SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Esai karya Ichwan Prasetyo berjudul Meninggalkan Jejak Digital di Harian Solopos edisi Senin (22/6/2020) mengulas konser band The Mudub di kanal Instagram bertajuk Cerita di Balik Nama pada 14 Juni 2020.

Konser tidak secara langsung mempertemukan tubuh musikus dan penonton, namun pementasan itu tetap berkesan mendalam, terutama interaksi daring yang seru, yakni tanya jawab antara penonton dan musikus.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Teknologi digital yang kian berkembang hari ini berkonsekuensi bagi nasib industri musik negeri ini. Harus diakui, sebelum teknologi digital lahir dan berkembang seperti sekarang, mendengarkan musik adalah sebuah peristiwa prestisius.

Bagi generasi yang tidak mampu membeli televisi (dan tape pemutar kaset), mendengarkan radio menjadi satu-satunya jalan untuk mengetahui perkembangan terbaru musik di negeri ini.

Lagu-lagu itu ditayangkan, ditunggu dengan sabar, ditiru untuk disenandungkan di kamar mandi. Menjadi musikus adalah salah satu impian. Mencipta lirik bertema asmara, merayu pacar agar dibaca sebagai sosok romantis. Anak-anak muda di pelosok kampung berhasrat menjadi musikus dengan menaklukkan ibu kota negara.

Label-label (perusahaan perekam musik) besar berpusat di Jakarta. Studio-studio rekaman amatir bermunculan di setiap sudut desa, memfasilitasi generasi pada zamannya bermain musik. Studio musik pernah menjadi bisnis yang menggiurkan.

Studi musik disewakan, itu pun harus antra bergiliran saking banyaknya anak muda bermain musik dan merekam karya mereka. Hasil rekaman musik itu (yang biasa disebut album) dibawa ke ibu kota. Diserahkan kepada label-label musik besar.

Ditolak menjadi peristiwa biasa. Kembali ke daerah atau desa dengan muka masam, tapi tak menyurutkan hasrat bermain musik dengan impian menjadi artis terkenal. Dapat tampil di televisi, menyapa penggemar di panggung-penggung pertunjukan, adalah godaan yang tak lekas usai.

Sheila On 7 (So7), kelompok musik asal Kota Jogja, barangkali menjadi contoh ideal perjuangan menjadi artis musik tak semudah membalik telapak tangan. Dalam sebuah konser bertajuk Sebuah Kisah Klasik yang disiarkan sebuah stasiun televisi nasional (14 September 2018), Duta (sang voalis) menceritakan perjuangan Eros dan Adam (bassist) menyerahkan demo musik mereka.

Eros berpesan kepada Adam supaya memasang muka sememelas-memelas mungkin agar produser rekaman menjadi terharu dan jatuh kasihan. Perjuangan meraih mimpi ternyata tidak hanya berbekal kualitas karya, tapi juga penampilan.

Muka memelas adalah jurus lain agar poduser rekaman menjadi iba. Kalau demo musik yang mereka berikan ditolak, setidaknya ada wajah yang menjadi pertimbangan kedua. Kita bisa membayangkan wajah-wajah polos dan lugu mereka. Pemuda kampung menziarahi ibu kota dengan peluh, keringat, dan miskin.

Beruntung album demo mereka diterima. Mereka kemudian melahirkan berbagai karya yang laris diterima pasar. Kala itu ukuran keberhasilan kelompok musik didasarkan atas seberapa banyak kaset yang laku terjual. Pembajakan terjadi, tapi tidak semarak hari-hari ini.

Musikus dan band hadir bertarung lewat karya-karya. Ada lapis-lapis pintu agar sebuah karya diapresiasi. Pintu pertama adalah keinginan membuat karya sebagus mungkin agar mampu memikat dan meluluhkan hati produser musik di ibu kota negara.

Pergi ke ibu kota dengan membawa karya asal-asalan tentu tak sebanding dengan pengorbanan waktu dan ongkos sebagai anak desa miskin. Pintu kedua adalah seleksi dari produser (label) musik. Ia akan memilih bahkan memoles karya terbaik agar diterima pasar.

Karya-karya yang dianggap tidak layak otomatis akan dibuang. Pintu ketiga adalah media (elektronik). Sejauh mana intensitas musik itu diputar. Pintu terakhir adalah publik. Musik-musik yang dipandang bagus akan bertahan, diikuti dengan hasrat memiliki dan membeli kaset musikus atau band idola.

Tidak sekadar kualitas musiknya, tampilan visual juga sangat diperhitungkan (klip video). Musik tanpa ilustrasi video yang memukau terasa hambar. Musikus selayaknya aktor dan aktris, berperan dalam sebuah kisah ”film musik”.

Ongkos membuat klip video mahal. Harus dikerjakan serius dengan menggandeng sutradara jempolan. Majalah-majalah musik lahir dan diburu, berisi foto serta berita tentang informasi dan gosip musikus dan band idola.

Hari-hari ini semua itu terdekonstrusi. Di berbagai kesempatan, saya selalu menekankan untuk apa membeli majalah musik jika kita sudah mendapat akses “pintu belakang”, langsung terhubung dengan artis musik idola lewat perangkat media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter.

Untuk apa membeli kaset musik jika Youtube menyediakannya secara gratis, dari yang resmi atau legal hingga yang sekadar copy-paste atau ilegal. Buat apa membuat klip video musik, jika biaya pembuatan melampaui biaya penjualan? Industri musik mengalami kebangkrutan eksistensi. Berupaya melawan pembajakan yang tak pernah dimenangi.

Akhir

Hari-hari ini musik dibuat dan detik itu ia pula terbajak, disebarkan secara berantai lewat dunia virtual. Harapan muncul saat Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan tahun lalu digulirkan, tapi menjadi sangat ironis karena RUU itu cenderung bias, dibuat secara serampangan, tanpa kajian mendalam, alih-alih menyerap anggaran negara dengan hasil yang membuat kita prihatin dan mengelus dada.

Lihatlah hari-hari ini, peta musik di Indonesia tak bisa dibaca dan dipetakan dengan baik. Ada ketakutan membuat karya karena berbagai alasan. Selain pembajakan, cover lagu (aransemen ulang) yang dibawakan orang lain sering kali lebih digandrungi dibanding yang dibawakan penyanyi atau musikus aslinya.

Di Youtube, ketika keuntungan didapatkan dari kalkulasi iklan berdasar jumlah penonton (viewer) dan pelanggan (subscriber), muncul berbagai macam duplikasi karya musik yang hampir semuanya berlangsung secara ilegal.

Membawakan ulang karya orang lain terjadi secara masif dan acap kali lebih disukai karena karya musik yang dianggap selesai oleh penyanyi dan musikus aslinya masih membuka berbagai kemungkinan tafsir cara penyajian baru, misalnya dibawakan dengan format akustik, minimalis, alih suara dari laki-laki ke perempuan, serta sebaliknya.



Musikus yang berkarya merugi, sementara beberapa oknum mendapat keuntungan berlebih. Akibatnya, musikus atau band tidak lagi menggantungkan hidup dari penjualan album (baik manual maupun digital), tetapi lebih mengandalkan undangan-undangan pentas dari stasiun televisi maupun di pesta hajatan kampung.

Kualitas karya juga tidak sepenuhnya menjadi jaminan, harus ada faktor lain seperti kontroversi yang menyertai. Akibatnya banyak musikus atau penyanyi yang lebih dikenal karena kontroversi yang dibuat dibanding karya yang diciptakan.

Majalah-majalah musik gulung tikar, label rekaman satu per satu menuju kebangkrutan, studio-studio musik di pojok desa tutup karena sepi peminat. Tidak ada lagi anak desa miskin yang berhasrat menjadi musikus, menaklukkan ibu kota dengan segenap mimpi dan angan menjulang.

Kita baru saja merayakan Hari Musik Internasional pada 21 Juni lalu. Itu sebenarnya momentum yang baik untuk meratapi dan merumuskan jalan hidup (industri) musik di negeri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya