SOLOPOS.COM - Rochmad Basuki, anggota Bawaslu Sukoharjo. (Istimewa)

Tahun 2024 merupakan tahun yang penting karena agenda politik nasional akan digelar pada tahun tersebut dengan puncak pesta demokrasi yaitu pemilihan umum serentak dan pemilihan kepala daerah serentak yang juga dilaksanakan di tahun yang sama meski berbeda bulan pelaksanaan.

Seluruh lapisan masyarakat dipastikan akan terlibat dan terkena dampak dari pesta demokrasi yang berlangsung, tak terkecuali aparatur sipil negara (ASN). Potensi pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 diperkirakan akan meningkat bahkan sangat tinggi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pasalnya, terdapat 721 daerah yang akan habis masa jabatan pada 2022-2023. Ini menjadi titik rawan mobilisasi ASN. Belum lagi, berkaca pada jumlah pelanggaran netralitas ASN di pilkada serentak 2020 lalu, terdapat 917 kasus.

Bawaslu sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pencegahan, pengawasan dan penindakan pada perhelatan pemilu dan pilkada mendatang wajib untuk mulai melakukan pendeteksian titik rawan terjadinya potensi pelanggaran yang kemungkinan terjadi seperti aksi politik uang hingga pada pelanggaran hukum lainnya seperti netralitas ASN yang terkadang banyak dilakukan dengan cara senyap.

Pengawasan netralitas aparatur sipil negara pada pemilu dan pilkada 2024 diperkirakan lebih kompleks dibandingkan dengan gelaran pemilihan sebelumnya. Itikad baik dan komitmen partai politik memastikan kontestan tidak memolitisasi birokrasi menentukan penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang adil.

Survei Nasional Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pilkada Serentak 2020 yang dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukkan, 62,70 persen responden setuju bahwa kedudukan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) menyebabkan ASN sulit bersikap netral dalam pilkada.

Hanya 37,30 persen yang menyatakan tidak setuju. Padahal, mayoritas responden (93,35 persen) memiliki pemahaman yang baik setelah mengikuti sosialisasi netralitas ASN.

Secara individual, seorang ASN adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dalam kebebasan berserikat dan berkumpul, juga bahwa bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.

Namun di sisi lain, seorang ASN juga terikat dengan kode etik dan kode perilaku ASN. Hal ini menjadi kondisi yang dilematis bagi seorang ASN, di mana antara hak pribadi dan kewajiban untuk menjaga netralitas saling berseberangan. Sebab dengan jumlahnya yang sangat besar, jika mereka berpihak kepada salah satu kubu, pastilah pengaruhnya akan sangat signifikan.

Pengaturan terkait dengan netralitas ASN ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Tersendiri dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sekalipun diatur terkait dengan larangan-larangan ASN yang apabila dilanggar memiliki konsekuensi sanksi etik hingga pada pidana sebagaimana diatur dalam pasal 494.

Sesuai UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, 16 hal yang tidak boleh dilakukan ASN demi menjaga netralitasnya, yaitu kampanye atau sosialisasi melalui media sosial (posting, share, berkomentar, dll); menghadiri deklarasi calon; ikut sebagai panitia atau pelaksana kampanye; ikut kampanye dengan atribut PNS.

Kemudian ikut kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; menghadiri acara partai politik (parpol); menghadiri penyerahan dukungan parpol ke pasangan calon (paslon); mengadakan kegiatan mengarah keberpihakan (ajakan, imbauan, seruan, pemberian barang); memberikan dukungan ke calon legislatif/calon independen kepala daerah dengan memberikan KTP; mencalonkan diri dengan tanpa mengundurkan diri (sebagai ASN); membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan paslon; menjadi anggota atau pengurus parpol; mengerahkan PNS untuk ikut kampanye; pendekatan ke parpol terkait pencalonan dirinya atau orang lain.

Kemudian menjadi pembicara/narasumber dalam acara parpol; foto bersama paslon dengan mengikuti simbol tangan atau gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan.

Jika menelisik ke belakang, maka politisasi birokrasi sudah terjadi sejak Orde Baru ketika pemerintah mengooptasi birokrasi untuk kepentingan politik. Problem politisasi itu membuat ASN tidak nyaman bekerja sehingga sulit mewujudkan pelayanan publik yang profesional.

Politisasi birokrasi merupakan salah satu dari tiga masalah berulang setiap pemilu dan pilkada. Pada 2024, problem pengawasan terhadap netralitas ASN diperkirakan lebih kompleks dibandingkan dengan pemilu dan pilkada sebelumnya karena pelaksanaan pemilu dan pilkada berada di tahun yang sama.

Kompleksitas kompetisi bertemu dengan kerumitan teknis penyelenggara pemilu. Ini mengakibatkan tantangan pengawasan netralitas ASN semakin besar dan beragam.

Berdasarkan hasil survei, diketahui faktor dominan penyebab pelanggaran netralitas ASN adalah ikatan persaudaraan (50,76 persen) dan motif ASN untuk mendapatkan karier yang lebih baik (49,72 persen).

Posisi Kepala Daerah sebagai PPK

Selain itu, beberapa pihak yang paling memengaruhi ASN untuk melanggar netralitas, di antaranya tim sukses (32 persen), atasan ASN (28 persen), dan pasangan calon (24 persen). Ada 62,7 persen responden menyatakan kedudukan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menyebabkan ASN sulit bersikap netral.

Kepala daerah sebagai PPK dalam hal ini memiliki kewenangan dalam menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian, serta pembinaan manajemen ASN. Maka dari itu, pada hasil survei menemukan sebanyak 51,16 persen responden menginginkan hak politik ASN dicabut.

Dalam hal pengawasan, ASN seharusnya bukan hanya menjadi objek pengawasan tapi juga perlu menjadi subjek yang bisa berperan aktif memantau pelanggaran netralitas ASN. Koordinasi intensif antarinstansi dalam pengawasan netralitas ASN pada Pemilu 2024 perlu ditingkatkan.

Pencegahan menjadi kunci pengawasan saat ini untuk meminimalisasi pelanggaran netralitas ASN ke depan mengingat tahapan Pemilu 2024 sangat panjang.

Bawaslu tidak hanya berfungsi sebagai penegak hukum tetapi juga sebagai pengawas pemilu termasuk pengawasan terhadap netralitas ASN, TNI, maupun Polri. Atas dasar itu wewenang Bawaslu dalam hal menangani netralitas ASN tidak hanya dalam kontek penegakan hukum ansich (pro justitia) tetapi juga dalam kontek melakukan pengawasan atau dengan kata lain pintu masuk wewenang Bawaslu dalam menangani netralitas ASN dapat melalui fungsi pengawasan dan dapat pula melalui fungsi penegakan hukum.

Jika pelanggaran ASN tidak berkaitan dengan ketentuan undang-undang pemilu/pilkada maka Bawaslu dapat merekomendasikan pelanggaran peraturan perundangan lainnya.



Strategi yang dilakukan oleh Bawaslu untuk meminimalisasi pelanggaran netralitas ASN ada berbagai cara. Pertama, mengidentifikasi dan memetakan potensi pelanggaran netralitas ASN setiap tahapan: pendaftaran pemilih dan peserta pemilu, pencalonan, kampanye & pemungutan suara.

Kedua, melakukan sosialisasi kepada ASN melalui: kerja sama dengan instansi pemerintahan dan pemerintahan daerah, Korpri, media massa. Ketiga, koordinasi intensif dengan pimpinan lembaga untuk menjaga netralitas ASN. Keempat, mendorong partisipasi setiap ASN untuk menjaga netralitas ASN lainnya.n Kelima, melakukan kerja sama dengan Komisi Aparatur Sipil Negara terkait dengan penanganan pelanggaran netralitas ASN.

Akan tetapi harus disadari juga bahwa untuk dapat menjaga netralitas ASN, tidak hanya pengawasan dari Bawaslu melainkan semua masyarakat harus ikut serta mengawasi kenetralan ASN serta ASN sendiri juga harus paham dan mengetahui arti dari netralitas tersebut supaya tidak ada ambiguitas dalam netralitas ASN agar tidak menimbulkan pelanggaran.

ASN dituntut untuk tetap netral, bijak dalam menyikapi segala bentuk informasi/berita tertentu, bijak dalam menggunakan media sosial tetapi jangan lupa sebagai ASN dan warga negara Indonesia yang baik, gunakan hak pilih Anda dalam Pemilu dan Pilkada yang akan segera digelar tahun 2024.

Netralitas ASN merupakan hal yang penting untuk menjaga amanat undang-undang dan demi menjaga profesionalitas penyelenggara negara serta menjamin pelayanan publik yang adil bagi semuanya pihak. Untuk itu, ASN harus menghindari penyelahgunaan jabatan/wewenang untuk kepentingan pribadi, golongan tertentu hingga kepentingan bakal calon atau kandidat.

Kemudian menghindari konflik dan perpecahan, jangan sampai juga ketidak netralan ini menjadi menyebabkan konflik perpecahan di internal ASN, Pemda maupun di masyarakat. Kewenangan Bawaslu dalam hal netralitas ASN, yakni dalam hal pencegahan dan penindakan, sosialisasi merupakan bagian dari ikhtiar untuk melakukan upaya pencegahan, kemudian jika upaya pencegahan ini sudah dilakukan namun ada laporan dan temuan dugaan pelanggaran netralitas ASN, maka kewajiban Bawaslu adalah untuk penegakkan aturan main atau law enforcement.

Netralitas ASN adalah refleksi atas penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). ASN tidak dimanipulasi untuk kepentingan berbagai pihak, yang bisa berdampak pada kompetisi yang tidak seimbang yang akhirnya berdampak pada berkurangnya kepercayaan publik dan nilai dari pemilu dan pilkada itu sendiri.

Artikel ini ditulis oleh Rochmad Basuki, anggota Bawaslu Kabupaten Sukoharjo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya