SOLOPOS.COM - Warga memancing di Segaran Taman Sriwedari beberapa waktu lalu (foto: dokumen Solopos)

Esai ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (22/3/2018). Esai ini karya Heri Priyatmoko, dosen di Program Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Solopos.com SOLO–Pada Minggu (18/3) diselenggarakan diskusi publik Ontran-ontran Sriwedari di Rumah Budaya Kratonan, Solo. Sarasehan ini meninggalkan pesan penting untuk dikabarkan kepada Pemerintah Kota Solo dan khalayak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hasil diskusi menegaskan bahwa ide pembagunan masjid raya ini laksana pedang bermata dua. Ide ini bakal menciderai banyak pihak. Masyarakat luas, umat Islam, pedagang, keluarga Wiryodiningrat, dan komunitas kesenian yang lahir dari perut Kebon Raja terluka.

Memori sejarah keemasan Kebon Raja disingkirkan . Sejarah yang faktual digeser menjadi dongeng belaka oleh Pemerintah Kota Solo dengan rencana mengacak-acak ruang publik yang dibuka Paku Buwono X dengan sengkalan Luwih Katon Esthining Wong ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Taman kota tersebut laksana surga bagi wong cilik dan pribumi kaya, bahkan aktivis pergerakan dan kelompok lintas bangsa juga turut menikmati berkat jaringan trem.  Kebon Raja Sriwedari tidak bisa dipisahkan dalam rute pariwisata nasional yang dibangun pemerintah kolonial dan pembesar kerajaan tradisional.

Menjelang permulaan abad XX, pengusaha usul membangun jalur sepur atau trem dalam kota. Ide terealisasi berupa jaringan trem Kota Solo, Solo–Boyolali terkoneksi hingga Solo–Wonogiri–Kakap. Semula jurusan Solo–Boyolali dan trem dalam kota dibuka oleh Solosche Tramweg Maatschapij (STM) sebelum dilego kepada Nederlands(ch)-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).

Kereta ini ditarik empat ekor kuda dan setiap empat kilomer kudaa diganti. Setiap gerbong menampung 20 orang penumpang. Kereta mulai berjalan di halte depan Benteng Vastenburg. Jalurnya ke selatan belok ke barat sampai di Purwosari.

Kereta ini berhenti sekali di Kampung Kauman, Kampung Derpoyudan (sebelah barat Nonongan), lalu melaju hingga halte Pasar Pon. Selanjutnya kereta berhenti lagi di depan Sriwedari yang merupakan taman hiburan bagi khalayak ramai. Kereta berjalan lagi sampai belok ke utara menyeberang jalan raya dan berhenti di Stasiun Purwosari.

Selanjutnya adalah: Halte Sriwedari menjadi primadona…

Primadona

Halte Sriwedari menjadi primadona. Penumpang turun guna melnikmati pertunjukan wayang orang, bioskop, bersantap di restoran, vergadering (pertemuan politik), dan berolahraga. Kebudayaan tradisional dan modern tidak  sikut-sikutan lantaran masih dalam spirit hiburan yang penuh kebebasan, bukan religi yang mensyaratkan keheningan.

Karena dinilai bagus dan pengelola merasa kewalahan memenuhi permintaan warga, kuda penarik kereta diganti mesin diesel. Redaksi Darmo Kondo menerbitkan artikel bertajuk Stoom Tram (Trem Uap) Dibuka. Tanggal 1 Mei 1908 stoomtram mulai dibuka.

Trem ditarik kuda sudah tidak terlihat lagi. Di depan kantor bank, sedari pagi dipenuhi banyak orang dari bangsa Jawa, Tionghoa, Belanda dan lainnya. Di dalam kereta stoom trem, penumpang laki-laki dan perempuan berdesakan sepanjang perjalanan dari Solo ke Boyolali dan sebaliknya.

Hari itu mereka yang mau mencoba menumpang trem tidak perlu merogoh kocek. Warga sangat gembira. Adat wong Solo, jangankan berlibur gratis, harus membayar sekalipun jika itu barang model terbaru pasti bakal tetap dicoba. Mmaklum bila gerbong stoom trem berjejal penumpang.

“Kita berdoa, mudah-mudahan hari ini dan seterusnya dipenuhi penumpang agar mij (perusahaan) tidak mengalami kerugian. Stoom tram berfaedah besar untuk orang di dalam dan luar kota,” tulis sang jurnalis. Berita itu menyurat  fakta penting selain pembukaan trem uap, yakni perihal “adat” (kebiasaan) orang Solo yang doyan berlibur alias pelesiran.

Budaya berlibur yang melekat pada masyarakat Solo tentu menjadi unsur penting yang melambari pesatnya kegiatan pariwisata di kota ini, khususnya Taman Sriwedari yang dilengkapi kebun binatang pertama di Jawa dan segaran (taman sari wong cilik).

Artinya, faktor internal wong Solo sendiri menyebabkan berkembangnya fasilitas perkotaan mengarah pada kepentingan pariwisata skala nasional dan internasional. Modal dasar inilah yang melandasi kukuhnya dunia kepariwisataan di Solo dan membawa nama harum Kebon Raja sebab bisa diakses wisatawan.

Selanjutnya adalah: Tak perlu risau perihal jadwal kereta…

Jadwal

Turis atau pelancong yang hendak mampir ke Kebon Raja tak perlu risau perihal jadwal kereta. Pariwara di De Nieuwe Vorstenlanden 2 Januari 1899 memuat jadwal keberangkatan serta kedatangan trem. Dilukiskan seorang pelancong dari Madiun tiba di Stasiun Jebres pukul 09.41 WIB berharap menyambangi Jogja pada hari yang sama bisa mengambil jalur sepur dari Jebres pukul 09.45 WIB dan sampai Purwosari jam 10.20 WIB.

Kalau minat neruske lampah menuju Madiun bisa memakai kereta api pukul 11.27 WIB. Saking pentingnya perkara waktu dalam jagadtperkeretaapian bagi publik, jurnalis Darmo Kondo menulis para tuan pembaca yang pernah naik kereta paham bahwa dulu antara jam kota dengan jam kereta tidak berbeda jauh.

Jam kota terpaut 15 menit atau lebih sebab jam yang ada di kereta mengikuti waktu di Betawi. Mulai 1 Mei 1908, waktu Betawi tidak terpakai lagi digantikan waktu Jawa Tengah. Jam di kereta harus dimajukan 12 menit, barulah semuanya tepat. Publik senang melihat kesepakatan jam kereta meski ada selisih waktu tiag menit hingga lima menit tapi tidak soal.

Bagi pelancong yang bertandang ke Kebon Raja dan menginap di Solo dimanjakan oleh pengelola hotel. Mantan kepala onderdistrik Sragen, Tiknopranoto, meriwayatkan: Wektu samana wis ana sepur. Dene dununge stasiun ana ing: Purwosari, Balapan lan Jebres. Lakune trem kang lumebu Kutha Sala saka Purwosari menyang Jebres metu rel kanthi digered ing jaran teji 2 (loro) dikusiri. Ana maneh kreta duweka Hotel Slier… Iki mung kanggo methuk dhayoh menyang stasiun Balapan, sing arep nginep/mondhok ing Hotel Slier”.

Pengelolaan taman oleh pemerintah daerah rupanya bukan jaminan. Tahun 1980-an, kultur melestarikan publik space menjadi langka. Privatisasi dan penghancuran nilai sosiokultural menghebat. Pihak swasta jatuh cinta terhadap Kebon Raja sebagai ladang bisnis, bukan tuk ilmu pengetahuan dan seni.



Masyarakat memprotes kebijakan pemerintah yang “berselingkuh” dengan swasta dan gagal memahami taman dalam konteks kebudayaan. Protes itu menjadi bukti kuatnya tali batin wong Solo dengan Taman Sriwedari.

Resistensi ketidakpuasan berlangsung beberapa kali kendati letupan kecil. Pendirian Rumah Makan Boga di Taman Kapunjanggan yang diresmikan pada 30 Juli 1987 memang tak diprotes dengan unjuk rasa, tapi pendapat pro dan kontra mengikuti pembangunan rumah makan ini.

Selanjutnya adalah: Mencaplok tanah yang dipakai untuk upacara malam Selikuran…

Malam Selikuran

Restoran Boga mencaplok lahan yang dipakai untuk upacara malam Selikuran. Gara-gara digusur, ritual klasik tersebut terpaksa bermigrasi ke Joglo Sriwedari sejak 1987. Soedarmono dkk. (1999) menulis pembangunan Pusat Jajanan Serba Asri (Pujasari) dengan peletakan batu pertama tanggal 3 Juli 1989 memakan “korban”.

Sembilan keluarga yang semula menempati tanah itu diminta angkat kaki ke Kampung Jagalan. Pukulan bagi mereka karena kehilangan kesmepatan berniaga. Pada pertengahan 1989, masyarakat Solo kehilangan semacam tumpuan spiritual, yakni Gajah Kyai Anggoro dipindah ke Taman Satwa Jurug.

Bagi warga yang teguh memegang tradisi, gajah warisan Keraton Solo itu dianggap bertuah dan bisa menyembuhkan penyakit. Kala anak sedang sakit, banyak orang tua datang mengambil kotoran gajah, lalu dikompreskan pada dahi anak supaya cepat sembuh. Dengan tiadanya gajah di Taman Sriwedari, fakta mental warga turut terhapus.

Taman Kapujanggan mau digarap menjadi tempat rekreasi menarik. Di tengah pulau dibangun restoran internasional, bangunan lama berupa kupel dimanfaatkan untuk permainan elektronik anak-anak, serta rehabilitasi segaran agar menawan untuk berwisata perahu.

Realitasnya, kupel yang dahulu dipakai acara malam Selikuran malah terbengkalai dan kumuh, demikian pula wajah segaran. Tahun 1992 taman dikaveling lagi untuk gedung Graha Wisata Niaga. Setelah itu muncul perdebatan seputar pergantian nama Stadion Sriwedari menjadi Stadion R.Maladi.

Bbarisan pemerhati sejarah dan budayawan geram karena nama Sriwedari jauh populer dibanding R. Maladi. Belakangan Pemerintah Kota justru membuat kemelut dengan ide pendirian masjid raya. Taman Sriwedari sejatinya bertemali dengan democracy (kerakyatan) dan value (nilai).

Democracy artinya ruang ini mestinya bisa dipakai khalayak dari ragam kelas sosial serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Value artinya taman memiliki tautan dengan manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Jadi, publik space selain sebagai tempat rekreasi juga mewadahi interaksi sosial warga. Dengan begitu, kapital sosial terpelihara dengan baik.

Taman Sriwedari berelasi pula dengan sejarah lingkungan dan manusia di sekitarnya. Di dalamnya terdapat mata rantai yang terus melingkari citra identitas Solo. Mewadahi pembauran warga kota tanpa dibebani sekat sosial atau perbedaan primordial lainnya. Bila Taman Sriwedari dibangun masjid agung yang menyimpang dari konsep tata ruang, sama saja mencederai kepentingan publik dan menghapus ingatan kolektif masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya