SOLOPOS.COM - Yohanes Bara (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Sebuah kaba dari Sumatra Barat yang amat terkenal sering diceritakan kepada anak-anak sebagai dongeng menjelang tidur atau dituturkan guru di taman kanak-kanak. Kaba itu menceritakan tentang legenda Malin Kundang. Legenda itu bermula ketika Malin meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau.

Ia bosan pada kemiskinan dan hendak mencari kesuksesan di tanah rantau. Sekalipun sang ibu menghendaki Malin tetap di kampung, kebesaran tekad Malin membuat luluh hati sang ibu untuk melepaskan anaknya mengadu nasib di perantauan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sang ibu makin tua, Malin tak kunjung pulang. Sang ibu hanya dapat merindukan dan menantikan kehadiran Malin dari setiap kapal yang berlabuh. Akhirnya hari yang ia rindukan tiba. Satu unit kapal berlabuh dengan sepasang anak muda di anjungan.

Malin turun mengenakan pakaian yang berkemilauan. Sang ibu yang amat rindu mendekat dan memeluk anaknya. Malin mendorong ibunya sendiri karena malu kepada perempuan cantik yang ia bawa dari perantauan. Sang ibu menghardik Malin menjadi batu karena kedurhakaannya.

Legenda itu tampaknya menjadi semangat dan sejarah yang hidup di peradaban modern orang Minangkabau yang dikenal berdaya tahan dan berdaya juang di tanah rantau. Tanda tanda paling umum adalah rumah makan Padang yang berdiri di seluruh Indonesia.

Demikian juga etos kerja “Malin” modern yang kaya akan ilmu dan pengetahuan seperti negarawan Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta, sang pejuang Tan Malaka, sastrawan Mohammad Yamin, hingga ulama besar Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka dan Agus Salim.

Berkelana hingga negeri seberang merupakan pilihan bagi mereka yang ingin mengubah nasib, baik nasib ekonomi atau nasib intelektual. Di negeri seberang ada peluang dan pengetahuan baru. Oleh sebab itu negara melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) hingga Agustus 2019 telah mengirimkan 20.255 untuk belajar di universitas terbaik di dalam dan luar negeri agar kelak mereka dapat pulang dan membangun Indonesia.

Seperti kata filsuf Stoik, Seneca, nonscholae, sed vitae discimu, yang berarti belajar dan berpengetahuan tidak semata-mata untuk sekolah atau mendapat gelar,  tetapi juga untuk perbaikan hidup. Hanya sedikit yang setia pada jalan perantauan mencari ilmu dan pengalaman.

Jalan Pintas

Banyak yang memilih jalan pintas menjadi orang kaya baru seperti yang ditulis Radhar Panca Dahana dalam Ekonomi Cukup (2015), bahwa banyak orang tak merasa puas sudah memilik tiga pasang sepatu dan membeli lagi yang baru karena iklan menarik.

Demikian juga kebiasaan membeli baju baru yang mulanya hanya saat Lebaran menjadi rutinitas bulanan, mingguan, bahkan bisa terjadi kapan saja melalui online market di genggaman. Demikian juga belanja alat rumah tangga hingga kendaraan.

Yuval Noah Harari di buku Sapiens (2019) mengatakan bahwa naluri rakus manusia seperti itu merupakan turunan dari 30.000 tahun silam pada zaman pemburu dan pengumpul yang ketika menemukan sepohon penuh buah matang pilihan tunggalnya hanyalah melahap sebanyak mungkin buah matang itu sebelum sekumpulan monyet datang menghabiskan.

Teori “gen rakus” yang telah diterima secara luas itu dapat kita alami dan saksikan sendiri dalam keseharian kita yang gemar menyimpan makanan di kulkas dan menumpuk barang seolah-olah sedang berada di hutan 30.000 tahun lalu.

Kehadiran media sosial membuat naluri rakus manusia itu lebih terdorong lagi karena lewat media sosial kita tak lagi membandingkan diri dengan tetangga dan orang yang kita kenal saja, tetapi bisa dengan siapa saja.

Henry Manampiring malah mengatakan banyak orang mengalami begitu besar dorongan dan tekanan untuk memamerkan kekayaan atau seolah-olah kaya yang diyakini sebagai tolok ukur kesuksesan dan kebaikan. Hal tersebut yang kita lihat dari fenomena memborong mobil di Tuban, Jawa Timur.

Di sana satu orang bisa membeli empat unit mobil sekaligus sekalipun ia tak dapat mengemudikan. Itulah yang disebut Epictetus dalam Filosofi Teras (2019) sebagai sesat nalar karena berpikir ”saya lebih kaya, artinya saya lebih baik dari kamu”, padahal kekayaan hanyalah ukuran kuantitas aset, property, dan harta benda. Tidak lebih dari itu.

Sedangkan lebih baik secara kepribadian mesti diuji melalui kualitas pekerjaan, kecakapan berpikir, dan emosi yang matang. Demikianlah yang terjadi pada Malin, ia bergelimang harta dan punya kuasa, yang dia anggap sebagai kesuksesan dan lebih baik dari yang lain.

Ia kehilangan akhlak dan moral yang membuat ia tega mendorong ibunya sendiri yang lalu mengutuknya jadi batu. Kutukan dari sikap konsumerisme dan hedonisme era modern ini bukanlah membatuan fisik, tetapi membatukan pikiran menjadi keras kepala, membatukan hati menjadi tak berempati. Hingga akhirnya tanpa welas asih dan empati. Si kaya hanya dianggap ”batu” oleh tetangganya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya