SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Diskusi publik yang diselenggarakan Radio SOLOPOS FM dan Harian SOLOPOS, Kamis (12/1/2012), mencuatkan optimisme luar biasa bagi penggagas mobil Esemka maupun pemangku kepentingan yang hadir langsung, mengikutinya melalui siaran radio kebanggaan warga Soloraya tersebut, maupun memantaunya melalui aneka jejaring media sosial.
Di sana muncul semacam perasaan tidak sabar. Muncul harapan besar agar produk yang menjadi dambaan masyarakat itu seyogianya segera memperoleh perizinan dari pihak yang berwenang—dalam hal ini pemerintah—baik yang berupa kelayakan jalan hingga izin produksi.
Bila perlu, mengingat dukungan masyarakat begitu kuat dan momentumnya dianggap cukup tepat, pemerintah hendaknya segera memberikan status sebagai mobil nasional (Mobnas). Dengan demikian, masyarakat yang sudah mendambakan mobil idaman tersebut dapat segera memiliki dan menikmatinya.
Mobil Esemka memang berhasil membelalakkan mata bangsa ini, tentu saja setelah diangkat secara luas oleh media massa, karena berhasil menghadirkan dua hal esensial yang telah lama menjadi kerinduan bangsa Indonesia. Pertama, rindu akan kemampuan membuat produk kebanggaan nasional di tengah ketergantungan terhadap produk luar negeri.
Dengan prestasi pencapaian pasar otomotif dalam negeri yang sudah mendekati angka satu juta unit, bangsa Indonesia seolah-olah hanya menjadi penonton. Semua produk otomotif itu benar-benar diproduksi dan dikendalikan oleh asing, mengingat setelah krisis 1998 mayoritas saham hampir seluruh pabrikan mobil dikuasai langsung oleh prinsipal.
Kedua, rindu akan keteladanan pemimpin yang benar-benar peduli terhadap karya anak bangsa. Walikota Solo Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi sebagai tokoh kharismatik Solo yang namanya kian mencuat di panggung politik nasional tak segan-segan memberi contoh langsung dengan membeli produk buatan ”anak-anak” itu dan menjadikannya kendaraan dinas. Ini adalah ”sesuatu”.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pembangkit Emosi
Lihat saja mobil para pemimpin negeri ini. Semuanya kelas mewah dan tidak sedikit yang diimpor secara utuh (built-up). Bahkan, mereka yang ”cuma” wakil rakyat di parlemen berlomba-lomba menggunakan mobil supermewah. Sejumlah pemimpin negara ini sering tidak merasa malu menggunakan konvoi mobil mewah–yang tentu saja dibeli dengan uang rakyat—dan pada saat macet berat memaksa mobil lain untuk menepi agar mereka dapat leluasa melaju.
Rasanya dua kondisi tersebut yang menjadikan kehadiran Esemka sebagai pembangkit emosi dan buluh perindu akan eksistensi bangsa ini di bidang permobilan. Suatu hal yang amat kontras dengan yang terjadi di sejumlah negara yang benar-benar menunjukkan contoh nyata betapa untuk urusan mobil ini nyaris tidak pemimpin.
Di India, misalnya, mobil nasional yang juga digunakan sebagai kendaraan resmi para menteri adalah mobil jadul dengan desain Morris Oxford III buatan 1956, yakni Ambassador buatan Hindustan Motor. Kabarnya, untuk kendaraan sehari-hari, presiden dan perdana menteri menggunakan mobil sejenis. Masyarakat India yang memang terkenal sederhana membanggakan dan mencintai Amassador, yang hingga hari ini masih diproduksi dengan beberapa modifikasi, dan dijuluki sebagai ”raja jalanan India” atau dikenal juga sebagai mobil rakyat.
Pemimpin China juga boleh dianggap sebagai pelopor penggunaan mobil produk nasional mereka. Presiden Hu Jintao, misalnya, dikabarkan lebih suka dengan mobil Hongqi. Para menterinya pun tak terkecuali. Hal serupa juga terjadi dengan Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Kedua bangsa tersebut begitu fanatik dengan produk mobil domestik mereka, sehingga rakyatnya pun mengikuti.
Di Iran, sudah sangat jelas bagaimana sikap Presiden Ahmadinejad, yang begitu besar semangat nasionalisme dan kebersahajaannya itu. Malah, yang unik di Iran, hampir mirip dengan India, mobil nasional yang dapat dibeli dengan harga relatif terjangkau oleh mayoritas warga Negeri Mullah itu adalah sedan bermerek Paykan buatan Iran Khodro Company (IKCO) yang mengambil desain sedan Hillman Hunter 1966 dan masih diproduksi hingga pertengahan dekade lalu.
Kini, mobil nasional Iran adalah Samand dengan basis desain Peugeot 405 yang diproduksi dalam skala massal oleh IKCO, perusahaan dengan kapasitas produksi sekitar 850.000 unit per tahun (hampir setara dengan volume pasar mobil di Indonesia 2011, yang merupakan gabungan produksi belasan produsen dari berbagai brand).
Akan halnya Indonesia, sebagai salah satu bangsa besar dunia, terkesan masih mencari-cari kebanggaan nasional itu. Toyota Kijang sempat ditabalkan sebagai produk otomotif kebanggaan nasional, namun tampaknya banyak yang belum rela karena masih mengandung embel-embel Toyota dan begitu produk tersebut diekspor, hilang sudah identitas keindonesiaannya karena brand Kijang langsung ditanggalkan.
Berbagai proyek mobil nasional sempat datang dan pergi, semuanya kandas akibat minimnya keberpihakan terhadap aneka produk tersebut. Sebut saja proyek MR90 dari Indomobil, program Mobnas Timor yang menyeret pemerintah ke ”pengadilan” WTO dan kemudian kalah, proyek mobil Bimantara, proyek Maleo, dan sejumlah brand yang layu sebelum berkembang.
Kenapa keberpihakan itu perlu? Karena dengan demikian terjadi pengarusutamaan produk tersebut, termasuk di antaranya perlakuan fiskalnya, akseptabilitasnya, hingga pengenalan brand ketika produk tersebut dipasarkan ke luar negeri. Sebagai produk berlabel nasional, seperti halnya jenis industri unggulan yang berlaku di sejumlah negara, ia berhak atas, misalnya, pembebasan sejumlah pungutan dan/atau pajak, fasilitas riset untuk pengembangan produk, hingga kemudahan dalam hal pendanaan.
Jujur harus dikatakan bahwa selain sejumlah negara di Eropa (Jerman, Prancis, dan Italia) serta AS, semua negara yang kini menjadi produsen mobil boleh dikatakan hanya sebagai pengembang produk, bukan pemilik teknologi asli kendaraan bermotor itu. Jepang, Korea, China, Australia, dan banyak lagi hanyalah mengembangkan lebih lanjut produk otomotif dan kemudian mampu merumuskan produk yang akhirnya tidak sekadar menjadi mobil nasional, melainkan sebagai mobil internasional.
Boleh dikatakan hampir semua negara tersebut memulainya dengan mencontek produk yang sudah ada, mempretelinya sebagi part yang kemudian di-copy dan diproduksi ulang, lalu dirakitlah, dan tralala… lahirlah produk mobil jenis baru yang mungkin sama persis dengan master product-nya atau bisa juga berbeda jika sontekannya merupakan hasil peramuan dari berbagai produk.

Ekspedisi Mudik 2024

Mobil nasional
Kembali kepada mobil Esemka. Sebagai produk yang diklaim kandungan lokalnya sudah mencapai 80%, sebenarnya masih memerlukan jalan yang sangat panjang dan berliku untuk dapat meraih status mobil nasional. Kalau untuk sekadar merakit beberapa ratus unit, mungkin masih dapat dilakukan di fasilitas produksi seadanya, seperti pada bengkel cat oven dan body repair Kiat Motor milik Pak Sukiyat di mana mobil Esemka dihasilkan, yang tentunya tidak mudah untuk menghasikan produk dengan standar maupun keakurasian tinggi.
Tanpa bermaksud menakut-nakuti atau bahkan mengendorkan semangat untuk berswasembada di bidang otomotif nasional, apabila Esemka akan dijadikan sebagai mobnas dan diproduksi secara massal, tentu dibutuhkan dukungan berskala industri, yang tentu saja tidak terlepas dari kebutuhan akan modal dan teknologi.
Modal bernilai ratusan miliar rupiah atau bahkan triliunan rupiah diperlukan untuk membangun fasilitas produksi/perakitan, jaringan pemasaran, serta layanan purnajual (pusat perawatan maupun penyediaan suku cadang).
Tidak mungkin memenuhi pesanan ribuan unit mobil dalam waktu relatif singkat jika pengerjaannya tetap dengan cara manual. Perusahaan karoseri yang menerima pesanan dalam jumlah relatif terbatas pun akhirnya harus berinvestasi dalam nilai tidak kecil agar mampu berproduksi sesuai perkembangan pasar yang mereka hadapi.
Dalam diskusi kemarin, terungkap pesanan masyarakat terhadap mobil Esemka hingga hari itu mencapai sedikitnya 3.000 unit. Padahal, untuk membuat satu unit mobil, diakui sendiri oleh Sukiyat, memerlukan jangka waktu tiga bulan. Dengan metode yang sama, untuk menyelesaikan pesanan 3.000 unit mobil akan dibutuhkan waktu ribuan bulan dan tentu saja hal itu tidak mungkin.
Belajar dari kasus mobil Tata Nano India, mungkin akan memperoleh gambaran yang lebih nyata. Ketika digulirkan pertama kali pada 2008, Tata Nano yang dilepas ke pasar domestik India dengan harga jual tak lebih dari 100.000 rupee–sekitar Rp 25 juta per unit–dan diklaim sebagai mobil termurah di dunia sontak menjadi buah bibir di kalangan masyarakat setempat. Pesanan pun mengalir deras hingga 300.000 unit.
Namun, seperti diakui oleh Ratan Tata, Chairman Tata Motor, pekan lalu, karena persiapan maupun proses produksi yang ternyata tidak mudah menjadikan konsumen mobil dengan konfigurasi yang sangat mendasar itu tidak sabar dan dua pertiga pesanan pun dibatalkan.
Sedangkan penguasaan teknologi diperlukan untuk menjaga serta meningkatkan kualitas produk dari waktu ke waktu, kecuali pasar dapat menerima produk yang relatif stagnan seperti halnya mobil Ambassador dan Paykan tersebut. Konsumen Indonesia selama ini sudah dimanjakan dengan produk yang senantiasa di-upgrade dari waktu ke waktu. Tentu akan sulit menerima sesuatu yang nyaris sama dalam beberapa dekade.
Kondisi di atas mungkin dapat diatasi dengan membentuk konsorsium nasional yang melibatkan perusahaan karoseri, produsen dan pemasok suku cadang, dan jaringan bengkel independen serta sejumlah SMK yang sudah memiliki keahlian riil di bidang perakitan produk otomotif. Hanya saja perlu diketahui bahwa saat ini di Indonesia terdapat sekitar 6.000 SMK yang memiliki jurusan otomotif dan dari jumlah tersebut tidak lebih dari 100 SMK yang memiliki kapabilitas seperti halnya SMK di Solo yang ”berhasil” membuat gebrakan merakit mobil Esemka tadi.
Di sisi konsumen, kepedulian terhadap mobil berharga relatif murah di Indonesia ternyata tidak terlalu menggembirakan. Dalam studi yang saya lakukan untuk pembuatan tesis bertema persepsi konsumen tentang mobil murah di Indonesia, terungkap responden menganggap harga jual mobil yang relatif terjangkau adalah dalam kisaran Rp50 juta-Rp80 juta.
Selain itu, masih dari persepsi konsumen tadi, hampir semua responden menekankan pentingnya kemudahan layanan purnajual yang dapat dijumpai di berbagai lokasi, termasuk ketersediaan suku cadang dan perawatan berkala. Tanpa kemudahan seperti itu, konsumen hanya akan memandang sebelah mata produk tersebut, meskipun dilepas dengan harga murah. Beberapa produk mobil dan sepeda motor pendatang baru telah membuktikan kegagalan brand mereka gara-gara faktor tersebut.
Optimisme untuk membangun produk mobil nasional tidak dapat hanya berdasarkan euforia atas ”keberhasilan” mobil Esemka ini, tapi tentunya harus disandarkan pada realitas tersebut. Seberapa siap pengoordinasian permodalan maupun teknologi untuk menunjangnya.
Dengan memahami fenomena tersebut, kita tentu akan mampu berpikir dan bertindak lebih realistis dalam mengembangkan aneka macam mobil ”perjuangan” semisal Esemka, Tawon, Marlip, Gea, dan sejenisnya termasuk Tata Nano yang konon sudah berancang-ancang merakit produk mobil termurah dunia itu di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya