SOLOPOS.COM - Warung milik pedagang kaki lima (PKL) sebagian kecil masih beroperasi di lokasi darurat, tempat parkiran bus pariwisata, Senin (1/10/2012). PKL mengeluhkan debu yang beterbangan saat angin berembus kencang. (Espos/Muhammad Khamdi)


Warung milik pedagang kaki lima (PKL) sebagian kecil masih beroperasi di lokasi darurat, tempat parkiran bus pariwisata, Senin (1/10/2012). PKL mengeluhkan debu yang beterbangan saat angin berembus kencang. (Espos/Muhammad Khamdi)

SOLO—Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) Beteng Utara dan pedagang kuliner Gladak Langen Bogan (Galabo) mengeluhkan turunnya omzet yang mencapai 75 persen. Penurunan omzet disebabkan lokasi darurat kurang nyaman untuk berjualan, salah satunya banyak debu beterbangan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Gimana mau ramai kalau lokasinya seperti ini Mas,” papar Diah Ayu Ningsih, 37, saat berbincang dengan Solopos.com, di warungnya, Senin (1/10/2012).

Diah menuturkan, sebagian besar PKL Beteng Utara memilih tidak berjualan di lokasi darurat. Sebab, faktor kenyamanan lokasi berjualan menjadi dasar kuat bagi pedagang untuk meliburkan diri. “Semenjak pindah di sini, mayoritas pedagang mengeluhkan omzet dagangan yang menurun drastis. Bahkan penurunan sampai 75 persen. Ya daripada rugi, pedagang yang tak punya pelanggan tetap pasti libur,” cerita Diah.

Kendati omzet sejak satu pekan lalu turun, Diah tetap bertahan berjualan. Sebab, mata pencaharian Diah satu-satunya adalah berjualan aneka makanan dan minuman. Selain itu, Diah masih beruntung karena mempunyai pelanggan tetap yakni karyawan Beteng Trade Center (BTC) dan Pusat Grosir Solo (PGS). “Kalau saya ikut-ikutan tutup, terus mau makan apa anak saya di rumah? Dapat uang Rp50.000 per hari saja sudah beruntung,” keluh Diah.

Kini hari-hari Diah selama berjualan di lokasi darurat hanya menunggu dan mengandalkan pembeli dari penumpang bus pariwisata yang mampir ke PGS dan BTC. Jika tidak ada pembeli, Diah hanya bisa bercengkerama dengan pedagang lain yang bernasib sama. “Mau dibilang stres ya stres. Mau dibilang tidak stres tapi kondisinya seperti ini. Yang penting sabar saja,” kata Diah berkeluh kesah.

Sama halnya dengan Diah, Titik, 36. Pedagang makanan, juga mengharapkan proyek pembangunan lokasi baru dapat selesai. “Seperti inilah kondisi sehari-hari. Untung saya mempunyai pelanggan yang masih setia makan di warung saya,” ulas Titik saat ditemui Solopos.com.

Titik mengaku tidak tahu sampai kapan PKL Beteng Utara berjualan dan menempati lokasi darurat. Dia hanya mengira proses pembangunan lokasi baru akan memakan waktu lebih dari empat bulan. “Hla wong pekerjanya saja tidak pernah lembur, mana mungkin cepat selesai,” terang Titik.

Wakil Ketua Paguyuban PKL Beteng Utara, Siska, menuturkan PKL yang bertahan berjualan di lokasi darurat sekitar 10 orang dari total 70 pedagang. “Pedagang menyebar ke lokasi yang dianggap ramai. Ada yang pilih berjualan di lokasi parkir tengah. Ada pula yang pilih tutup. Istri saya juga tak jualan karena tak kuat dengan debu yang beterbangan tiap ada angin kencang,” ujar Siska.

Ketua Paguyuban Galabo, Agung Wahyu, mengakui penurunan omzet dialami merata semua pedagang. “Karena kondisi masih seperti ini ya mau bagaimana lagi. Pendapatan turun 50-75 persen,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya