SOLOPOS.COM - Para anggota Gafatar mendapat pengawalan dari aparat keamanan setibanya di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Selasa (27/1/2016) petang. (Imam Yuda.S/JBI/Semarangpos)

Ormas Gafatar memiliki banyak pengikut yang selama ini bermukim di Kalimantan Barat (Kalbar) dengan beraktifitas bercocok tanam.

Semarangpos.com, SEMARANG – Para pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mulai resah dengan masa depannya. Kondisi ini menyusul keputusan pemerintah yang meminta mereka untuk meninggalkan pemukimannya di Kalimantan Barat (Kalbar) pascainsiden pembakaran pemukiman Gafatar di Mempawah oleh masa, Selasa (29/1/2016).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Akibat insiden itu, ribuan pengikut Gafatar pun dipulangkan ke Pulau Jawa. Di Jawa Tengah (Jateng), para pengikut Gafatar ini telah datang dalam dua gelombang melalui Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, dengan jumlah sebanyak 1.500 lebih dan ditempatkan di pemukiman yang terletak di Asrama Haji Donohudan, Boyolali.

Salah satu pengikut Gafatar, Yusuf, 30 tahun, mengaku bimbang dengan masa depannya saat ini. Maklum, selama ini ia mengaku sudah hidup nyaman bersama kelompoknya di wilayah Ketapang, Kalbar.

“Kami berharap mendapat tempat baru. Kami hanya ingin bercocok tanam dan menjalankan program pemerintah, yakni bertani. Sekarang, kami bingung setelah ini mau kemana,” ujar Yusuf saat dijumpai Semarangpos.com seusai tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Selasa (27/1/2016) malam WIB.

Yusuf mengaku sebenarnya saat ini ia bukanlah pengikut aliran Gafatar yang dianggap pemerintah sesat. Ia mengaku Ormas Gafatar sebenarnya sudah dibubarkan sejak 2015 lalu.

“Saat dibubarkan itu, kami diberi pilihan ingin kembali ke keluarga masing-masing atau bercocok tanam. Kami memilih opsi kedua,” ujar Yusuf yang mengaku masuk Gafatar pada 2014 lalu.

Pria asal Sumatra Utara (Sumut) itu mengaku sebelum masuk Gafatar bekerja di sebuah pabrik rokok. Bahkan saat itu, ia juga merupakan warga negara yang taat salah satunya dibuktikan dengan turut berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk memilih presiden Indonesia.

“Saya ikut Gafatar baru satu tahun. Setelah itu, Gafatar dibubarkan dan kami memilih bertani di Ketapang. Selama di Ketapang, kami tak pernah berbuat yang melanggar hukum. Kami di sana juga hidup rukun beragama, ada mushala dan juga gereja. Ritual keagamaan kami juga biasa, seperti umat beragama lainnya,” imbuh pria yang mengaku di Ketapang tinggal di Desa Sukamaju itu.

Senada juga diungkapkan Yayak. Perempuan asal Medan ini berharap setelah ini pemerintah mau memfasilitasi mereka untuk mendapatkan lahan baru sebagai pengganti pemukiman mereka yang ditinggal di Ketapang.

“Harapan kami setelah ini pemerintah mau merelokasi kami ke tempat baru yang lebih aman. Sebenarnya, di sana kami sudah hidup mandiri dan nyaman. Tapi, enggak tahu kenapa kami harus dibawa ke Jawa untuk ditempatkan ke permukiman,” ujar perempuan berusia 24 tahun itu.

Para pengungsi Gafatar dari Ketapang ini datang ke Pulau Jawa dengan jumlah yang cukup besar, yakni 1.281 orang. Mereka tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Selasa petang, dengan menggunakan kapal KRM Dharma Ferry.

Mereka diungsikan ke Pulau Jawa untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya aksi serupa yang dilakukan masa kepada kelompok mereka yang berada di Mempawah, Selasa pekan lalu. Saat itu, masa membakar permukiman Gafatar di Mempawah dan melakukan pengusiran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya