SOLOPOS.COM - Salah satu pemain asing di Liga Indonesia (HARIAN JOGJA/GIGIH M. HANAFI)

Salah satu pemain asing di Liga Indonesia (HARIAN JOGJA/GIGIH M. HANAFI)

Ada banyak kesamaan antara para pemain asing yang berlaga dalam kancah sepak bola tanah air dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, khususnya yang bekerja di sektor informal dan tersebar di berbagai negara seperti di Malaysia, Singapura, Timur Tengah dan Asia Timur.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Apa persamaan itu? Mereka bakal dikejar imigrasi jika surat izin tinggal dan kelengkapan administrasi lainnya sudah kadaluwarsa atau yang beken diistilahkan dengan overstay. Ya kata overstay menjadi momok yang menakutkan bagi siapa pun warga asing yang tinggal di negara lain.

Dalam beberapa kesempatan, koran ini pernah berjumpa dengan para TKI yang bekerja di Malaysia. Dalam percakapan itu mereka menceritakan bagaimana susahnya ketika ditangkap imigrasi negara Jiran sebelum dideportasi ke Tanah Air.

Saat ditangkap, mereka tidak saja mendapat perlakuan kekerasan secara fisik tapi semua harta benda yang ada di tangan turut dirampas. Serupa tapi tidak sama, di Indonesia, para warga asing, apalagi para pemain sepak bola dari luar negeri, juga sering berurusan dengan pihak imigrasi negeri ini.     Kepada Harian Jogja, striker PSS Sleman, Charles Orock, berbagi cerita tentang suka duka para pemain asing ketika berurusan dengan imigrasi. Tabiat aparat negeri ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan imigrasi Malaysia.

Ia menceritakan pernah suatu ketika, ada seorang rekannya dari Kamerun yang bermain di sebuah klub Indonesia. Dengan reputasi sebagai mantan pemain tim nasional saat membawa negerinya menjuarai Olimpiade Sydney 2000, sang pemain langsung menjadi superstar.

Namun, beberapa tahun setelah itu, dia tidak kunjung mendapatkan klub baru dan masa tinggalnya pun memasuki masa kadaluwarsa. “Dia sudah dua tahun overstay,” cerita Orock saat ditemui di Stadion Maguwoharjo, pekan lalu.

Ketika imigrasi mendapatkan informasi tentang pemain itu, mereka segera meringkusnya dan memasukkan dia ke rumah detensi di daerah Tangerang. “Saya cerita biar kamu tahu, kalau sudah masuk di sana, kamu harus bayar puluhan juta supaya bisa keluar,” tambah striker yang membela Persis Solo ketika pertama kali datang ke Indonesia ini.

Akibat saat itu memiliki uang, rekan Orock itu bersedia menebus upeti agar bisa menghirup udara segar. Singkat kata, setelah membayar, sang pemain dibebaskan dan disertai sebuah surat dari imigrasi yang memberikan kesempatan kepadanya untuk membereskan segala dokumen paling lama satu pekan.

“Salahnya dia, kalau setelah keluar, dia harus cepat-cepat pindah rumah tapi dia tidak pindah rumah dan masih santai-santai di rumah karena waktu yang diberikan satu pekan,” cerita Orock bersemangat.

Ternyata baru dua hari dibebaskan, datang lagi aparat imigrasi tapi bukan dari Tangerang melainkan dari bilangan Kuningan, Jakarta, yang menangkap pemain tersebut dan menjebloskannya ke dalam rumah detensi Kuningan.

Usut punya usut, ternyata kuat dugaan aparat dari Imigrasi Tangerang bekerja sama dengan petugas Imigrasi Kuningan agar pemain itu kembali ditangkap guna dipaksa untuk membayar lagi. Di Kuningan, tarifnya otomatis berbeda, bisa mencapai Rp150 juta. “Karena terlalu mahal, teman saya menyerah. Akhirnya dia dideportasi kembali ke Kamerun,” kenang Orock.(WARTAWAN HARIAN JOGJA/MG Noviarizal Fernandez)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya