SOLOPOS.COM - Beberapa becak bertenaga motor atau bentor parkir di depan Pasar Bunder, Sragen. Para pengemudi bentor mengeluhkan rencana pemerintah setempat yang dinilai menyudutkan mereka dengan penertiban dan pembatasan rute. (JIBI/SOLOPOS/Sri Sumi Handayani)

Beberapa becak bertenaga motor atau bentor parkir di depan Pasar Bunder, Sragen. Para pengemudi bentor mengeluhkan rencana pemerintah setempat yang dinilai menyudutkan mereka dengan penertiban dan pembatasan rute. (JIBI/SOLOPOS/Sri Sumi Handayani)

Beberapa becak bertenaga motor atau bentor parkir di depan Pasar Bunder, Sragen. Para pengemudi bentor mengeluhkan rencana pemerintah setempat yang dinilai menyudutkan mereka dengan penertiban dan pembatasan rute. (JIBI/SOLOPOS/Sri Sumi Handayani)

Lelaki tinggi sekitar 180 sentimeter itu duduk di salah satu becak kayuh yang diparkir di depan pintu samping Pasar Bunder. Seraya menikmati segelas es cincau sesekali dia tertawa. Bercanda dengan lelaki yang juga duduk di becak kayuh bersamanya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Dulu, saya pengemudi becak kayuh. 36 tahun, saya genjot becak. Sejak tarif Rp50-Rp75 untuk jarak tiga kilometer. Sekitar tahun 1978. Sekarang sudah tua. Kaki enggak kuat. Saya narik becak motor (bentor) baru beberapa tahun,” cerita lelaki yang mengaku bernama Sudar, 53.
Warga Plosorejo, Guworejo, Karangmalang, itu menghela napas.

Dia ungkit sikap pemerintah seolah-olah enggan berpihak kepada pengemudi bentor. Bapak dua anak menceritakan kali pertama memutuskan membuat bentor. Dia berutang kepada salah satu koperasi di Sragen senilai Rp3 juta. Bukan untuk modal berdagang karena dia mengaku tidak ahli berdagang. Uang pinjaman digunakan merakit bentor.

“Saya tombok Rp1,5 juta. Saya ambil dari tabungan. Ini alat yang saya andalkan mencari nafkah. Kalau pemerintah melarang bentor, saya kerja apa? Usia sudah tidak mendukung genjot becak. Medan di Sragen berbeda dengan kota lain,” keluh lelaki yang mengaku sebagai Ketua Paguyuban Bentor Sragen “Ngudi Rejeki”.

Lebih dari 100 unit bentor beroperasi di Sragen baik tergabung dalam paguyuban maupun tidak. Rata-rata mereka mengandalkan hidup menjual jasa bentor. Hampir semua pengemudi bentor mantan pengemudi becak genjot. Alasan usia menjadi pendorong merakit bentor. Seperti teman Sudar, Yahman, 53. Dia mengaku sembuh dari stroke dan tidak kuat mengayuh becak. Tetapi keadaan dan kebutuhan memaksa dia harus bekerja demi menghidupi tiga anak.

Sudar mengaku langkah dia dan teman-teman lain mencari nafkah menggunakan bentor tidak mulus. Isu kisruh dengan becak kayuh masih santer. “Tidak ada rebutan penumpang. Kami mengangkut pelanggan. Masing-masing punya pelanggan. Kalau di pasar moderen, parkir memang urut tapi kalau di pasar tradisional bebas. Masing-masing punya pelanggan,” jelas Sudar.

Uang Rp50.000 atau lebih bisa mampir ke kantong dia apabila lebih dari lima penumpang yang menggunakan jasa. Namun pernah Rp20.000 saja saat sepi. Setidaknya sekitar 18 kilometer dapat ditempuh selama pukul 08.00 WIB-15.00 WIB. Sudar menuturkan becak miliknya menggunakan tenaga mesin tetapi tidak memungkinkan mengantar penumpang hingga Gondang, Sambirejo maupun wilayah lain yang jauh.

Dia menitipkan harapan kepada pemerintah agar lebih arif menindaklanjuti keberadaan bentor. Sudar bukan aji mumpung melainkan berharap orang yang disebut sebagai pengayom lebih bijak menyikapi keberadaan bentor.

“Masing-masing ada pembagian lokasi dan penumpang. Saya pindah lokasi enggak akan dapat penumpang. Jalur paling jauh sekitar Karangmalang, Sidoharjo dan Ngrampal. Tidak mungkin angkut penumpang sampai jauh. Kalaupun ada, mereka hanya mengantar tetapi bukan rute bentor,” tutur dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya