SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pada kesempatan ini kita akan berbicara mengenai kebebasan beragama dan
relasi antara negara dan agama paska keputusan Mahkamah Konsitusi (MK)
yang menolak Judicial Review terhadap undang-undang perihal larangan
penodaan agama.  Kita akan membicarakan hal ini dengan Ulil Absar
Abdalla, seorang cendekiawan muslim.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Judicial Review UU No.1 Tahun 1965
mengenai Larangan Penodaan Agama yang diajukan para penggugatnya.
Bagaimana komentar Anda terhadap keputusan MK tersebut?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya kecewa dengan penolakan  peninjauan terhadap UU No.1/PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebab
mengandung pasal yang sangat bermasalah. UU ini persisnya adalah UU yang
mengatur tentang penyalahgunaan agama. Ini ditetapkan pada tahun 1965
saat Indonesia masih hidup di dalam sistem otoriter di bawah Bung Karno
sebagai bagian cara pemerintah menegakan stabilitas politik.

UU ini mengandung dua elemen. Pertama, tentang larangan penodaan agama.
Kedua, larangan untuk melakukan penafsiran atau interpretasi terhadap
ajaran agama, dimana interpretasi itu dianggap menyimpang dari
pokok-pokok agama itu. Jadi kita harus membedakan antara dua hal ini:
Pertama adalah penodaan agama sendiri, kedua adalah penafsiran terhadap
ajaran agama.

Yang saya permasalahkan sebetulnya bukan masalah penodaan agamanya. Saya
sendiri tidak mempersoalkannya. Jadi menurut saya memang tidak
seharusnya tindakan penodaan terhadap agama diperbolehkan. Kalaupun itu
diatur saya tidak keberatan. Contoh penodaan agama, kalau kita
mengencingi kitab suci, menggambarkan tokoh agama dengan cara mengejek
sekali.

Para pendukung keberadaan UU ini mengatakan justru dengan adanya UU ini
mencegah terjadinya penistaan agama. Namun penjelasan Anda menyatakan
justru menjadi sumber persoalan dari penistaan agama?

Kalau tindakan penodaan agama di negara kita hampir tidak ada, bukan isu
sama sekali. Apakah kita pernah mengalami atau menyaksikan suatu
tindakan penodaan agama seperti yang saya gambarkan di atas. Menurut
saya, hanya orang (maaf) yang songong (red: bertingkah) saja yang
melakukan penodaan agama dengan cara-cara yang vulgar, seperti
mengencingi kitab suci. Tindakan itu hampir tidak masuk akal dilakukan
di sebuah negara dimana agama begitu besar pengaruhnya.

Apa pertimbangan-pertimbangan fundamental yang seharusnya dijadikan
rujukan bagi MK dalam mengambil keputusan ini?

Yang bermasalah adalah elemen kedua dalam UU tadi, yaitu kalau Anda
berpendapat mengajukan interpretasi terhadap ajaran agama Anda dimana
interpretasi Anda itu dianggap menyimpang dari unsur dominan UU ini.
Saya dulu diudang MK memberikan kesaksian karena saya menganggap unsur
kedua ini problematis. Ini menghalangi kebebasan berpendapat, dan
menghalangi kebebasan orang untuk berpikir.

Kalau berbicara mengenai interpretasi ataupun tafsiran, maka itu terkait
hak asasi manusia (HAM) yaitu kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan
beragama. Lantas, mengapa negara berpikir jauh bahwa interpretasi itu
yang salah, sedangkan interpretasi ini yang benar?

Di sini ada dua kepentingan. Pertama, kepentingan negara untuk
menegakkan stabilitas. Memang di dalam masyarakat yang ada kelompok
dominan maka kalau ada kelompok lain membawa pendapat berbeda maka pasti
menimbulkan keresahan. Itu sudah pasti. Jangankan pendapat yang
berkaitan dengan agama, dulu saja ketika perjuangan anti-diskriminasi di
Amerika menimbulkan keresahan. Saat itu orang kulit putih dominan di
segala bidang kehidupan di Amerika, sehingga ketika orang kulit hitam
membawa gagasan anti diskriminasi dianggap mengganggu keamanan. Nah,
negara memang kurang suka dengan fakor-faktor yang instabilitas. Memang
kalau ada pendapat yang berbeda akan menimbulkan keresahan di
masyarakat, lalu negara tidak suka sehingga kemudian diciptakanlah UU
untuk mencegah itu.

Kepentingan kedua, kepentingan kelompok mayoritas. Kelompok mayoritas
biasanya tidak suka kalau ada pandangan berbeda yang bertentangan dengan
pandangan dia. Sekarang masalahnya adalah yang berwenang menentukan
pandangan yang benar dan tidak adalah Kementerian Agama, kemudian
disokong oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kita tahu Kementerian Agama kita dan juga MUI didominasi oleh
orang-orang muslim sunni yang berpandangan tertentu. Kalau mereka
diberikan wewenang untuk menentukan ajaran yang benar dan mana yang
sesat atau menyimpang, maka itu sama dengan menyokong kepentingan
mayoritas dan mendiskriminasi kelompok minoritas.

Anda sebagai seorang cendekiawan muslim, bagaimana sebenarnya Islam
memandang tentang pluralitas atau keragaman itu?

Islam itu tidak bertentangan dengan ide pluralisme. Saya tidak sepakat
dengan fatwa MUI yang menyatakan bahwa pluralisme itu haram. Pluralisme
itu adalah pandangan atau ide yang klop dengan agama Islam. Bayangkan di
dalam kitab suci agama Islam dikatakan bahwa kalau Anda mau beriman
silakan dan kalau tidak, tidak apa-apa. Jadi, Tuhan memberikan freedom
of religion, freedom of right. Lalu, mengapa kita harus repot menegakkan
suatu kuasa atau ortodoksi atau kekuasaan untuk melindungi suatu
doktrin yang menganggap kita benar dan orang lain paling sesat.

Keputusan MK menolak Judicial Review bersifat final dan mengikat. Apa
kira-kira kekhawatiran terbesar Anda?

Kekhawatiran saya adalah ini menciptakan situasi yang anti pluralisme,
situasi yang membuat orang tidak toleran terhadap perbedaan. Lihat saja
beberapa kasus di beberapa daerah, sekarang muncul beberapa
kelompok-kelompok tertentu di daerah yang dianggap menyimpang keyakinan
atau ajarannya kemudian mereka diserang ataupun digerebek tempat
tinggalnya atau mereka dieksekusi. Kemudian ada fatwa dari MUI setempat
mengatakan ini kelompok sesat sehingga memprovokasi massa untuk
melakukan penyerangan kepada kelompok itu. Ini yang saya khawatirkan
sekali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya