Pembelian partai besar semestinya bisa menekan harga lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar tapi kenyataanya pembelian dalam jumlah besar justru menjadi lebih mahal. Melihat kenyataan di atas ada beberapa hal yang harus dibenahi.

Pertama, instruksi atau apa saja bentuknya yang mengharuskan pemakaian secara seragam (pakaian, sepatu, buku dan lain-lain) harus dibebankan kepada si pemberi instruksi, dalam hal ini kalau pakaian seragam ya APBD. Masyarakat harus mulai berani menolak instruksi model seperti ini.

Kedua, masalah seragam batik harus dikembalikan kepada niat awal untuk menghidupkan kembali batik tradisional (bukan kain bercorak batik) yang hanya mampu dibuat oleh pabrik tekstil besar.

Ketiga, lembaga koperasi harus kembali pada tujuan luhurnya yaitu menyejahterakan anggota. Koperasi harus menolak penjualan barang konsumsi yang harganya lebih tinggi dari harga pasar.

Pengurus koperasi perlu menyadari tugasnya, bukan mengejar keuntungan dalam nominal tertentu tapi yang diutamakan adalah kesejahteraan para anggota.

Kesejahteraan anggota sangat sulit cara mengukurnya, tapi adanya keresahan para anggota bisa dijadikan parameter bahwa keputusan yang diambil berdampak menyejahterakan atau tidak.

Keempat, masyarakat khususnya para PNS dan guru yang sering menjadi lahan pemasaran berbagai produk barang harus merekonstruksi cara berpikir agar berani menolak instruksi dari atasan yang tidak lain juga seorang guru. Guru yang dimaknai digugu lan ditiru harus diartikan grup pembaru, harus berani menolak hal-hal yang berbau KKN.

Kelima, penggunaan pakaian seragam di luar APBD harus dibebaskan cara memperolehnya. Seragam baju batik, serahkan pada setiap orang untuk memilihnya asal bahan tersebut terbuat dari batik (tulis/cap), terserah coraknya, mau truntum, wahyu tumurun, kawung, ceplok, lereng atau corak yang lain.

Hal ini sekaligus untuk mengenalkan aneka macam corak batik kepada masyarakat khususnya anak-anak kita. Dengan cara seperti ini tidak akan ada monopoli pembuatan corak tertentu oleh pengusaha batik.

Hal ini juga untuk menghidupkan dan memajukan usaha batik tradisional seperti niat dan tujuan awalnya.

Kembali pada persoalan yang diungkap SOLOPOS, sudah jelas sekali aroma kongkalikongnya, dari perbandingan harga antara batik sejenis wahyu tumurun yang dijual di Pasar Klewer dan yang dijual koperasi.

Di sini sengaja motif wahyu tumurun ditambah gambar gunungan sebagai cara agar pasar tidak bisa menjiplak, padahal kalau kita sadar khususnya para pengusaha tekstil, tambahan gambar gunungan bukanlah sebuah produk hak cipta yang dilindungi undang-undang.

Semestinya pengusaha tekstil lain bisa membuat barang yang sama dengan harga yang lebih murah.



Dilihat perhitungan keuntungan yang diperoleh para pembuat kebijakan dan para pengusaha, hal ini cukup signifikan untuk ditindaklanjuti dalam konteks perbuatan melawan hukum.

Dalam konteks ini ada pejabat yang merugikan pihak lain, dalam hal ini para guru. Polisi atau jaksa semestinya bisa mengusut hal ini sebagai terapi agar pada kemudian hari tidak terjadi lagi instruksi-instruksi yang setengah memaksa bawahannya.

Lembaga sekolah dan para guru adalah garda depan dalam mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa. Lembaga koperasi harus dikembalikan pada tujuannya yang luhur dan mulia, jangan mau dijadikan kepanjangan tangan orang-orang yang hanya mengurus kepentingan sendiri.

Guru sebagai grup pembaru harus berani menegakkan kebenaran. Rakyat sangat menanti tegak cepat aparat penegak hukum, bukankan pemberantasan korupsi-kolusi-neoptisme dimulai dari hal-hal yang kelihatannya sepele?

Yang kelihatan sepele itu kadang-kadang sangat menyakitkan hati wong cilik. Bagaimana para guru, setuju atau tidak?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya