SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Hosana…hosana…hosana Putra Daud
Terberkatilah yang datang dalam nama Tuhan
Terpujilah yang Mahatinggi
Itulah pekik rakyat untuk Raja Kristus
Raja yang datang tidak dengan berkuda
Melainkan dengan keledai muda
Raja yang tampil bukan dalam kemegahan
Tapi dalam kerendahan hati dan kesederhanaan
Raja yang berperang tidak dengan pedang
Melainkan dengan kelembutan cinta
Raja yang tidak duduk di Istana
Tapi  keliling desa dan kota menyapa rakyatnya
Raja yang tidak memerintah
Melainkan melayani

    Bait pujian di atas, langsung mengingatkan saya akan seruan yang sebaliknya yang diteriakkan oleh para mahasiswa saat berdemonstrasi. Mereka kecewa pada pemimpinnya, maka alih-alih memuji justru mencacimaki.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

    Secara kreatif mereka menyampaikan pesan aksinya dengan mengubah syair lagu Garuda Pancasila serta menyanyikannya demikian, “Garuda Pancasila satulah pendukungmu, Pahlawan reformasi sedia berkorban untukmu, Pancasila dasarnya apa, Rakyat adil makmurnya kapan, Prihatin bangsaku, Kapan maju-maju, kapan maju-maju kapan maju maju.”

     Ini adalah sebuah kidung kekecewaan atas realita negri yang masih jauh dari cita-cita. Nyanyian hati yang sesungguhnya diimpikan oleh lagu Garuda Pancasila adalah mewujudkan, “Rakyat (yang) adil makmur sentosa”.

    Faktanya di negri yang kaya raya dan subur makmur ini masih banyak rakyat menderita oleh kemiskinan. Mereka bagai pepatah, “ayam yang mati di lumbung padi”. Karena itulah maka para mahasiswa memelintir syair yang semula bernada optimis “Ayo maju-maju” menjadi pertanyaan yang pesimistis “Kapan maju-maju, kapan maju?”

    Kesenjangan antara cita-cita dan realita, kesenjangan antara idiologi dan fakta itulah masalah serius yang mendera kita. Negri ini mengidentifikasikan diri sebagai negri “beragama” namun sayang, banyak kisah memalukan dan memilukan terukir dalam sejarah, kisah-kisah yang jauh dari apa yang dituntunkan agama.

    Demikian juga dalam hal ideologi. Pancasila telah merumuskan cita-cita yang begitu indah dan mulia, namun rumusan itupun seolah melayang tinggi di angkasa dan jauh dari  darat.

    Simak misalnya, sila kedua yang mengagungkan jati diri kita sebagai manusia “beradap”. Tetapi bukankah terlalu sering kebersamaan kita dicederai oleh “kebiadapan” Simak juga sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Benarkah demikian? Begitu kita buka mata kita akan menyaksikan ketidakadilan dimana-mana. Dalam realita, sila itu akan terbaca “Keadilan yang sial bagi rakyat Indonesia.” Barangkali, sangatlah relevan kalau sabda Yesus berikut ini dialamatkan untuk negri kita, “Bangsa ini memuliakan Allah dengan bibirnya tetapi hatinya jauh daripadaKu”

    Hari ini umat Kristiani merayakan Hari Raya Minggu Palma, suatu perayaan penyambutan Yesus Kristus sebagai Raja di Yerusalem. Sangatlah menarik bahwa justru pada saat Yesus dinobatkan sebagai raja, liturgi gereja menyuguhkan bacaan-bacaan dimana tokoh yang sedang di-raja-kan itu diam seribu bahasa.

    Menarik pula bahwa perayaan ini menjadi pembuka Trihari Suci dimana kita dihantar masuk dalam misteri duka-sengsara Tuhan untuk merenungkanYesus yang tertatih dan berdarah-darah menapaki setiap jengkal tanah Golgota, hingga wafatNya.

    Apakah makna semuanya itu?  Kristus Raja adalah raja yang diam dan menderita. Ini mengajarkan bahwa kualitas pemimpin tidak terletak pada kefasihannya berbicara,  atau pada kelihaiannya mengobral janji.

    Pemimpin sejati akan ditakar dari kepekaannya mendengarkan jeritan rakyat. Pemimpin sejati tidak akan menebar janji yang ia sendiri tidak sanggup penuhi.

    Yesus Sang Raja  adalah raja yang terluka dan menderita. Itulah konsekuensi dari kepemimpinan yang benar. PenderitaanNya adalah bukti dari pengabdian dan pemenuhan akan apa yang Ia janjikan. PenderitaanNya adalah bukti dari setiap kata yang Ia ajarkan. Ia mengajar tentang cinta. Dan di Golgota itulah Ia memproklamasikan apa artinya cinta, yaitu korban. Yesus pernah bersabda: “Tak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang mengorbankan nyawa untuk sahabatnya.” Di Golgota itulah Ia membuktikan kasihNya yang paling agung. Ia wafat untuk para sahabat, wafat untuk selamat segenap umat.

    Di tengah hingar bingar menyongsong pesta demokrasi yang tinggal dalam hitungan jari ini, kiranya tepat kalau kita bermenung tentang sosok pemimpin dengan berkaca pada Raja Kristus. Bukankah hari-hari ini kita dibisingkan dengan aktivitas kampanye? Di sana para calon pemimpin kita mengobral banyak kata. Mereka berorasi dan menebar janji. Apakah janji-janji itu sungguh merupakan visi atau sekedar ilusi untuk  menarik simpati?

    Jangan-jangan sebuah poster yang dipasang Jemek Supardi dalam pementasan pantomimnya di Yogyakarta belum lama ini, merupakan kampanye yang lebih jujur. Di sana tertulis, “Jangan pilih saya kalau tak ingin hidup Anda sengsara”.Tentu kita menaruh hormat dan sekaligus harap bahwa apa yang dijanjikan oleh para calon legislatif kita memang suatu visi yang akan diperjuangkan. Kita berharap bahwa janjinya adalah sebuah hutang untuk dilunasi dan bukan sekedar iklan untuk memuluskan jalan kekuasaan.

    Semoga pemimpin Indonesia ke depan adalah pemimpin yang cerdas mendengarkan rakyat. Semoga pemimpin Indonesia ke depan adalah orang yang bersedia melayani dan bukan menuntut pelayanan. Semoga pemimpin kita adalah orang yang siap menjadi hamba untuk semua dan rela menderita bagi rakyatnya.

    Dan di era dimana semua sibuk bicara, semoga pemimpin Indonesia ke dapan adalah pemimpin yang tekun bekerja. “Mari Terus Berkarya” ajak Iwan Fals dalam salah satu albumnya, untuk melawan arus mentalitas NATO: No Action Talk Only yang merebak di negri ini. Akhirnya, selamat bekerja untuk semua dan jangan cuma bicara!

Oleh Rm. Yan Priyanto, SJ
Rohaniwan dan Pendidik di SMA Kolese De Britto Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya