SOLOPOS.COM - Ilustrasi generasi milenial kerja (Freepik)

Solopos.com, SOLO -- Berada dalam puncak kondisi fisik yang prima, tidak sedikit generasi milenial di Indonesia khususnya di perkotaan bekerja secara berlebihan alias overworked. Bahkan sekitar 27 dari 100 anak muda di Indonesia bekerja lebih dari 48 jam selama sepekan.

International Labour Organization menyebut pekerja yang bekerjalebih dari 48 jam dalam seminggu dapat dikategorikan sebagai bekerja berlebihan atau excessive working time.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bila menggunakan 6 hari kerja artinya mereka bekerja lebih dari 8 jam sehari. Bila kalkulasinya 5 hari kerja, generasi milenial yang overworked bekerja lebih dari 9,6 jam sehari.

Alasan di Balik Gaji Laki-Laki Lebih Tinggi dari Perempuan

Jam kerja anak muda yang bekerja secara berlebihan itu belum termasuk perjalanan dari rumah ke kantor atau sebaliknya. Bila tinggal di kota besar seperti Jabodetabek atau Surabaya, bisa dibayangkan waktu jam kerja dan waktu perjalanan bisa menghabiskan sekitar 12 jam dalam sehari.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Pemuda Indonesia 2019 mencatat rata-rata jam kerja anak muda di Indonesia yang bekerja adalah 41,15 jam dalam sepekan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara anak muda di kota dan desa mengenai rata-rata jam kerja.

Jam Kerja Ideal

Generasi milenial di perkotaan rata-rata menghabiskan waktu 42,91 jam dalam sepekan untuk bekerja. Sementara anak muda di perdesaan hanya menghabiskan waktu 37,43 jam dalam seminggu.

Bila dilihat lebih mendetail, BPS mencatat sebagian besar anak muda Indonesia yang bekerja memiliki waktu kerja normal yaitu 35-48 jam/pekan.

Daftar Lengkap Gaji Tertinggi Pekerja di Indonesia

Ada 45,01% generasi muda yang bekerja dengan waktu kerja itu. Berikutnya adalah pekerja tidak penuh yang bekerja di bawah 35 jam per pekan sebanyak 27,98%.

Kemudian ada generasi milenial yang bekerja secara berlebihan atau overworked yaitu lebih dari 48 jam/pekan sebanyak 27,01 serta yang paling kecil pekerja kritis dengan waktu kerja kurang dari 15 jam/ pekan.

Terdapat perbedaan yang mencolok soal jam kerja anak muda di perkotaan dan perdesaan. Di perkotaan sebagian besar anak muda memiliki waktu kerja normal dan bekerja berlebihan. Sedangkan di perdesaan, sebagian besar anak muda bekerja sebagai pekerja tidak penuh dan punya waktu kerja normal.

Ada Lagi! Satgas Waspada Investasi Temukan 50 Usaha Gadai Swasta Ilegal

Berikut perbandingan status jam kerja generasi milenial di perkotaan dan perdesaan.

Perkotaan

  • Pekerja kritis (<15 jam/pekan) 6,96%
  • Pekerja tidak tetap (<35 jam/pekan) 19,08%
  • Waktu kerja normal (35-48 jam/pekan) 51,59%
  • Bekerja berlebihan (>48 jam/pekan) 29,33%

Perdesaan

  • Pekerja kritis (<15 jam/pekan) 13,11%
  • Pekerja tidak tetap (<35 jam/pekan) 39,93%
  • Waktu kerja normal (35-48 jam/pekan) 36,16%
  • Bekerja berlebihan (>48 jam/pekan) 23,91%

”Pemuda perkotaan yang masuk kategori bekerja berlebihan persentasenya lebih tinggi dibandingkan pemuda perdesaan. Persentase pemuda laki-laki yang bekerja belebihan juga lebih tinggi dibandingkan pekerja pemuda perempuan,” sebut BPS.

Libby Sander, Assistant Professor of Organisational Behaviour, Bond Business School, Bond University, dalam artikelnya di laman The Conversation menyatakan efek dari jam kerja yang panjang sangat beragam bagi kesehatan.

Studi dari Prancis yang melibatkan lebih dari 143.000 peserta itu menemukan bahwa mereka yang bekerja 10 jam atau lebih per hari selama setidaknya 50 hari dalam satu tahun berisiko terkena stroke 29% lebih tinggi.

Merasa Terzalimi, Puluhan Buruh PT Sari Warna Lapor ke Serikat Buruh Karanganyar

Penelitian itu tidak menemukan hasil yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tapi menunjukkan risiko lebih tinggi pada pekerja kantoran di bawah usia 50 tahun.

Riset lain yang melibatkan data lebih dari 600.000 orang, yang diterbitkan dalam jurnal medis Inggris The Lancet, ternyata menemukan efek yang sama.

Karyawan yang bekerja 40 sampai 55 jam per minggu memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan mereka dengan jam kerja yang standar yaitu 35-40 jam per minggu.

”Gangguan ini bukan pada fisik semata. Bekerja berjam-jam secara terus menerus juga menyebabkan  ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang mengarah pada menurunnya kepuasan kerja dan kinerja, serta menurunnya kepuasan kehidupan dan hubungan pribadi,” tulis dia.

Pendapatan Milenial

pekerja
Ilustrasi pulang kerja (Freepik)

Menjadi ironi ketika tidak sedikit generasi milenial di Indonesia, khususnya di perkotaan, harus overworked ternyata pendapatan mereka tidak terlalu tinggi.

Sebanyak 33,11% generasi muda di perkotaan mendapatkan gaji lebih dari Rp3 juta/bulan. Namun, ada 28,60% yang gajinya Rp1 juta-Rp1,99 juta/bulan.



Baru kemudian ada 24,33% generasi milenial di perkotaan yang mendapatkan gaji Rp2 juta-Rp2,99 juta dan 13,96% yang digaji di bawah Rp1 juta. Artinya bila dirata-rata anak muda di perkotaan yang bekerja mendapatkan upah di atas Rp2 juta dalam sebulan.

Berkebalikan, di perdesaan lebih dari 65% anak muda yang bekerja mendapatkan gaji di bawah Rp2 juta. Perinciannya 35,34% anak muda di desa yang mendapatkan gaji Rp1 juta-Rp1,99 juta/bulan dan 30,23,23% bergaji di bawah Rp1 juta.

Mayat Pria di Selokan Tawangmangu Ternyata Korban Tabrak Lari, Pelaku Berhasil Ditangkap

Baru kemudian 21,91% anak muda desa yang mendapatkan gaji Rp2 juta-Rp2,99 juta dan hanya 12,52% yang bergaji di atas Rp3 juta.

Tidak hanya tempat tinggal, BPS mencatat tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap nilai tawar anak muda terhadap gaji mereka.

Misalnya ada 42,09 persen pemuda dengan kualifikasi pendidikan tamat perguruan tinggi mampu memperoleh penghasilan Rp3 juta ke atas per bulan.

Namun demikian, nyatanya masih ditemukan 19,09% pemuda dengan kualifikasi pendidikan yang sama, memperoleh penghasilan di bawah Rp1 juta. Artinya, masih ada pekerja yang tidak memperoleh timbal balik pendapatan yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.

”Kurangnya transparansi dalam sistem penggajian oleh perusahaan dapat menjadi penyebab fenomena tersebut. Hal lain yang turut memengaruhi ketidaksesuain penghasilan dengan pendidikan adalah adanya kesenjangan antara jumlah lulusan dengan jumlah kebutuhan dunia kerja,” sebut BPS.

Alhamdulillah, Sudah 245.306 Debitur di Soloraya Nikmati Restrukturisasi Kredit

Kesenjangan tersebut akhirnya memaksa pemuda untuk mau melakukan pekerjaan apa pun meski dengan penghasilan yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka.

Inilah tantangan yang diharap generasi milenial di perkotaan ataupun perdesaan. Mereka ada yang harus bekerja sampai overworked dengan imbalan upah atau gaji yang kadang tidak sepadan dengan tingkat pendidikan mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya