SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagad Abjad, Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Bandung Mawardi, Pengelola Jagad Abjad, Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Pujangga kondang Ranggawarsita pernah menggubah Serat Jayengbaya (1826) sebagai refleksi atas pekerjaan dan makna manusia. Sang pujangga menuliskan tembang sejumlah 250 bait untuk menguak segala jenis pekerjaan dalam masyarakat Jawa, mengisahkan ambisi dan arogansi manusia, menghadirkan filosofi penggapaian berkah dalam hidup.
Manusia memiliki kemenduaan dalam melakoni kerja, ingin senang tapi enggan menanggung risiko. Jabatan, uang dan popularitas jadi impian tapi melupakan makna kesejatian hidup manusia dalam kerja.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Suguhan sastra itu bisa jadi acuan gambaran masyarakat abad XX di Jawa. Orang menggandrungi jenis-jenis pekerjaan mapan dan terhormat. Sekolah modern memberi bekal dan tiket orang mendapatkan pekerjaan sebagai pamong praja, guru, dokter atau juru tulis.

Dunia kerja abad XX menimbulkan diskriminasi antara kaum sekolahan (masyarakat halus dan terpelajar) dan pribumi (masyarakat petani dan pekerja kasar). Jenis pekerjaan menentukan nasib, kehormatan dan kemuliaan meski beraroma feodalisme-kolonialisme.

Dambaan jadi pegawai negeri merasuki alam pikiran dan imajinasi masyarakat bumiputera. Kerja mengabdi di jajaran birokrasi kolonial seolah puncak pencapaian hidup, penentu masa depan terang dan bermartabat. Pandangan dunia kolonial telah memusat dalam klaim-klaim pekerjaan untuk menghasilkan uang, prestise dan dominasi. Orang-orang dalam struktur kerja sebagai pegawai negeri identik dengan kemapanan, kemodernan dan kehormatan. Mereka menempati hierarki atas melampaui logika masyarakat tradisional.

Biografi
Ironi atas pemujaan pekerjaan sebagai pegawai negeri itu dialami oleh Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934). Dia adalah anak seorang pamong praja. Orangtuanya menghendaki Tjokroaminoto agar menduduki jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan kolonial.

Tjokroaminoto memang lulusan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren) di Magelang, sekolah menengah untuk mendidik kaum bumiputera menjadi pegawai-pamong praja. Ijazah mengantarkan Tjokroaminoto sebagai juru tulis di Ngawi selama tiga tahun.

Pekerjaan ini tak melegakan, menjauhkan diri dari makna (pergulatan) hidup. Tjokroaminoto memutuskan keluar dari dunia pegawai negeri. Sikap itu sempat menimbulkan bentrok dengan ayah mertua, seorang pejabat birokrasi lokal di Ponorogo. Tjokroaminoto diharapkan mencari nafkah sebagai pegawai negeri demi menghidupi istri dan anak.

Tekanan itu membuat Tjokroaminoto minggat dari rumah mertua, meninggalkan istri dan seorang bayi dalam kandungan. Tjokroaminoto menuduh dunia pegawai dan keningratan adalah kolot (Gonggong, 1985). Hidup mesti dijalani demi hasrat manusia mendefinisikan diri dalam kerja sesuai kompetensi tanpa dikte ala feodalisme dan kolonialisme.

Kisah ironis itu berbeda dengan jalan hidup Soetardjo Kartohadikoesoemo (1890-1976). Dia hidup dalam lingkungan keluarga pamong praja. Soetardjo menempuh studi di OSVIA Magelang (1907). Biografi Soetardjo pun identik dengan dunia pamong praja. Kerja ini dilakoni dengan dilema, mengabdi ke pemerintah kolonial dan misi memikirkan rakyat (pribumi). Sosok ini menapaki karier kepegawaian secara fenomenal.

Kehormatan diri memuncak dengan pengangkatannya sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Pembelaan terhadap nasib rakyat menggaung dalam “Petisi Soetardjo” (1936). Jajaran pemerintah kolonial gempar oleh protes-usulan demi perbaikan nasib rakyat di negeri terjajah. Atmosfer dunia pegawai negeri justru mendekatkan Soetardjo dengan realitas penderitaan rakyat di pelosok Jawa.

Narasi biografis para pegawai negeri di masa kolonial itu menjelaskan tentang lakon Hindia Belanda dalam pembedaan jenis pekerjaan, nalar uang, kemodernan dan kehormatan pribumi. Masyarakat perlahan menganut impian muluk, menjadi pegawai negeri adalah mengubah nasib.

Warisan impian itu masih merebak sampai sekarang. Sekolah dan kuliah dijadikan prosedur menjadi pegawai negeri, mendefinisikan diri sebagai manusia dengan klaim-klaim gaji dan uang pensiun. Nasib seolah terang asal jadi pegawai negeri. Impian ini kadang memicu suap dan nepotisme demi meloloskan orang agar mendapatkan julukan pegawai negeri.

Citra pegawai negeri di masyarakat memang disegani, dihormati dan dijadikan ikon kemapanan. Konon, sekian imaji pegawai negeri ini juga sempat jadi impian Soekarno. Kesaksian ini muncul dari Soetardjo. Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia dalam suatu acara konferensi pamong praja di Magelang (1947) pernah membuat pengakuan bahwa ia pernah mendamba untuk menduduki jabatan sebagai pamong praja (Setiadi Kartohadikusumo, 1990).

Surealisme
Nasib pegawai negeri semakin menemukan legitimasi di masa Orde Baru. Mereka adalah manusia terhormat, dekat pusat kekuasaan dan representasi nalar gaji di alam pembangunanisme. Peran sebagai pegawai negeri tak luput dari imperatif politik, propaganda pembangunan dan pembentuk imaji masyarakat sejahtera. Indonesia pun jadi negeri pegawai negeri.
Program-program transformasi Indonesia digerakkan oleh pegawai negeri meski rentan dengan stigma dan sangkaan kemalasan, pragmatis, oportunis. Citra pegawai negeri ada dalam tegangan nalar-kemapanan dan ironi-keprihatinan dalam aspek gaji, fasilitas dan hak politik.

Diskursus pegawai negeri malah menjelma dilema saat negeri ini mengusung isu-isu reformasi. Kebangkrutan anggaran negara untuk gaji pegawai telah menimbulkan polemik, menguak gumpalan masalah di dunia pegawai negeri. Jumlah pegawai negeri pada 2011 mencapai 4.708.330 orang. Ini jadi beban berat dalam urusan gaji dan kinerja.

Imaji pegawai negeri terbukti memang jadi dambaan masyarakat sejak awal abad XX. Semua ini mengibaratkan ejawantah orientasi pegawai negeri merupakan sandaran nilai bagi masyarakat. Jutaan orang antusias mengikuti tes dan mengeluarkan dana besar demi jadi pegawai negeri. Tes seleksi pegawai negeri seolah teater kolosal, impresif tapi surealisme.

Pemberlakuan moratorium penerimaan pegawai negeri mulai 1 September 2011 sampai 31 Desember 2012 jadi titik kritis sejarah panjang pegawai negeri di Indonesia. Konon, moratorium ini menopang program reformasi birokrasi. Kita jadi mafhum bahwa biografi Indonesia adalah biografi jutaan pegawai negeri.

Gaji, prestise, jabatan jadi unsur-unsur menentukan makna manusia dan negeri Indonesia meski rawan deviasi dan manipulasi. Indonesia memang berlimpahan pegawai negeri tapi justru bergerak lambat dan tertatih menapaki masa depan.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagad Abjad Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya