SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri (FOTO/Dok)

M Fauzi Sukri (FOTO/Dok)

Bergiat di Bale Sastra Kecapi
dan Pengajian Senin Solo

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada abad ke-21 ini, otoritas tradisional pemegang nasihat sudah runtuh meski tak total dan penuh. Anak-anak muda, juga yang sudah dewasa, tampaknya sudah tidak butuh nasihat. Mereka sudah beralih pada buku-buku self help, buku-buku motivasi, kata-kata mutiara para motivator.
Di sini otoritas agamawan juga sudah lemah dan luntur bagi sebagian besar masyarakat abad ke-21 atau  para agamawan itu sedikit banyak harus ikut arus besar ini seperti yang pernah dilakukan Aa Gym.
Sebagian besar manusia abad ke-21 tak tahu dan tak butuh lagi nasihat lawas nenek moyangnya—termasuk ajaran Ki Ageng Suryomentaram—tapi  membutuhkan self help praktis dan bukan nasihat religius tapi nasihat manajerial spiritual, atau leadership manajerial.
Ya, pada abad ke-21 ini masyarakat tampaknya sudah sampai pada satu kesimpulan: nasihat harus bersifat manajerial-praktis, juga bernilai ekonomisasi. Maka ”buku kanan” yang berisi berbagai motivasi, cerita berpetuah, buku pegangan spiritual building, leadership couching, hubungan motivasional keorganisasian dan kemanusiaan, pengembangan diri, dan sebagainya, laku laris di pasar.
Seminar-seminar motivasi, meski dengan tiket yang mahal, tetap ramai peminat dan pengunjung. Inilah zaman manusia pendamba motivasi dan manajerial-spiritual-ekonomisasi. Dalam sejarah Indonesia, tak ada gerakan masif motivasi dan pengembangan diri—bukan kolektivisme!—seperti yang terjadi dalam beberapa tahun ini tanpa bimbingan pemerintah.
Dalam satu tulisannya, Self-Help dalam Imigrasi, yang dimuat di Daulat Rakjat No  88, 20 Februari 1934, Mohammad Hatta menulis: Tidak sekali dua kali sedjarah dunia membuktikan, bahwa perubahan jang berarti dalam nasib rakjat hanja dapat ditjapai, kalau rakjat itu sendiri berusaha…Dibunuh rasa tak mampu dalam kalbunja, dan dihidupkan semangat baru dalam hatinja.
Tulisan itu adalah salah satu dasar awal pentingnya pengembangan individualisme dalam ekonomi di Indonesia. Hatta sedikit banyak mengecam sifat kolektivisme yang tak pada tempatnya yang bisa membuat ekonomi statis, tak berkembang, maka individualisme harus dikembangkan. Pada masa kepresidenan Soekarno, pembangunan kepribadian memang pernah menjadi proyek dan jargon politik pemerintah, tapi bukan yang ekonomisasi-spiritual seperti yang terjadi saat ini.
Tak bisa dimungkiri bahwa ”wabah” motivasi spiritual-ekonomisasi ini berasal dari Amerika Serikat. Majalah Time edisi milenium-internasional dan sekaligus edisi khusus akhir tahun milenium 2000 menampilkan tiga motivator kelas dunia: Steven Covey dengan buku Seven Habits, Dale Carniegie dengan buku How to Win Friends and Influence People—bahkan Soekarno membaca dan memuji buku ini di Ende selama masa pembuangannya—, John Gray dengan bukunya Men are from Mars Women are from Venus, dan Norman Peale dengan bukunya The Power of Positive Thinking.
Itu belum yang menyusul berikutnya seperti Napoleon Hill atau yang terbaru seperti Robert T Kiyosaki, Rhonda Byrne dan sebagainya yang semua buku mereka laku keras. Buku best seller dan motivator yang terkenal ini berasal dari Amerika Serikat atau setidaknya berdomisili di Amerika. Sebenarnya tidak mengherankan jika mereka berasal dari Amerika Serikat.
Penelitian Max Weber (1904-1905) yang terkenal tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme mengambil contoh dari koloni imigran awal di Amerika Serikat dan mengutip catatan biografis Benjamin Franklin, meski ide awalnya berasal dari data statistik kekayaan orang Protestan di Jerman.
Weber (1989) melihat bahwa ”semangat kapitalisme” modern pada awalnya banyak dipengaruhi oleh ajaran John Calvin (1509-1564) yang saya pikir semangatnya diambil alih oleh buku dan ceramah motivasioanl ekonomisasi. Dalam ajaran Calvinisme, takdir menyangkut keselamatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan, tetapi tidak diketahui oleh orang yang bersangkutan.
Dengan kata lain, takdir itu misteri dan penuh ketidakpastian. Menghadapi ini, Calvinisme mengajarkan agar orang merasa dirinya sebagai yang ”terpilih” untuk mendapatkan keselamatan dengan cara menghilangkan kebimbangan dan godaan setan. Kekurangpercayaan bahwa dirinya sebagai orang terpilih adalah akibat dari lemahnya iman dan pertanda dari kurangnya rahmat Tuhan (Dawam Rahardjo, 1990: 66). Yang terjadi kemudian adalah semangat pembuktian bahwa dirinya adalah manusia terpilih dengan menjadi manusia yang sukses (ekonomis) sebagai bukti.
Selain itu, dalam ajaran Calvinisme, harta tidak diberkati, yang diberkati adalah pekerjaan itu sendiri. Bekerdja didunia sama sadja buktinja dengan kesunjian hidup seorang pendeta dalam geredja, jaitu menindas nafsu keduniaan. Bekerdja didunia bukanlah tujudjuan sendirinja, melainkan djalan keachirat. Demikian ditulis Hatta (1954: 47) dalam Calvinisme dan Kapitalisme yang mengulas buku karya Van Gunsteren tentang pengaruh Calvinisme di Belanda yang banyak penganut protestanismenya.

Antibuku Motivasi
Etika protestanisme ini, berbeda dengan ajaran gereja Zaman Tengah, yang membentuk individualisme yang diperlukan dalam mendorong kemajuan kapitalisme awal. Pada akhirnya manusia berkuasa atas dirinya, bahkan semacam bisa menentukan apakah dirinya selamat atau tidak. Inilah sebuah doktrin optimisme yang harus ada dalam buku-buku atau ceramah motivasional, manajerial-spiritual ekonoministik, spiritual leadership dan sebagainya.
Manusia menjadi tumpuan dan membuat harapannya sendiri. Harapan yang penuh optimisme yang ditentukan sendiri! Itulah intinya. Sampai di sini, semua buku atau ceramah motivasional itu bisa bahkan bisa melampaui sekat-sekat agama apa pun, apalagi dalam masyarakat yang sudah terselubungi arus kapitalisme seperti saat ini.
Maka,”Harapan sejak abad ke-18 adalah harapan yang bertumpu pada subjektivitas yang skuat: aku melangkah ke masa depan karena sebuah kehendak, dengan kesadaran yang utuh karena sebuah niat, dengan langkah yang teratur dan efektif karena akal. Jika ada Tuhan disertakan di sini, Ia hadir bukan untuk mengingatkan kelemahanku, melainkan untuk membuatku, sebagai subjek, mengatasi duniaku,”kata Goenawan Mohamad (2011: 33).
Itulah barangkali alasan kenapa banyak juga yang antibuku-buku kanan, ceramah motivasional atau kata-kata mutiara yang membuai. Manusia bukan dan tak bisa menjadi Superman apalagi hanya dengan buku, kata atau ceramah motivasional. Manusia bisa saja tak berdaya oleh masyarakat atau oleh birokrasi pemerintah yang melumpuhkan semangat kerja individu.
Teologi agama tidak bisa terlalu digampangkan menjadi resep self help praktis apalagi yang hanya bersifat ekonomisasi. Ilmu perihal manusia tak bisa begitu praktis-operatif. Atau, manusia tak bisa begitu saja meyakini satu kata mutiara tanpa menjalaninya sendiri, membuat kata mutiaranya sendiri dari perjalanan, pergulatan, dan penemuannya bersama tubuh-akal-jiwanya, seperti perjalanan Dewa Ruci dalam mencari air kehidupan. Nasihat ada dalam perjalanan-pembelajaran?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya