SOLOPOS.COM - Oesman Arif.

Oesman Arif

Pria ini bernama Oesman Arief. Meski keturunan Tionghoa, ia menjiwai betul budaya Jawa. Gelar kesarjanaannya ia raih berkat ketekunannya mendalami filsafat kebudayaan Jawa. Bahkan, di usianya yang senja itu, Oesman tetap setia berguru pada filsafat kebudayaan Jawa yang ia akui telah mengajarinya tentang kesejatian hidup.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Budaya Jawa itu hampir sama dengan budaya China. Sama-sama mengajarkan kedamaian, tepa selira, hidup bersahaja dan menjauhi sifat tamak dan rakus,” kata Oesman saat berbincang dengan Espos di kediamannya di Jebres, Solo, Kamis (31/1/2013).

Oesman atau Liem Liang Gie ini adalah satu di antara segelintir warga Tionghoa yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Di tengah kesederhanaan hidupnya, ia tetap tekun dan konsisten pada jalan keilmuan hingga menamatkan S3. Oesman mengajar mahasiswa penuh antusias dan demokratis di sejumlah perguruan tinggi. Cara mengajarnya yang egaliter dan tak mengenal kasta, membuatnya selalu dekat dengan mahasiswa. Bahkan, ketika usianya kini beranjak 71 tahun, warga Ngoresan, Jebres, Solo ini tetap enggan meninggalkan dunianya itu.

“Kalau saya ketemu di kampus, dia biasa saya ajak ngobrol di tangga atau di emperan kampus. Dan tetap gaul meski sudah sepuh” ujar Priyanto, salah satu mahasiswa UNS Solo.

Minat Oesman yang tinggi pada keilmuan sebenarnya terlihat sejak ia remaja. Saat itu, hobinya bermain di tempat peribadatan Konghucu di Jagalan, Jebres. Di sanalah, lelaki dengan empat anak ini mulai tertarik pada ilmu tusuk jarum. Minat keilmuannya lantas melebar pada ajaran Konghucu, filsafat China, dan filsafat Jawa. Ia pun mengambil studi filsafat Jawa, filsafat China, dan sejarah. Ia bahkan tak segan untuk berguru langsung tentang laku hidup Jawa kepada putra Paku Buwono (PB) X kala itu. “Anda tahu sendiri kan, saat Orde Baru, [penganut] Konghucu tak boleh melakukan aktivitas di luar tempat ibadah. Bahkan, banyak teman-teman kami yang sesama China berusaha menenggelamkan Konghucu  agar tak menjadi agama,” katanya.

Pendirian Oesman yang kala itu sudah teguh menyelami samudra kearifan agama dan budaya rupanya tak tergoyahkan. Di tengah ingar-bingar modernitas, Oesman tetap setia meniti jalan hidupnya yang sunyi itu. Ia seolah melihat ada kerlip cahaya yang selalu memberinya jalan terang hidupnya. Cahaya itu ialah ajaran Konghucu.

“Dan ketika Gus Dur menjadi presiden, ajaran Konghucu akhirnya resmi menjadi agama. Saya bersyukur,” ujarnya.

Selain sebagai pendeta agama Konghucu, Oesman juga seorang filsuf. Cara berpikir filsuf rupanya mengajarinya untuk tetap membaca yang substansi sebagai sesuatu yang inti. Cara berpikir filsuf juga membuatnya tak mudah berpikir pendek dan gemar mengotak-ngotakkan manusia dalam ruang yang sempit. “Kita bisa melihat, bagaimana manusia Indonesia sekarang dikotak-kotakkan oleh sekat agama dalam KTP. Itu kan gaya Orde Baru untuk memecah keutuhan manusia,” jelasnya.

Kini, pada pengujung usianya itu, Oesman tetap tinggal di tengah-tengah warga yang memiliki latar belakang yang sangat beragam. Di sana, ia merasa tetap sebagai orang Jawa meski ia keturunan Tionghoa. Meski pendeta, ia tetap merasa memiliki agama yang sama dengan warga lainnya, yakni agama yang sama-sama mengajarkan kebaikan dan menjunjung tinggi kemanusiaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya