SOLOPOS.COM - Zainal Anwar (Solopos/Istimewa)

Hari Santri tahun 2021 ditandai dengan satu kebijakan menarik dari pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo, yakni terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Regulasi ini langsung memantik respons yang beragam kalangan, mulai dari politikus hingga kalangan pimpinan pesantren. Bahkan suara para pimpinan pesantren juga tidak tunggal.

Para politikus yang merasa memperjuangkan dana pesantren ramai-ramai mengklaim dengan dalih mensyukuri hasil perjuangan. Tentu sah saja politikus bertindak demikian karena ia punya tugas memperjuangkan kepentingan konstituen, termasuk konstituen santri. Tetapi jangan sampai menjadi gimik politik menjelang perhelatan pemilu mendatang. Soal klaim biar rakyat yang melihat dan menentukan partai politik mana yang punya kontribusi besar dalam isu pesantren di parlemen.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Lain lagi dengan respons kalangan pesantren. Solooos edisi 13 Oktober 2021 merekam pandangan tersebut. Ada yang menilai bahwa pemberian dana ini bentuk rekognisi dan dukungan negara terhadap keberadaan pesantren, khususnya fungsi pendidikan. Ada pula yang menilai bahwa jika negara mau memberi bantuan, maka tidak perlu ada persyaratan yang menyusahkan dan memberatkan pesantren.

Dari pendapat awal ini, tersirat ada dua kutub pemaknaan terhadap dana bantuan pesantren. Pertama, adanya dana bantuan untuk pesantren yang dipahami sebagai rekognisi dan dukungan negera terhadap pesantren. Meskipun selama ini pesantren bisa hidup dan menghidupi dirinya dengan anggaran yang secukupnya, kesediaan negara mengalokasikan dana untuk mendukung tugas dan fungsi pesantren—khususnya dalam bidang pendidikan—perlu disambut gembira. Adanya tambahan dana bisa digunakan untuk memperkuat aspek penyelenggaraan pendidikan pesantren.

Kedua, berbeda dengan cara pandang pertama, pandangan yang lain memaknai adanya dana bantuan untuk pesantren sebagai suatu sedekah. Dalam nalar sedekah, orang yang mau memberi uang tinggal memberikan saja. Tak perlu ada syarat yang njelimet atau pertanggungjawaban yang membuat pening kepala. Seperti orang yang bersedekah, maka pemberian dana ke pesantren dianggap seperti orang yang memberi sedekah. Di dalam logika sedekah, setiap orang yang habis memberi tidak perlu memberi penjelasan dan langsung diterimakan.

Padahal, perlu dipahami bahwa uang yang keluar dari bendahara negara dan diterimakan kepada siapapun pasti harus ada skema pelaporan, ada pertanggungjawaban terkait peruntukannya, dan tidak menolak jika dilakukan monitoring dan evaluasi. Di sinilah kalangan pesantren justru perlu memahami dan menyiapkan diri. Pesantren tidak perlu apatis atau takut dengan bantuan pemerintah. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan diri agar nantinya bisa mengelola dana negara dengan amanah.

Menakar Kesiapan Pesantren

Lebih dari sekadar perdebatan di atas, ada satu hal yang mesti menjadi pertanyaan bersama, yaitu bagaimana kesiapan pesantren menyambut adanya dana pendidikan untuk pesantren? Kesiapan ini diperlukan karena setiap pihak yang menerima uang negara pasti diminta pertanggungjawaban. Adanya pertanggungjawaban ini mutlak adanya karena menjadi prinsip dasar pengelolaan anggaran negara.

Soal pesantren dan praktik pengelolaan bantuan pemerintah, penulis punya cerita yang menarik. Satu tahun lalu, ketika diminta ikut melakukan kegiatan evaluasi dan monitoring bantuan balai latihan kerja komunitas (BLKK) untuk pesantren, saya menangkap satu kesan bahwa penerimaan, persepsi, dan cara pengelolaan pesantren terhadap bantuan dari pemerintah sangat beragam.

Ada yang bisa menjalankan dengan baik, di mana antara pimpinan pesantren dan staf yang ditunjuk bisa menjalankan dengan baik dan akhirnya bisa berhasil. Tapi ada pula yang menjalankan secara apa adanya karena terbatasnya sumber daya dan pengalaman. Ada pula yang menolak ketika dikunjungi dengan berbagai dalih.

Hemat penulis, hal ini memberi pelajaran berharga bahwa kesiapan pesantren perlu dipertimbangkan dan menjadi perhatian bersama. Hal ini bukan dalam kerangka meragukan kapasitas pesantren, tetapi lebih pada upaya memastikan kesiapan pesantren menerima dana bantuan penyelenggaraan pendidikan.

Peta Jalan Persiapan

Kesediaan negara untuk mengalokasikan dana bagi pesantren tentu perlu menjadi perhatian bersama. Dana dari negara tentu bukan pemberian yang tidak perlu ada pertanggungjawaban. Negara atau pemerintah perlu menyiapkan peta jalan dan skema yang detail terkait bagaimana proses pemberian dana dan kesiapan pesantren menerima dana dari negara.

Aspek penting yang perlu dilakukan misalnya perlu segera adanya sosialisasi regulasi ke pesantren. Pemerintah bisa bekerjasama dengan asosiasi pesantren maupun perguruan tinggi Islam untuk menjelaskan hal ihwal dana abadi pendidikan pesantren. Selain sosialisasi, pemerintah perlu memfasilitasi kegiatan peningkatan kapasitas tenaga pesantren yang diproyeksikan mengelola dana bantuan pemerintah tersebut.

Bukber Unik Ala Ponpes Darul Quran Solo

Sosialisasi regulasi dan peningatan kapasitas adalah langkah awal yang perlu dilakukan, agar negara dan pesantren bisa menemukan titik yang saling merangkul dengan tujuan memberi kebermanfaatan bagi pendidikan di pesantren. Adanya dana dari negara yang nantinya ditransfer ke pesantren seharusnya menjadi momentum bagi pesantren untuk melakukan pembenahan dan persiapan dari sisi sumber daya manusia hingga tata cara pelaporan.

Selain itu, dukungan pemerintah kepada pesantren dengan mengalokasikan dana jangan dipandang sebagai upaya mengebiri kemandirian pesantren yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Justru adanya dana ini harus memperkuat aspek kemandirian pesantren dan memperluas kebermanfaatan pesantren di masyarakat sekitar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya