SOLOPOS.COM - Mobil Pemadam Kebakaran Pemkab Sragen yang ditempatkan di Gemolong ini sudah cukup tua. Nasib sejumlah petugasnya pun bisa dibilang sama-sama memrihatinkan dengan kondisi mobil ini. (JIBI/SOLOPOS/Mahardini Nur Afifah)

Mobil Pemadam Kebakaran Pemkab Sragen yang ditempatkan di Gemolong ini sudah cukup tua. Nasib sejumlah petugasnya pun bisa dibilang sama-sama memrihatinkan dengan kondisi mobil ini. (JIBI/SOLOPOS/Mahardini Nur Afifah)

Empat tahun lewat sepuluh bulan adalah waktu yang telah dijalani Eko, 34, untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang sedang tertimpa musibah kebakaran. Sampai saat ini Eko dan 16 orang rekan kerjanya di UPTD Pemadam Kebakaran DPU Sragen masih berstatus sebagai tenaga bantuan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Gaji yang diterima Eko dkk setiap bulan Rp500.000. Para pekerja risiko tinggi di Damkar Sragen sampai saat ini juga belum dibekali asuransi. Ketika berjuang menjinakkan api, mereka hanya menggunakan pakaian dinas yang terbuat dari bahan katun, bukan baju tahan api yang memang tak tersedia. Mereka juga menggunakan sepatu boot dan membekali diri dengan helm yang mereka bawa dari rumah.

Ekspedisi Mudik 2024

Meskipun dihimpit kebutuhan hidup yang setiap hari harganya semakin menjulang, ayah satu anak ini mengaku pasrah pada nasib kesejahteraan petugas damkar di tempatnya mencari nafkah. Dirinya berprinsip kerja sosial yang dikerjakannya saat ini akan menuai hasil pahala.

“Kalau dipikir-pikir pekerjaan saya mengharukan. Tapi saya memilih untuk tersenyum. Kalau kesejahteraan diperbaiki ya syukur, kalau tidak ya sudah. Yang penting hubungan dengan rekan kerja baik, pelayanan baik, kalau soal uang masih bisa dicari,” paparnya saat ditemui Solopos.com di Pos Damkar Gemolong. Untuk menyiasati gajinya yang cekak, Eko memilih membawa bekal makanan yang sudah disiapkan istrinya saat bertugas. “Ini namanya prihatin. Rumah saya di Nguwer, butuh bensin banyak kalau ke sini. Biar irit saya bawa makanan sendiri untuk pagi dan siang. Kalau malam tidak punya uang, saya tahan dengan tiduran sambil menunggu panggilan tugas. Kalau ada uang ya jajan,” jelasnya.

Salah seorang petugas damkar lain, Heru Nugroho, 33, mengaku komitmen menjadi motivasinya bertahan selama dua tahun sepuluh bulan sebagai petugas damkar. “Kalau soal pulang tugas lecet-lecet itu biasa. Setiap kejadian kebakaran, kami antisipasi sendiri dengan perlindungan seadanya. Tidak ada pengaman ya kami mengguyur tubuh dengan air agar tidak ikut terbakar,” katanya.

Heru dan tenaga bantu petugas Damkar lainnya berharap kejelasan nasib dari Pemkab Sragen. Mereka bertugas selama 24 jam setiap tiga hari sekali. Untuk menyambung hidup, saat libur mereka manfaatkan untuk mencari nafkah tambahan.

Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman, ketika ditemui Solopos.com di Balai Desa Kragilan, Selasa malam, menjelaskan proses rekrutmen PNS tenaga Damkar belum memungkinkan bagi Pemkab Sragen. Sehingga sampai saat ini pihaknya masih menggunakan tenaga bantu. Disinggung mengenai asuransi, Agus menilai tipe kebakaran di Sragen berbeda dengan kebakaran di kota besar. “Tingkat risiko Damkar di sini masih belum perlu ada asuransi. Kebakarannya berbeda dengan Solo atau Jakarta. Saya lihat bertahun-tahun kebakarannya tidak seperti kota besar. Berdasarkan peraturan pemerintah, asuransi juga bukan syarat mutlak,” paparnya.

Terkait kesejahteraan tenaga bantu petugas damkar, menurut Agus, harus dilihat kemampuan instansi terkait. “Sementara ini kemampuan yang bisa kami berikan memang masih di bawah UMR. Kalau mereka mau bertahan ya monggo, kalau tidak ya silakan saya tidak bisa memaksa,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya