SOLOPOS.COM - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbincang dengan PKL yang ditempatkan di Jl. Jati Baru Raya, Tanah Abang, Jakarta, Jumat (22/12/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Galih Pradipta)

Ombudsman menemukan 4 maladministrasi yang dalam kebijakan Anies Baswedan soal penataan kawasan Tanah Abang.

Solopos.com, JAKARTA — Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menemukan empat tindakan maladmistrasi atas kebijakan Pemprov DKI terkait penataan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Promosi Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kantor Perwakilan Ombusdman Jakarta Raya Dominikus Dalu mengatakan laporan hasil pemeriksaan (LHP) tersebut dikeluarkan berdasarkan laporan masyarakat, yaitu Koperasi Pedagang Pasar (Koppas) Kebon Jati Pasar Blok G Tanah Abang.

“Kami menemukan ada empat tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Tanah Abang, yaitu tidak kompeten, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, dan perbuatan melawan hukum,” katanya dalam konferensi pers di kantor Ombudsman DKI, Senin (26/3/2018).

Selain Dalu, hadir pula Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Andri Yansyah, Kepala Sub Direktorat Pemda DKI, Aceh, dan DI Yogyakarta Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sartono, dan Inspektur Pengawasan Daerah Polda Metro Jaya (Irwasda) Kombes Pol Kamarul Zaman.

Pertama, Dalu menuturkan tindakan tidak kompeten dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama Dinas UMKM dan Perdagangan dalam mengantisipasi dampak penataan PKL di Jl Jati Baru Raya. Pasalnya, penataan PKL tidak sesuai dengan Pergub DKI No 266/2016 dan tidak ada perencanaan yang matang lantaran pemerintah belum memiliki Rencana Induk Penataan PKL.

Kedua, penyimpangan prosedur. Kebijakan Gubernur DKI dalam melakukan penutupan Jl Jati Baru Raya juga dinilai telah menyimpang dari prosedur. Anies dan Dinas Perhubungan dan Transportasi mengeksekusi tanpa mendapat izin dari Ditlantas Polda Metro Jaya.

“Sesuai Pasal 128 ayat 3 UU No 22/2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalin harus dengan seizin Polri,” ucapnya.

Ketiga, pengabaian kewajiban hukum. Dominikus melanjutkan kebijakan Anies berupa diskresi dalam penutupan Jl Jatibaru Raya tidak sesuai dengan ketentuan penggunaan diskresi dalam UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Bukan itu saja, Pemprov DKI juga mengabaikan Perda No 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI 2030 dan Peraturan Daerah No 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Pengaturan Zonasi DKI 2030. “Menurut Ombudsman ini merupakan maladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum,” katanya.

Keempat, perbuatan melawan hukum. Tim Ombudsman juga menemukan alih fungsi Jl Jatibaru Raya telah melanggar ketentuan. Peraturan yang dilanggar yaitu UU No 38/2004 tentang jalan, UU No 22/2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan, Perda No 34/2006 tentang Jalan, dan Perda DKI Jakarta No 8/2007 tentang ketertiban umum.

“Selain alih fungsi jalan, Pemprov DKI juga menyampingkan hak pejalan kaki dalam menggunakan fasilitas trotoar. Ini melanggar Perda DKI No 5/2004 tentang Transportasi,” ujar Dominikus.

Dia melanjutkan Ombudsman memberikan waktu selama 30 hari kerja sejak laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) disampaikan kepada Pemprov DKI. “Kami minta Pemprov DKI menyampaikan perkembangan pelaksanaan empat poin temuan. Setelah diproses, Ombudsman meminta supaya fungsi jalan Jatibaru dikembalikan atau dibuka untuk kendaraan selambat-lambatnya 60 hari ke depan,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya