SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro (JIBI/SOLOPOS/dok)

Edy Purwo Saputro (JIBI/SOLOPOS/dok)

Laporan terbaru yang dipublikasikan World Justice Project (WJP) tentang Indeks Penegakan Hukum 2011 atau Rule of Law Index menyatakan negeri ini masih berada di predikat sebagai negara terkorup yaitu urutan ke-47 dari 66 negara.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sangat ironis. Mengapa setiap tahun publikasi dari berbagai lembaga pemeringkat selalu memberikan predikat negara ini sebagai negara terkorup. Yang justru menjadi pertanyaan mengapa hal ini terus terjadi dan cenderung berulang?
Apakah tidak ada upaya hukum yang dapat memberikan efek jera sehingga mengerdilkan niat untuk korupsi? Bagaimana sebenarnya peran pengawasan melekat, baik formal atau informal, untuk mereduksi korupsi? Apakah penegakan hukum masih timpang sehingga korupsi makin merajalela?

Memang tidak mudah mengurai persoalan terkait korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya getol memerangi korupsi. Bahkan, sejumlah aparat penegak hukum juga ditangkap KPK. Yang juga ironis, korupsi yang terjadi tidak hanya di tingkat pusat, tapi juga makin marak di daerah seiring dengan otonimi daerah.

Jika faktanya demikian, bagaimana penanganan para koruptor? Bisa jadi para koruptor malah tertawa sementara KPK kian kebakaran jenggot karena semua kerja kerasnya selama ini masih dianggap tidak optimal oleh masyarakat, setidaknya mengacu publikasi dari sejumlah lembaga pemeringkat internasional.

Bahkan, publik juga mencibir betapa mudahnya para koruptor lari ke Singapura. Ironisnya, pelarian para koruptor ke Singapura terus terjadi. Padahal seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki starategi yang jitu untuk mencegahnya.

Mengurai persoalan korupsi di negeri ini, baik di tingkat pusat atau daerah, tidak akan pernah bisa tuntas, apalagi model korupsi yang dilakukan cenderung massal atau berjemaah sehingga perlu ada salah satu yang dikorbankan agar tidak saling cokot. Hal ini terlihat dari kasus penangkapan Gayus Tambunan yang sempat pelesiran ke luar negeri, penangkapan jaksa Urip dan yang terbaru adalah penangkapan hakim Syarifudin Umar. Setiap ada pengungkapan kasus korupsi baru selalu saja menimbulkan penyakit lupa atas kasus sebelumnya, apalagi jika kasus baru yang diungkap termasuk kategori skandal besar, kelas kakap.

Runyamnya penanganan kasus-kasus korupsi di negara ini menjadikan korupsi sebagai kegiatan yang dianggap wajar, utamanya jika pelakunya kelompok elite. Bahkan, jika dirunut ke belakang, hampir semua lembaga negara tidak terbebas dari kasus korupsi. Lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif di negara ini semuanya pernah tersangkut kasus korupsi. Bahkan, di era otonomi daerah semakin banyak ditemukan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.

Terkait hal ini, Mendagri Gamawan Fauzi menegaskan kementeriannya menerima laporan lebih dari 2.000 rekening mencurigakan milik pimpinan daerah se-Indonesia (Kompas, 15 Juni 2011, Hal 5). Berbagai rekening itu tidak hanya dimiliki kepala daerah, tapi juga bendahara daerah, pimpinan proyek dan pejabat daerah lainnya.

Satu-satunya tujuan
Yang menjadi persoalan adalah ketika budaya korupsi semakin akut apakah tidak bisa direduksi? Dari mana memulainya? Siapa yang harus memulainya? Mengapa partai politik terkesan membiarkan kader-kadernya untuk korupsi?

Apakah ini konsekuensi dari mahalnya harga demokrasi di negeri ini untuk sekadar memenangkan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah? Lepas dari itu semua, inilah gambaran nyata politisi kita ketika berhadapan dengan kekuasaan. Kekuasaan dianggap sebagai satu-satunya tujuan.

Berbagai kegiatan yang dilakukan tak lebih dari sekadar upaya merebut atau mempertahankan kekuasaan, sehingga demi tujuan jangka pendek ini etika berpolitik dan harapan publik begitu saja dikesampingkan. Secara tidak langsung sesungguhnya kita telah menjadi penganut setia dari ajaran Machiavelli yang sering dihujat.

Bagi Niccolo Machiavelli (1469-1527) kekuasaan adalah segalanya. Persoalan bagaimana cara memperoleh dan mempertahankannya, bukan menjadi masalah. Seorang penguasa boleh bersikap kejam, berbohong, korup, meneror dan mengintimidasi dalam mempertahankan kekuasaan.
Bahkan, ada sindiran bahwa korupsi adalah bagian dari upaya untuk mengembalikan modal pemilu menjadi sah-sah saja karena memang ongkos demokrasi di negeru ini semakin mahal.

Fakta ini makin diperparah ketika era otonomi daerah kian ditandai oleh maraknya pemekaran daerah, sementara rakyat di daerah pemekaran justru tidak semakin sejahtera. Perilaku korup tidak muncul begitu saja. Dalam analisis The New Political Economy korupsi setidaknya dipengaruhi dua faktor.Pertama, faktor penentu (determinant variable), yakni perilaku amoral individu yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan kekuasaan.
Kedua, faktor pengaruh (influential variable), bahwa kultur politik di negeri ini masih mengandalkan kapital sebagai syarat berkompetisi, baik sebagai money politics maupun ongkos politik (Chalid, 2006). Ini yang menjadikan partai politik miskin kader sehingga aksi korupsi secara massal yang dilakukan pejabat publik telah merusak aspek social capital dalam bentuk krisis kepercayaan di masyarakat.

Jarak antara pejabat publik dan rakyat, termasuk kekuatan civil society, makin lebar. Situasi ini akan menjadi hambatan penerapan good governance yang mengakui sinergi hubungan ideal tiga aktor: state, civil society dan private sector. Kita cenderung membiarkan koruptor terjangkit penyakit ”lupa” dan ”berobat” ke Singapura sehingga negeri ini sebenarnya sarang koruptor yang tanpa koruptor.

Edy Purwo Saputro, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya