SOLOPOS.COM - Anggota Galeri Malang bernyanyi melakukan aksi simpatik dengan mencuci piringan hitam kuno kleksi Lokananta di museum Lokananta, Solo, Sabtu (5/10/2013). (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Anggota Galeri Malang bernyanyi melakukan aksi simpatik dengan mencuci piringan hitam kuno kleksi Lokananta di museum Lokananta, Solo, Sabtu (5/10/2013). (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Anggota Galeri Malang bernyanyi melakukan aksi simpatik dengan mencuci piringan hitam kuno kleksi Lokananta di museum Lokananta, Solo, Sabtu (5/10/2013). (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Komunitas peNcinta musik asal Kota Malang, Galeri Malang Bernyanyi (GMB) prihatin dengan kondisi piringan hitam di Lokananta yang kondisinya tidak terawat. Bentuk keprihatinan itu diwujudkannya melalui pemberian 1.000 cover [wadah pelindung] piringan hitam.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ketua GMB, Hengki Herwanto saat ditemui wartawan di Lokananta, Sabtu (5/10/2013), mengatakan rasa prihatin muncul ketika dirinya dan komunitasnya menyambangi ke perusahaan rekaman pertama di Indonesia itu pada Juni lalu. Melihat kondisi piringan hitam yang tak terawat dan rawan rusak itu, ia dan rekan-rekannya terdorong untuk membentuk gerakan G 2.000 sepulangnya dari Solo.

“G 2.000 itu gerakan rekan-rekan peNcinta musik untuk menyisihkan uang Rp2.000 ke GMB. Hasilnya akan digunakan untuk membeli kaver untuk piringan hitam sebagai bentuk keprihatinan kami,” jelasnya.

Bagi komunitasnya, Lokananta diibaratkan sebagai harta karun Bangsa Indonesia. Karena, di dalamnya tersimpan catatan-catatan rekaman suara yang begitu bernilai, salah satunya dalam kemasan piringan hitam.

Ia menyayangkan bila kondisi ribuan piringan hitam tidak terawat dengan baik. Piringan terlihat hitam itu tanpa kaver pelindung dan permukaannya kotor berdebu. Menurutnya, kondisi seperti itu bisa membuat kualitas suaranya menjadi tidak bagus lagi.

Selain itu, kotoran debu dan cara meletakkan piringan hitam yang tidak tepat mengakibatkan permukaannya menjadi lecet. Suhu panas di ruangan penyimpanan mampu mengubah piringan hitam melengkung.

“Kami melihatnya piringan hitam tidak terpelihara dengan baik, tetapi kondisi kerusakannya belum begitu parah,” paparnya.

Dalam waktu beberapa bulan, gerakan G 2.000 mampu mengumpulkan uang senilai Rp3,5 juta. Jumlah uang tersebut belum sesuai harapannya.

“Sementara uang yang terkumpul itu hanya mampu mempu menyumbangkan 1.000 kaver. Padahal, jumlah piringan hitam tanpa kover diperkirakan mencapai 20.000 keping,” ujarnya.

Marketing Lokananta, Titik Sugianti mengatakan Lokananta memiliki 40.000 keping piringan hitam. Namun,20.000 keping tidak berkaver karena telah dimakan rayap.

“Dulu ribuan koleksi piringan hitam itu teronggok di sebuah ruangan yang berdebu dan berayap. Kepingan itu dimasukkan di dalam kotak kayu. Setelah kotak tersebut diangkat, ternyata kotak dan kavernya sudah habis di makan rayap,” pungkasnya.

Seharusnya, ruangan penyimpanan piringan hitam harus memiliki alat pengatur suhu ruangan (AC) yang hidup selama 24 jam. Untuk menghilangkan bau apek ruangan, ia menaburi bubuk kopi di tempat di dalam ruang penyimpanan. “Kalau ruangannya jelas jauh dari layak,” katanya.

Tidak hanya penyerahan 1.000 kaver, para anggota GMB dan komunitas peNcinta musik lainnya bersama-sama mencuci dengan piringan hitam yang kotor. Mereka menggunakan sabun pencuci piring dicampur dengan air dan digosok dengan tangan secara perlahan serarah dengan jarum jam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya