SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar

Noyo tampak kurang jenak duduk menyendiri di bangku pendek angkringan Pakdhe Harjo yang malam Ahad kali itu terbilang sepi, lebih sepi dari malam-malam bukan akhir pekan. Tebersit pikirian di benak Noyo, sambal menyambar sepotong jadah goreng karemannya, “lha jualan kok sepi nyenyet begini ini apa ya bisa cucuk, modalnya jangan-jangan ndhak kembali ini..”

Menyaksikan kondisi angkringan yang makin sepi dan sediaan panganan maupun lauk-pauk yang semakin menyusut jumlahnya, Noyo langsung menduga bahwa keberlanjutan usaha angkringan yang dikelola oleh Kang No, manajer ngiras bagian purchasing alias tukang belanja merangkap pembantu umum, ini nampaknya sulit untuk dipertahankan.
Padahal dulu, hingga sekitar dua tahun silam, angkringan yang ‘berdomisili’ di teras nDalem Pakdhe Harjo itu ramai benar. Terkadang, Kang No harus menyiapkan bangku ekstra untuk mengakomodasi tetamu angkringannya itu. Apalagi bila sedang ada siaran langsung pertandingan sepakbola, warga setempat menjadikan angkringan ini sebagai sarana nobar—nonton bareng—kaum pinggiran.
“Sakploke maraknya pengguna smatpun baru-baru ini lho, Pak Noyo, jadi ndhak banyak yang ngunjungi angkringan ini.. lha wong di sebelah situ itu, ada angkringan baru yang dikelola anak-anak muda, mereka ini nyediakan waifai dan mau lho melayani pesanan antaran melalui eps atau apa itu.. yang make henpun.. Pokoknya canggih lah, Pak Suto.. Lha kami kan bisanya ya jualan seperti ini..” tutur Kang No suatu ketika.
Semula, Noyo agak bingung mencerna keterangan yang disampaikan Kang No tersebut. Lama-lama dia mafhum bahwa berkat kemajuan teknologi komunikasi pula, maka sampai-sampai bisnis angkringan sudah difasilitasi sedemikian rupa, termasuk menyediakan wifi sehingga pengunjung dari kalangan muda yang memiliki smartphone dapat berselancar Internet secara gratisan sehingga betah berlama-lama di situ.
Selain itu, mereka—anak-anak muda tadi—juga membuat apps atau program aplikasi sederhana yang kini begitu mudah dibikin untuk smartphone sehingga mampu melayani delivery order atau pesanan untuk diantar.
Ternyata, batin Noyo, technology disruption itu sudah menyentuh hingga lapisan kehidupan masyarakat di level paling bawah, usaha ankringan pun tak luput dari gangguan teknologi. Semula, fenomena ini hanya melanda usaha besar seperti industri media konvensional yang terganggu akibat maraknya pemberitaan online berbasis website.
Berikutnya, usaha pertaksian di berbagai belahan dunia yang terganggun akibat kehadiran Uber dan Grab yang memudahkan orang untuk memperoleh tumpangan nyaman dengan harga relatif murah. Menyusul kemudian Go-jek yang menjadikan pengalaman naik ojek tak sama lagi dengan sebelum-sebelumnya.
Tak pelak, pengusaha taksi tradisional, angkutan umum, maupun pengojek konvensional merasa gusar terhadap kehadiran sistem pemesanan moda transportasi yang berbasis apps tadi, karena dianggap merampas rezeki mereka. Beberapa pekan silam, demo besar-besaran pengemudi taksi—yang ternyata disponsori oleh perusahaan taksi tempat mereka bekerja—dan sejumlah moda angkutan umum sempat melumpuhkan Jakarta.
Pikiran Noyo pun nglambrang, melayang jauh, bagaimana upaya untuk memberdayakan usaha Pakdhe Harjo yang sedikit banyak kini menjadi korban dari fenomena usikan teknologi atau technology disruption tadi. Dia pun teringat sahabat diskusi partikelir yang biasanya suka cangkrukan di angkringan ini—Suto dan Dadap—untuk dilibatkan dalam upaya membantu Kang No tersebut.
Mulailah pikirannya menyusun strategi, pertama, bahwa televisi tabung sinar katoda ukuran 21 inchi di pojokan angkringan ini harus diganti dengan yang jenis baru, layar datar, berukuran minimal 40 in, sehingga warga akan kembali semangat melakukan ‘ritual’ nobar ketika sedang ada siaran langsung pertandingan sepak bola.
Strategi kedua, ungkap Noyo dalam batin, menyediakan perangkat wifi guna menarik minat para pengguna gawai atau gadget agar betah berlama-lama cangkruk di angkringan ini, sekaligus menyediakan lebih banya colokan listrik untuk mereka. Karena, kegiatan ngecas (men-charge) gawai kini menjadi kebutuhan paling pokok dari segala kebutuhan dasar manusia.
“Strategi ketiga adalah menambah menu di angkringan dengan sejumlah minuman atau makanan yang disukai anak muda, tapi tetap yang murah meriah, sehingga mereka tidak menganggap angkringan ini dikhususkan bagi kaum sepuh,” ujar Noyo dalam hati.
Dia berjanji untuk membahas rencana ini lebih lanjut dengan para sohib-nya itu, karena merasa tidak rela jika angkringan legendaris tersebut mengakhiri usaha.
Dalam pikiran Noyo, setiap unit usaha yang sudah berjalan seharusnya tidak boleh gulung tikar, justru harus meningkat. Karena, sekecil apapun unit usaha itu, pasti mempekerjakan orang lain yang dengan demikian turut memperoleh nafkah dari kegiatan usaha tadi.
Melihat pengalaman Kang No yang selama ini bertindak secara multitasking alias serabutan, karena semua diurusnya sendiri, sudah saatnya angkringan ini berubah dan menambah tenaga kerja guna menjadikannya berdaya tarik dan mampu bersaing.
“Di zaman kemajuan teknologi ini, rasanya ironis sekali jika ada unit usaha justru mati gara-gara terusik oleh teknologi.. Tidak.. Hal itu itu tidak boleh terjadi. Bersikap sederhana dan ndeso tidak ada salahnya, tapi harus berinovasi agar tidak mati,” uacap Noyo dalam batin sambal membulatkan tekadnya membantu revitalisasi Angkringan Pakdhe Harjo yang dianggapnya sudah menjadi rumahnya sendiri itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya